Mohon tunggu...
Arief Nurharyadi
Arief Nurharyadi Mohon Tunggu... Sales - Suka membaca dan berandai-andai

Baca/Iqro yang Tertulis juga yang TIDAK Tertulis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pemilihan Langsung dan Demokrasi Indonesia

11 Maret 2022   06:58 Diperbarui: 21 April 2024   21:26 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.vectorstock.com/royalty-free-vector/graphic-cartoon-character-democracy-vector-36760193

Juga kenyataan partai politik ketika menyodorkan kandidat pemimpin banyak mengambil bukan dari partainya dapat diistilahkan bila partai politik sebagai pedagang buah maka ketika berjualan mereka lebih memilih buah yang masak dan ranum walaupun bukan dari pohon sendiri melainkan pohon-pohon lain yang ada dan sudah menghasilkannya. Ini bukti nyata pengkaderan tidak berjalan serta menjadikan juga politik dagang sapi seperti beberapa artis dari suatu partai dibeli oleh partai lain untuk mendapatkan suara.

Dibeberapa tempat sudah terjadi pemilihan kepala daerah hanya di sodorkan 1 pasangan calon dan hasilnya di menangkan kotak kosong.

Bisa jadi di tahun 2024 hanya ada 1 pasangan calon dan dapat saja hasilnya adalah pemenangnya kotak kosong.
Dari biaya yang sudah dikeluarkan sangatlah banyak akan tetapi kita hanya mendapatkan kotak kosong sebagai pemimpin kita.

Sebagai info jika ditotal, sejak 2014 hinga 2019, pemerintah akan mengeluarkan uang senilai Rp 65,45 triliun dalam menyelenggarakan pesta demokrasi. Rencana ini biasanya angkanya membengkak, Asal tahu saja, uang sebesar itu sekiranya bisa untuk membangun 570 km jalan tol, 9.735 km jalan dengan lebar 6 meter, sementara jarak Sabang ke Merauke saja hanya 8,400 km, ditambah bisa membangun 100 unit gedung pencakar langit setinggi 35 lantai.

Belum dana-dana yang dikeluarkan oleh calon kandidat, partai-partai serta sumbangan dari pribadi, perusahaan dan lembaga-lembaga lainnya dalam Pemilu sehingga jumlahnya beberapa kali lipat dari dana yang dikeluarkan pemerintah.

Jika dilihat siklus 5 tahunan (2014 sd 2019) maka total anggaran Pemilu adalah 40,8 Triliun. Jumlah yang tidak sedikit. Dana diatas belum termasuk yang dikeluarkan oleh para Calon Legislatif, Calon Kepala Daerah, Partai-partai dan Calon Presiden. Angkanya bisa membekak dengan jumlah yang Fantastis. Sementara efektifitas pemerintahan Pusat, Daerah dan pengawasanan dari Legislatif belum optimal atau dapat saja dikatakan minim.
Banyak masalah sosial terjadi ketika terjadi pemilu tidak hanya di masyarakat tetapi juga di kalangan partai-partai, bahkan para pasangan petahana yang sebelumnya menjadi pasangan pada saat menjabat maka mereka menjadi pesaing pada pemilu. Belum lagi pemanfaatan dana dan Fasilitas negara oleh petahana yang baru menjabat 1 periode karena di undang - undang diperbolehkan sampai 2 periode.

Mengacu pada hal diatas maka ada keinginan agar pemilu dilakukan 8 (delapan) tahun sekali dengan Jabatan yang diemban hanya 1 (satu) periode jabatan. Selain pasti menghemat dana juga meminimalkan gesekan sosial di masyarakat serta menghindari sogokan, jual beli jabatan dan lainnya pada saat 1 periode para petahana menjabat dan berakhir jabatan serta akan mencoba peruntungan di jabatan periode yang ke2.

Keinginan pemilu setiap 8 tahunan diatas masih perlu dikaji dan dimusyawarahkan karena ada masyarakat yang mendapat keuntungan dari pemilu lima tahunan seperti para buzzzer, calo suara, media masa dan lain sebagainya dimana dengan pemilu 8 tahunan maka kesempatan itu menjadi lebih lama.
Mengacu di USA setiap jabatan Presiden adalah 4 tahun dan maksimal 2 periode maka jika seseorang presiden di USA menjabat 2 periode jika di total masa menjabatnya adalah 8 (delapan) tahun.

Juga perlu dikoreksi mengenai Presidential threshold dimana Besaran presidential threshold kembali berubah pada Pilpres 2019. Ketentuan tentang ambang batas itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Pasal 222 UU itu menyebutkan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Jika pemilihan Presidential thresold menjadi 0% sehingga memunculkan lebih banyak pilihan kepada masyarakat untuk memilih pilihannya. Jika ada orang yang mengkawatirkan bahwa presiden yang terpilih nanti kurang kuat mendapat dukungan dari DPR karena 0% maka kita dapat melihat sejarahnya bahwa partai-partai (DPR) banyak "merapat" ke pemenang Presiden walaupun awal kontestasi merupakan lawanya, ini jadi pertanyaan menarik mengenai kekhawatiran 0%  yang bisa jadi ada pihak-pihak/partai-partai yang tidak mendapat "bagian" ketika calon kandidat mengajukan diri sebagai Presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun