Dua hari pasca kemerdekaan, para perwakilan tokoh Islam kembali menggaungkan permintaan pembentukan kementerian khusus untuk pengelolaan urusan agama. Pada 19 Agustus 1945 parlemen sementara membuat Kementerian Agama sebagai salah satu dari tiga belas departemen level kabinet dalam pemerintahan. Ide tentang pendirian Kementerian Agama mengalami penentangan oleh satu delegasi dari Maluku, Latuharhary yang menganggap kementerian semacam itu akan memunculkan konflik antara masyarakat Muslim dan Kristen.
Selain Latuharhary, penentangan juga disuarakan oleh Iwa K. Sumantri dan Ki Hajar Dewantara. Meski terjadi penentangan, pemerintah secara eksplisit memasukkan agama dalam satu portofolio kementerian. "Departemen Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan akan menangani masalah pengajaran, pendidikan, kebudayaan, agama, dan lain-lain. Dengan begitu, urusan agama masuk dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak berhenti sampai di sana, dalam satu sidang paripurna Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada akhir November 1945, delegasi dari Banyumas, Jawa Tengah, yang dipimpin antara lain oleh K. H. Saleh Suaidy (aktivis Muhammadiyah) dan K. H. Abudarduri (Ketua Muhammadiyah Cab Purwokerto), mengajukan sebuah proposal yang didukung kuat oleh perwakilan Islam. KH. Saleh Suaidy, memberi argumentasi: "Daripada memisahkan urusan keagamaan di beberapa kementeriaan (pendidikan, kehakiman, dan lain-lain), urusan itu harus dipusatkan dan ditangani oleh Kementerian Agama.
Atas usulan tersebut, pemerintah menerima dengan baik. Pada 3 Januari 1946 Sukarno bertindak atas saran itu dengan mendekritkan pembentukan Kementerian Agama dengan H. Rasjidi sebagai Menteri Agama Pertama.
Sebuah Kemenangan dan "Hadiah"
Dalam satu kesimpulannya, Fogg menulis soal urgensi pendirian Kementerian Agama. "Pendirian Kementerian Agama adalah kemenangan penting bagi masyarakat Islam karena dua alasan. Pertama, secara teoretis, ini mengonfirmasi prinsip bahwa urusan keagamaan tidak boleh dipisahkan sepenuhnya dari pemerintahan di Indonesia, kementerian ini adalah langkah besar dalam pemerintahan negara yang baru merdeka dalam memasukkan diri ke dalam urusan keagamaan.
Kemenangan besar kedua bagi para tokoh Islam dalam pendirian Kementerian Agama adalah kemampuan baru untuk memberi perlindungan pemerintah terhadap para tokoh Islam.Â
Organisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah bisa memberi jaminan gaji bagi para anggotanya dengan menunjuk mereka sebagai pejabat-pejabat keagamaan lokal atau guru-guru agama di sekolah-sekolah negeri, atau dengan memberi subsidi kepada sekolah-sekolah Islam mereka melalui kemeterian"
Sungguh, kemenangan dan "hadiah" sejati adalah sikap pluralitas, persaudaraan, gotong royong, dan persatuan yang diwariskan para pendahulu kita. Sikap-sikap negarawan dan kebhinekaan yang terus tumbuh di tengah keragaman, tidak saling curiga, menuding, dan egoisme kelompok yang mampu mengoyak keutuhan dan persatuan anak bangsa.
DAFTAR BACAAN
Benedict Anderson. 2009. Java In a Time of Revolution: Occupation and Resistance.
Kevin W. Fogg. 2020. Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia. Bandung: Noura Books
Lukman Hakiem. 2021. Utang Republik pada Islam.