Mohon tunggu...
Arief Paderi
Arief Paderi Mohon Tunggu... profesional -

Unemployment, former drummer hardcore, glad see corruptors sentenced to death, and likes black coffee

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fungsi Pengawasan DPR Masih Sekedar Formalitas

22 Januari 2011   05:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:18 13007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Secara umum, dalam pengertian manajemen, pengawasan pada hakikatnya melekat pada jabatan pimpinan sebagai pelaksana fungsi manajemen, disamping keharusan melaksanakan fungsi perencanaan dan pelaksanaan. Menurut George R. Tery, pengawasan adalah determinasi apa yang telah dilaksanakan, mengevaluasi prestasi kerja dan menerapkan tindakan-tindakan korektif, sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Disimpulkan, pengawasan merupakan suatu fungsi dalam mengevaluasi, mengoreksi suatu pekerjaan agar tercapai maksud dan tujuan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Fungsi pengawasan dalam ilmu kepemerintahan mempunyai arti dan ruang lingkup sangat luas, maka perlu dibedakan macam-macam pengawasan tersebut,yaitu:
1. Pengawasan fungsional, yang dilakukan oleh aparatur yang ditugaskan melaksanakan pengawasan seperti BPKP, Irjenbang, Irjen Departemen dan aparat pengawawan fungsional lainnya di lembaga lembaga Pemerintahan Non Departemen atau Instansi Pemerintah lainnya.
2. Pengawasan politik, yang dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
3. Pengawasan yang dilakukan oleh BPK sebgai pengawasan eksternal eksekutif.
4. Pengawasan social, pengawasan yang dilakukan oleh mass media, ORMAS-ORMAS individu dan anggota masyarakat pada umumnya.
5. Pengawsan melekat, yaitu pengawasan yang dilaksanakan oleh atasan langsung terhadap bawahanya.

DPR sebagai lembaga legislatif merupakan salah satu cabang kekuasaan. Dalam teori trias politika yang dikemukakan pertama kali oleh John Locke pada tahun 1690 dalam bukunya yang berjudul Two Treatises on civil government. John Locke membagi cabang-cabang kekuasaan yang terdiri dari legislatif, eksekutif dan federatif, yang kemudian ditafsirkan sebagai teori pemisahan kekuasaan atau separation of power. Pada tahun 1798, gagasan yang dikemukakan oleh John Locke dikembangkan kemudian oleh seorang filsuf perancis Montesquieu, dalam bukunya berjudul L 'Espirit Des Lois. Menurut Montesquieu kekuasaan pemerintah dipisah dalam tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif, Ketiga kekuasaan itu menurutnya harus terpisah sama sekali, baik mengenai tugasnya maupun mengenai alat perlengkapan penyelenggaranya.
konsep trias politica Montesquieu sangat popular, namun banyak yang tidak diperaktekan secara murni, karena tidak sesuai dengan kenyataan. Berbagai kritik telah dilontarkan terhadap konsep tersebut, diantaranya diungkapkan oleh E.Utrecht. Utrecht tidak sejalan dengan pemisahan kekuasaan yang dilakukan oleh Montesquieu, dengan mengajukan dua keberatan, yaitu :
a. Pemisahan mutlak seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu, mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak ditempatkan di bawah pengawasan suatu badan negara lain. Tidak ada pengawasan itu berarti kemungkinan bagi suatu badan kenegaraan untuk melampaui batas kekuasaannya dan oleh sebab itu kerja sama antara masing-masing badan kenegaraan dipersulit. Oleh karena itu, tiap-tiap badan diberikan kesempatan untuk saling mengawasi.
b. Dalam negara modern atau welfare state (mulai berkembang pada akhir abad 19 awal abad 20) lapangan tugas pemerintahan bertambah luas untuk mewujudkan berbagai kepentingan masyarakat. Dalam hal demikian, tidak mungkin di terima asas pemisahan tegas (vast beginsel) bahwa tiga fungsi tersebut masing-masing hanya diserahkan kepada suatu badan kenegaraan tertetentu.
Bagaimana di Indonesia?
Prof. Jimly Asshiddiqie berpendapat, setelah adanya perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi Indonesia telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan, namun tetap adannya check and balances antar cabang kekuasaan, sebagai kontrol terhadaap kekuasaan yang berlebihan. Lebih lanjut Jimly mendasarkan hal tersebut pada beberapa faktor, yaitu:
1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.

