Mohon tunggu...
Arief Nur Rohman
Arief Nur Rohman Mohon Tunggu... Guru - Manusia

Pegiat Moderasi Beragama Provinsi Jawa Barat. Menaruh minat pada Pendidikan, Pengembangan Literasi, Sosial, Kebudayaan, dan Pemikiran KeIslaman.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

PPG Guru Tertentu dan Objektifikasi Siswa

2 Desember 2024   10:29 Diperbarui: 2 Desember 2024   11:18 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini pemerintah sedang gencar-gencarnya menyelenggarakan program Pendidikan Profesi Guru tertenu atau terminology lampau menyebutnya PPG Dalam Jabatan. Program ini menjadi Amanah konstitusional yang harus ditunaikan. Dasar hukumnya pun beragam, mulai dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, hingga Peraturan Menteri. Jika saya runut, beginilah dasar hukumnya;

Pertama, ada Undang-undanga No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, undang-undang ini mengatur tentang status, hak, kewajiban, dan tanggungjawab guru dan dosen. Dalam konteks PPG, UU ini mengamanatkan bahwa setiap guru harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi profesi yang ditetapkan oleh pemerintah, salah satunya melalui program Pendidikan Profesi Guru.

Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini mengatur standar Pendidikan di Indonesia, termasuk di dalamnya standar kompetensi guru. Apa saja kompetensi guru itu? (Boleh jadi kalau ditanyakan pada mahasiswa PPG hari ini, sudah bisa dipastikan mereka tidak bisa menjawabnya). Sebab yang mereka tahu hanya jumlah nominal tunjangan yang akan mereka terima.

Ketiga, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 32 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Pendidikan. Permendikbud ini mengatur tentang standar pendidikan, yang juga mencakup pendidikan profesi guru. PPG untuk guru tertentu bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan standar pendidikan yang ditetapkan.

Keempat, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 10 Tahun 2020 tentang Sertifikasi Guru. Peraturan ini mengatur mengenai sertifikasi guru dan bagaimana guru dapat memperoleh sertifikat pendidik. 

PPG adalah salah satu jalur utama untuk memperoleh sertifikasi ini, yang menjadi syarat penting untuk pengakuan profesi guru di Indonesia. Salah satu dasar hukum ini menjadi penting, sebab dari sinilah guru tersertifikasi akan memeroleh hak dan pengakuannya sebagai guru professional.

Kelima, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPG untuk Guru Tertentu. Peraturan ini secara khusus mengatur pelaksanaan PPG untuk guru tertentu, yang memberikan kesempatan bagi guru dengan kualifikasi tertentu untuk mengikuti pendidikan profesi guna memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan. 

Dalam peraturan ini dijelaskan pula mekanisme, syarat, dan proses seleksi bagi guru yang ingin mengikuti program PPG.

 Meski pada realitasnya dikebut guna meningkatkan jumlah guru tersertifikasi sebanyak-banyaknya, dengan kualitas serendah-rendahnya. Apakah kualitas Pendidikan kita meningkat seiring dengan banyaknya guru tersertifikasi atau malah sebaliknya? Mari kita saksikan bersama di masa mendatang.

Keenam, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.02/2021 tentang Pengelolaan Dana PPG. Peraturan ini mengatur tentang alokasi dan pengelolaan dana yang digunakan untuk program PPG, termasuk bagi guru tertentu yang mengikuti program ini. 

Dana ini digunakan untuk mendukung pelaksanaan PPG dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Regulasi inilah yang paling penting di antara regulasi lainnya. Sebab regulasi inilah tunjangan profesi guru mereka terima. Andai pemerintah mengkaji ulang regulasi ini, dengan menambahkan salah satunya laporan pertanggungjawaban tunjangan keuangan yang guru terima. 

Guru harus melaporkan sejumlah uang yang mereka terima, sejauhmana pemanfaatan uang tunjangan itu antara lain mampu dirasakan dampaknya bagi peningkatan kualitas belajar siswa.

Implementasi dan Objektifikasi

Skema yang digunakan pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan dan Dirjen PPG mengimplementasikan cara lain guna mempercepat lulusan mahasiswa PPG. Satu di antaranya menggunakan platform PMM sebagai wahana belajar dan memenuhi tugasnya. Alih-alih mendapat kualitas belajar, malah yang terjadi percepatan belajar. Saking cepatnya, istilah kami menyebut "Paheula-heula hejo". Istilah ini digunakan sebagai respon atas skema pembelajaran bagi mahasiswa PPG Guru Tertentu yang cenderung cepat, mudah, singkat, dan tentunya tanpa output apapun sebagai hasil belajarnya.

Lain halnya dengan implementasi program PPG dahulu yang cenderung mementingkan kualitas lulusan, kehati-hatian dalam mendidik, keragaman model pembelajaran, solusi interaktif beragam persoalan, hingga mewajibkan mahasiswanya untuk menghasilkan output dan produk terentu. Dari sinilah kita semua bisa melihat, implementasi hari ini cenderung tergesa-gesa tanpa memikirnya nilai, moral, dan keadaban lainnya yang justru lebih dibutuhkan di masa mendatang.

Kutipan (Sumber: dok. Pribadi)
Kutipan (Sumber: dok. Pribadi)

Siswa hari ini menjadi objek dan "budak" bagi mahasiswa PPG Guru tertentu. Wajah siswa dipoles sedemikian rupa di hadapan kamera, dirinya harus berpura-pura ideal, pintar, dan tanpa cela. Bahkan "hanya" siswa tertentulah yang wajib disoroti ketimbang siswa lainnya yang benar-benar membutuhkan pendampingan belajar. 

Tak hanya itu, siswa pula diobjektifikasi guna pemenuhan tugas, pengisian umpan balik, studi kasus, local actor uji kinerja, dan sederetan tugas lainnya. Sungguh wajah yang memuakan. Sementara di sisi yang lain, guru hanya tinggal memoles sedikit rupa dirinya agar terlihat menawan, elegan, dan tentu harus sempurna.

Bahkan, yang lebih mengerikan adalah, guru (tentunya mahasiswa PPG Guru tertentu) hanya terus berdiam diri di ruang guru dengan dalih memenuhi tugas, tanpa mendampingi siswanya belajar. Siswa dibiarkan begitu saja mengerjakan beban tugas yang diberikan gurunya, tanpa pendampingan, bimbingan, bahkan tak ada proses belajar dan mendidik. Inilah realitas yang dialami selama ini.

TPG (Tunjangan Profesi Gaya)

Tunjangan Profesi Guru (TPG) adalah "hadiah" yang diberikan oleh pemerintah kepada guru yang sudah memiliki syarat dan kualitifikasi tertentu. Antara lain memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh melalui program Pendidikan profesi guru. 

Hal ini sebagaimana diatar dalam beragam regulasi, baik UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan, hingga Peremdikbud dan Permekeu.

Tunjangan profesi guru diberikan sebagai bagian dari penghargaan atas kompetensi, kualifikasi, dan profesionalisme guru. Idealnya memang diberikan demikian. Sekali lagi saya tegaskan bahwa, TPG diberikan atas penghargaan kompetensi, kualifikasi, dan profesionalisme. Bukan bagi guru yang inkompentensi, nir kualifikasi, dan nir profesionalisme. Mari kita lihat bersama realitasnya.

Saya akan mengukur profesionalisme kinerja guru bersertifikasi berdasarkan nilai Uji Kompetensi Guru dalam rentang 2015 -- 2017. Berdasarkan hasil UKG, guru yang bersertifikasi memperoleh rata-rata nilai berkisar di angka 50-60 dari skala nilai 100. Angka ini menunjukkan bahwa banyak guru tersertifikasi memiliki pemahaman dasar yang di bawah rata-rata nilai yang belum mencapai 70. 

Artinya, masih banyak ruang yang cukup luas guna peningkatan kompetensi guru. Seharusnya dari sinilah kita melihat bahwa, kompetensi pengetahuan guru yang ditetapkan dalam undang-undang masih jauh panggang daripada api. Seharusnya tunjangan profesi guru tidak layak diberikan bagi guru inkompetensi dan nirkualifikasi.

Kebanyakan guru yang tersertifikasi dan menerima tunjangan profesi guru cenderung memiliki gaya hidup yang highclass, mewah, konsumtif-hedonistik. Guru penerima TPG pula cenderung meningkatkan kualitas hidup pribadi, ketimbang peningkatan kualitas hidup pembelajaran siswa. Andai saja Kementerian keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.02/2021 tentang Pengelolaan Dana PPG, menambahkan satu instrument untuk pelaporan pertanggungjawaban atas keuangan yang diterima oleh guru tersertifikasi. 

Misalnya membagi persentase untuk kebutuhan penunjang media belajar siswa, peningkatan kualitas hidup siswa, dan kebutuhan dasar untuk update pengetahuan dengan membeli buku. Jika tidak dikontrol demikian, saya pastikan guru tersertifikasi dan kualitas pembelajaran siswa akan stagnan. Guru akan berfoya dengan tunjangan profesi gayanya. Guru tersertifikasi pula akan terus bersikap konsumtif guna pemenuhan standar dan kualitas dirinya.

Saya membayangkan kedepan, semoga ini tidak terjadi. Guru tersertifikasi alih-alih meningkatkan gaya belajar siswanya, malah yang meningkat gaya hidupnya. Guru tersertifikasi alih-alih menambahkan kualitas mendidiknya, malah menambahkan konsumerismenya. 

Mari pula kita tanyakan bersama kepada guru tersertifikasi, apakah kualitas belajar siswanya yg meningkat atau malah gaya hidupnya yang meningkat? apakah tanggung jawab mendidiknya yang bertambah atau sikap konsumtifnya yang bertambah? Semoga TPG tetap tunjangan profesi guru, bukan tunjangan profesi gaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun