BULAN Januari adalah bulannya Ajip Rosidi. Selain beliau lahir di bulan Januari, juga ada satu peristiwa penting yang tidak pernah terlewatkan setiap tahunnya, adalah penganugerahan Sastra Rancage.
Sastra Rancage adalah penghargaan yang diberikan kepada sastrawan dan budayawan yang memiliki jasa besar bagi pengembangan Bahasa dan sastra daerah. Penganugerahan Sastra Rancage ini dimulai sejak 1989 hingga hari ini dan tahun-tahun yang akan datang. Sastra Rancage dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan dan perluasan medium. Tidak hanya dalam Bahasa Sunda, akan tetapi juga sudah merambah ke beberapa bahasa daerah lainnya, seperti; Bahasa Jawa (1994), Bali (1998), Lampung (2008), Batak (2015), Banjar (2017), dan Madura (2020).
Selain pemberian hadiah, Sastra Rancage sekaligus menjadi momentum, refleksi, dan perhatian serius kita terhadap kelestarian bahasa dan sastra daerah. Ajip Rosidi telah memulainya 34 tahun yang lalu.
Tahun ini, menjadi tahun kedua, pemberian hadiah Sastra Rancage tanpa kehadiran sosok Ajip Rosidi. Meskipun demikian, penganugerahan ini tetap diselenggarakan setiap tahun. Ajip Rosidi melalui Yayasan Kebudayaan Rancage terus menerus memberi perhatian khusus untuk tetap merawat, melestarikan, dan melakukan pengembangan sastra daerah yang menggunakan bahasa ibu.
Bahkan salah satu pesan Ajip Rosidi, kepada salah satu putri beliau Siti Surti Nastiti menuturkan bahwa “Selama ada karya sastra daerah yang diterbitkan dalam bentuk buku, maka anugerah Rancage akan tetap ada.”
Sebuah Kenangan Perjumpaan
Pada tahun 2020 lalu, saya berkesempatan hadir dan turut serta menyaksikan pemberian hadiah Sastra Rancage. Sastra Rancage ke-32 waktu itu mengambil tema "Napak Tilas dan Milangkala Ajip Rosidi." Napak tilas menjadi kalimat utama sebab, untuk pertama kalinya pemberian hadiah ini dilakukan di tempat kelahiran Ajip Rosidi di Jatiwangi. Setelah sebelumnya pemberian hadiah dilakukan di Bandung setiap tahunnya.
Kesempatan yang baik itu tidak ingin saya lewatkan begitu saja. Momentum untuk “memburu keberkahan” Pak Ajip dan memintakan tanda tangan di beberapa karya yang menjadi koleksi pribadi saya. Ada suasana haru, bahagia, sukacita yang menyelimuti saya waktu itu. Selain mendapat tanda tangan dari beliau, saya pula mendapat keberkahan lainnya dapat berjabat tangan, berswafoto, dan percakapan kecil yang menambah kehangatan sore itu.
Selepas acara, sembari mengumpulkan tekad dan keberanian yang kukuh, saya menemui Pak Ajip Rosidi yang duduk di depan podium. Setelah sebelumnya ikut “antre” dengan beberapa tamu lain yang beliau temui.
Setibanya giliran saya menemui Pak Ajip. Dengan membungkukan badan, sesekali melempar senyum ke Pak Ajip dan menyalaminya. Kebetulan waktu itu, turut hadir pula Ibu Nani Wijaya mendampingi. Sembari membawa tumpukan buku, rupanya Pak Ajip sudah tahu kehendak hati saya. “Mau tanda tangan?” kata Pak Ajip. “Muhun, Bapak” jawab saya dengan singkat.
Sembari menandatangani di setiap buku, Pak Ajip menatap lekat beberapa judul buku yang saya sodorkan. Mulai dari kumpulan puisinya; Cari Muatan, Jante Arkidam, Jeram, Surat Cinta Enday Rasjidin, Ular dan Kabut, Sajak-sajak Anak Matahari, Nama dan Makna. Hingga beberapa esai dan kumpulan surat. Seolah setiap buku membuka kembali memori Pak Ajip, ditambah dengan suasana dan latar Jatiwangi waktu itu.
Dari beberapa buku puisi, Pak Ajip lama sekali mendekap dan menatap kedua buku; Jeram dan Surat Cinta Enday Rasjidin. Saya hanya melihat dan memperhatikan saja, tidak berani untuk bertanya apalagi menyela. Namun di tengah-tengah itu, Pak Ajip memanggil salah satu panitia acara, sembari bertanya “Buku ini sudah ada di Penerbit?”. Panitia menjawab “Sudah ada, Pak”. Saya hanya mengira saja dari percakapan singkat itu, boleh jadi buku yang saya mintakan tanda tangan ini, belum cetak ulang lagi dari penerbit. Atau boleh jadi, Pak Ajip memastikan kedua buku ini sudah ada dan cetak ulang oleh penerbit.
Rupanya tahun itu menjadi tahun pertama dan terakhir bagi saya akan perjumpaan dengan Pak Ajip Rosidi. Beberapa bulan setelahnya, Pak Ajip kembali ke haribaan Allah SWT dengan tenang dan penuh kedamaian.
Pak Ajip banyak meninggalkan warisan kebudayaan bagi generasi setelahnya. Mulai dari sumbangan pemikiran hinga semangat akan pelestarian kebudayaan dan bahasa daerah. Sastra Rancage adalah satu di antara banyaknya warisan kebudayaan yang dititipkan oleh Ajip Rosidi yang tetap lestari hingga hari ini.
Tahun 2022, Anugerah Sastra Rancage sudah menginjak di usia 34 tahun. Jika diibaratkan pada usia manusia, usia ini sudah mengalami perkembangan kematangan. Baik dari fisik maupun mental. Begitupula dengan perkembangan kebahasaan dan sastra daerah kita yang sudah melampaui "kedewasaan".
Kita tidak lagi mempersoalkan dan mempertentangkan penggunaan bahasa daerah dan bahasa nasional di ruang publik. Sudah sepatutnya kita dewasa menyikapi hal itu, Penganugerahan Sastra Rancage menjadi benang penyulam yang merekatkan kembali bahasa dan budaya kita sebagai anak bangsa yang mampu memadukan bahasa daerah menjadi penyokong utama bahasa nasional, baik dari segi kosa kata hingga pada ragam kebudayaan berbahasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H