Berdasarkan kelima alasan tersebut diatas, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal, maupun menganut ajaran trias politica Montesquieu secara murni, yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Disimpulkan bahwa sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pascaperubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antarlembaga negara.
DPR dan Presiden mempunyai hubungan yang diatur dengan Undang-undang Dasar 1945, hubungan tersebut berbentuk kerja sama, dan berbentuk pengawasan. Hubungan dalam bentuk kerja sama adalah dalam membuat Undang-undang, menetapkan Undang-undang dan bersama-sama menyatakan perang atau membuat perdamaian dengan Negara lain. Hubungan yang bersifat pengawasan yaitu DPR bertugas mengawasi atau mengontrol kebijakan Presiden.
Fungsi pengawasan DPR merupakan bentuk hubungan dalam konsep checks and balances, sebagai sebuah konsep pengawasan antarlembaga Negara. Dalam kata lain, fungsi pengawasan sebagai salah satu fungsi yang dimiliki DPR terhadap kekuasaan legislatif, yaitu pemerintah, adalah sebagai kontrol kebijakan dari representatif DPR sebagai lembaga perwakilan.
Berbeda dengan Undang-undang Dasar 1945 sebelum perubahan, Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan, mengatur secara jelas fungsi DPR. Berdasarkan pasal 20A ayat 1, fungsi DPR adalah fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi adalah fungsi DPR dalam membentuk Undang-undang, fungsi anggaran adalah fungsi DPR membahas dan memberi persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan Undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden, sedangkan fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang dan APBN.
Pemahaman saat ini fungsi pengawasan DPR salah satunya adalah berhubungan dengan hak DPR yang diatur dalam Pasal 20A ayat 2 UUD 1945, yang berbunyi “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”. Lebih lanjut tentang hak DPR ini diatur dalam pasal 77 ayat 1 Undang-undang No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang berbunyi:
DPR mempunyai hak:
a) interpelasi;
b) angket; dan
c) menyatakan pendapat;
Berdasarkan bunyi pasal 20A ayat 2 dan pasal 77 ayat 1 Undang-undang No.27 Tahun 2009 diatas, DPR mempunyai wewenang untuk melakukan hak Interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat, sebagai pengawasan terhadap eksekutif yaitu pemerintah, dalam menjalankan Undang-undang dan APBN.
Hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat yang disebut diatas, dalam Undang-undang No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dijelaskan:
Pasal 77 ayat 2:
Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah yang penting dan strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pasal 77 ayat 3:
Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk mengadakan penyelidikan terhadap pelaksanaan Undang-undang dan/ atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 77 ayat 4:
Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud padaayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia Internasional;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasisebagaiman dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana yang dimaksud pada ayat(3); atau
c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidaklagi memenuhi dsyarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

Bagaimana pelaksanaan fungsi pengawasan DPR selama ini?
Peran fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah mengalami pasang surut kualitas dan kekuatannya. Pada periode sebelum reformasi, peran kontrol legislatif terhadap eksekutif sangat lemah, sehingga eksekutif dapat melakukan apapun sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Keputusan Soekarno kembali ke UUD 1945 dapat dilihat sebagai usaha mengurangi pengaruh DPR dan memperkuat posisi Presiden. Dibawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, fungsi eksekutif begitu kuat dan dominan. Fungsi pengawasan dari lembaga legislatif menjadi artifisial belaka.
Pada awal reformasi, legislatif sangat kuat, mampu memberikan fungsi pengawasannya secara maksimal, bahkan dalam beberapa kasus dianggap berlebihan. Hubungan legislatif dan eksekutif sering penuh konflik, parlemen beberapa kali berusaha menunujukkan otoritasnya, misalnya melalui penggunaan hak interpelasi dan hak angket, nominasi kandidat untuk berbagai komisi seperti Komnas HAM dan impeachment terhadap Presiden Abdurrahman Wahid.
Pada perkembangannya, kekuatan pengawasan legislatif terhadap eksekutif kembali melemah, faktanya adalah banyaknya hak interpelasi dan hak angket yang dilakukan DPR terhadap pemerintah yang kandas dijalan, dalam arti, pengawasan yang dilakukan tersebut terhenti tanpa ada tindak lanjut oleh pemerintah atas rekomendasi-rekomendasi dari pelaksanaaan interpelasi dan angket yang dilakukan DPR. sebagai contoh, interplasi terhadap lumpur lapindo, angket BBM dan yang terakhir adalah angket terhadap kasus Bank Century.
Terkait fungsi pengawasan DPR terhadap Pemerintah yang dinilai tidak menghasilkan hal yang positif, dalam mewujudkan fungsi pengawasan pemerintahan terhadap pemerintah yang efektif, menimbulkan tanda tanya dimasyarakat tentang keseriusan DPR sebagai representasi rakyat dalam menjalankan fungsinya.

By: Arief Paderi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun