Kehidupan umat manusia sejatinya tidak terlepas dari nilai fundamental agama. Nilai itu mengejawantah dalam berbagai bentuk relasi. Baik sebagai pengaturan hubungan antar manusia dengan dirinya, sesama, atau bahkan kekuatan yang hadir di luar dirinya. Semua itu menghasilkan satu dimensi keagamaan yang tumbuh sebagai kesadaran pola lelaku hidup.Â
Dimensi keagamaan tersebut nampak dalam berbagai bentuk perilaku manusia, termasuk di dalamnya ekspresi keharuan, suka cita, yang menjelama sebagai seni, tradisi, sastra dan budaya.
Tradisi Obrog-obrog lahir dari hasil olah karya kreatif yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi. Obrog-obrog, mempunyai peran dan fungsi strategis sebagai katalisator dan penghubung pola relasi tradisi dan religi masyarakat.Â
Sebagai bentuk eskpresi tradisi, obrog-obrog hadir dari hasil pergumulan dan pemikiran kearifan masyarakat terdahulu dalam mengupayakan cara bijak beribadah dan memahami pesan agama.
Obrog-obrog, secara selintas terkesan tidak mempunyai pijakan teologis-yuridis yang eksplisit, akan tetapi secara substansi tradisi tersebut mempunyai makna luhur yang sesuai dengan pesan univerasal Islam.
Dalam pengertian hari ini, ibadah dimaknai tidak hanya ritualitas semata-mata. Akan tetapi mengkristal dalam bentuk lelaku dan aktivitas sehari-hari sebagai pengabdian peran manusia.
Obrog-obrog sebagai pola relasi antara tradisi dan religi, sekurang-kurangnya terdapat dua pola yang mengindikasikan hal tersebut. Pertama, obrog-obrog sebagai tradisi keagamaan.Â
Dalam tradisi obrog-obrog, kita akan mendapati dimensi keagamaan yang menjelma dalam satu tradisi. Contoh itu terdapat dalam lelaku upaya masyarakat untuk bersama-sama membangunkan masyarakat lainnya yang masih tertidur lelap untuk melaksanakan sahur.Â
Sahur sebagai salah satu ibadah pada bulan Ramadan, tidak boleh dilewatkan keberadaannya sebagai satu rangkaian ibadah sebelum menjalani puasa.Â