Bulan Ramadan adalah bulan madrasah yang banyak memberikan sejumlah pesan, pendidikan, dan pelajaran. Bulan Ramadan sebagai bulan madrasah, dalam hal ini dimaknai sebagai proses menjalani serangkaian latihan penyempurnaan diri baik melalui --ibadah individual, sosial, ritual, formal-- secara simultan untuk senantiasa berlaku sesuai dengan yang Allah perintahkan.Â
Ramadan pula dijadikan Tuhan sebagai bulan paling agung, mulia, dan penuh karunia. Sebab di dalamnya terdapat peristiwa, jejak indah, dan sejarah penting yang turut serta mewarnai horison peradaban umat manusia. Satu di antaranya adalah perintah berpuasa.
Dalam Islam kita mengenal perintah puasa jelas termaktub dalam al-Quran, salah satunya QS. Al-Baqarah: 183, yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman!Â
Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." Puasa sejatinya adalah menahan segala bentuk kuasa nafsu yang mendominasi dalam diri --dorongan nurani, naluri, niat hati-- baik sebagai hal yang nampak maupun yang mengejawantah dalam perilaku.Â
Puncak dan orientasi ibadah puasa adalah mencapai ketakwaan. Namun dalam hal ini, penulis akan lebih banyak menyoroti, mengidentifikasi, dan mengelaborasi terminologi "Umat Terdahulu" atau Al-Quran menyebutnya "Kamaa Kutiba 'ala ladzina min qoblikum" dengan tradisi puasa agama-agama dan pendidikan keberagaman.
Kata puasa/ shaum (dalam Bahasa Arab) mewakili banyak kebudayaan, keragaman, bahkan terdapat dalam tradisi agama-agama yang lain. Jika kita lihat bersama bahwa, perintah puasa muncul dan menjadi sebuah kewajiban yang disyaratkan bagi orang-orang dalam tradisi agama semitik.Â
Dalam tradisi agama Yahudi dan Kristen ortodoks, kita mengenal istilah "Tzum". Secara istilah, pengucapan, dan bunyi kata "Tzum" sama dengan kata "Shaum", yang artinya menahan diri dari berbagai perilaku serta mampu menahan diri dari makan dan minum.Â
Oleh karenya, perintah untuk melakukan puasa pada dasarnya juga diberikan kepada orang-orang sebelumnya/ umat terdahulu seperti dalam agama Yahudi dan Kristen.
Jika kita telusuri lebih jauh, kata puasa ditemukan pula dalam Bahasa Sanskrit, yaitu "Upuwasa" artinya sama dengan shaum/ puasa. Oleh karenya, puasa juga dikenal dalam tradisi agama Hindu dan Budha.Â
Jika dalam tradisi Hindu "Upuwasa" biasanya dilakukan oleh orang-orang sebelum melakukan Nyepi, sebagai salah satu bentuk penyucian diri. Begitupun dalam tradisi agama Budha.Â
Tradisi agama Budha mengenal tradisi yang hampir sama dengan itu, mereka menyebutnya dengan "Upasotha". "Upasotha" mengasumsikan bahwa seseorang meninggalkan makan dan minum, dan menjalankan perintah "sila".Â
Oleh karenanya, jika melihat puasa dalam tradisi agama Budha, kita akan mengenal istilah puasa dengan lelaku "Upasotha Sila" Â Yaitu melakukan puasa dan menghindari larangan yang tidak boleh dilakukan oleh agama Budha ketika menjalani puasa.
Pada dasarnya, hampir semua agama memiliki nomenklatur yang sama tentang puasa. Puasa sesungguhnya, bukan sesuatu yang ditemukan hanya dalam tradisi Islam, tapi juga bisa ditemukan dalam tradisi semua agama.Â
Begitupun dengan arti secara etimologi hampir memiliki kesamaan, yaitu melakukan pembatasan terhadap aktivitas makan, minum, serta perilaku yang dilarang oleh ketentuan hukum agama.
Tradisi puasa/ shaum di satu sisi adalah sebuah ritual khusus yang bertujuan memberikan waktu bagi manusia untuk belajar membatasi dirinya.Â
Dalam konteks ini biasanya dikaitkan dengan pembatasan terhadap makan, minum dan pembatasan terhadap perilaku yang sifatnya badaniyah. Namun di sisi yang lain, tradisi puasa mengajarkan kita tentang pendidikan keberagaman.
Sekurang-kurangnya ada dua hal yang bisa kita petik dari pendidikan keberagaman melalui puasa. Pertama, puasa mengajarkan kita untuk menghayati pesan inti agama terutama dalam pentingnya memiliki kesadaran pengendalian diri.Â
Dalam hal ini, pengendalian diri untuk tidak menaruh curiga antar sesama manusia, menebar kebencian antar agama, menyulut dan mengoyak persatuan sesama suku bangsa.Â
Kedua, puasa melatih untuk bersikap damai terhadap diri sendiri, mampu melihat kemerdekaan fitrah manusia yang berbeda, serta memiliki kesadaran sosial-psikologis untuk saling memahami, meyakini dan menghargai perbedaan.Â
Mari menghadirkan pesan dan inti agama yang ramah, toleran, dan memberikan kesejukan yang mampu menyikapi dengan bijak kesamaan dalam perbedaan, serta mampu meneladani perbedaan dalam kesamaan.
Itulah sejatinya pesan pendidikan keberagaman melalui puasa. Melalui momentum puasa inilah, mari bersama-sama menciptakan harmoni, mendidik diri, serta mengevaluasi sejauh mana kita sudah menebar benih perdamaian, kesantunan, dan kemerdekaan bagi sesama manusia dan anak bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H