SEJARAH bangsa ini, cenderung didominasi oleh narasi nasional-militeristik. Kompleksitas dan ragam pengalaman dalam revolusi Indonesia jarang mendapat sorotan, utamanya masyarakat akar rumput hingga elit politik. Padahal, banyak peran dan kontribusi gerakan-gerakan masyarakat yang turut mengonstruksi Revolusi Indonesia.
Revolusi Indonesia menyajikan banyak kasus besar dan peristiwa bagi sejarah yang mampu mengomparasikan tentang revolusi, utamanya dalam konteks muslim. Islam adalah satu basisi yang jelas, meski jarang digunakan bagi Ideologi Revolusi. Jack Goldstone dalam Kevin Fogg (2020) menyebutkan tiga prasyarat kunci sebuah ideologi revolusi. Pertama, mengilhami pengikut dalam skala luas yang beresonansi dengan pedoman kultural yang sudah ada. Kedua, memberi kepastian akan keberhasilan para pengikut. Ketiga, membujuk orang dengan menyatakan bahwa otoritas yang ada tidak adil dan lemah.
Masyarakat akar rumput muslim di Indonesia memandang revolusi Islam dalam dua pengertian. Pertama, dalam memandang perang kemerdekaan, kaum santri yang berjuang melawan Belanda memahami ini sebagai perjuangan untuk tujuan-tujuan Islam dan mengorganisasi diri dengan cara-cara Islam. kedua, dalam memandang revolusi politik dengan berdirinya sebuah negara baru, ada transformasi fundamental dalam hal Islam memengaruhi politik dan dalam hal politik memengaruhi kehidupan Islam. Revolusi pula memiliki dua tataran yang berbeda: mobilisasi massa dalam perang kemerdekaan dan kaum elite yang bermain di tataran revolusi politik.
Peristiwa di Surabaya, 10 November 1945 menandai momentum kebangkitan kembali perjuangan para pahlawan yang bertempur dengan tentara Inggris pasca revolusi kemerdekaan (baik masyarakat akar rumput maupun elit politik). Peristiwa ini menewaskan Jenderal Mallaby, seorang pimpinan tentara Inggris pada 30 Oktober 1945 yang memantik kemarahan pihak Inggris. Mallaby, digantikan oleh Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk memimpin dan mengeluarkan ultimatum yang meminta pihak Indonesia agar menyerahkan seluruh persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEIÂ (Allied Forces Netherlands East Indies).
Ancaman tidak berhenti sampai di situ, pihak sekutu berencana untuk membumi hanguskan Kota Surabaya dengan berbagai gempuran dari darat, laut, udara. Namun ultimatum tersebut tidak membuat rakyat Surabaya bergeming sedikit pun hingga terjadi pertempuran 10 November 1945.
Peristiwa inilah yang melatari diperingatinya Hari Pahlawan. Peringatan Hari Pahlawan sejatinya adalah untuk menumbuhkan cinta tanah air, meneguhkan sikap kebangsaan, sekaligus sebagai memori kolektif bangsa untuk memupuk semangat dan perjuangan generasi mendatang.
Seekurang-kurangnya terdapat dua hal yang bisa kita refleksikan bersama dalam mengisi hari Pahlawan tahun ini. Pertama, Hari Pahlawan menjadi satu momentum bersama untuk selalu menumbuhkan nilai etis dan spirit kepahlawanan sebagai modal sosial untuk meneguhkan, mengimplementasikan, serta mendayagunakan segenap kekuatan, pengetahuan dan sikap gotong royong untuk bersama-sama menjawab persoalan dan tantangan yang dihadapi bangsa.
Kedua, menghayati dengan sepenuh hati sikap kepahlawanan dalam mengisi kemerdekaan bangsa dengan berbagai program, kegiatan, pembangunan guna mewujudkan cita-cita bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H