Berbicara tentang Migas, maka dalam beberapa tahun belakangan bahkan sejak tahun 2003, sektor Migas seolah-olah adalah karma, sumbernya penyakit merosotnya perekonomian Indonesia.Â
Posisi Indonesia yang sudah Net Importir Migas dan menjadikan Indonesia keluar dari keanggotaan OPEC menyebabkan Migas menjadi penyumbang defisit neraca perdagangan yang semakin melebar.Â
Ditambah harga rata-rata minyak dunia yang sempat diatas US$ 100/barrel maka di tahun 2013 subsidi energi (BBM & listrik) sempat mencapai diatas Rp 300 triliun atau pos pengeluaran paling besar di APBN di era SBY. Bakar-bakar uang sebanyak  Rp 300 triliun jika dipakai membangun jalan tol sudah bisa menyambungkan Sumatera dan Jawab.Â
Jika dipakai membangun ruang sekolah yang biayanya sekitar Rp 300 juta, maka sudah mendapatkan 30.000 ruangan kelas, malah lebih dari cukup untuk mengangkat dan membayar gaji guru honor dan tenaga kerja honorer menjadi Pegawai Negeri.
Pada masa jayanya, sektor Migas memiliki peranan penting bagi Bangsa dan Negara, sebagai sumber Energi juga sebagai sumber Penerimaan Negara, pada puncak kejayaan Migas di era Reformasi kontribusi terhadap penerimaan negara di APBN pernah menyampai 30%.Â
Saat ini sektor migas menyumbang antara 8%-10%. Ironis memang, saat kontribusi menurun justru kebutuhan Migas terus tinggi, maka jalan keluarnya adalah impor.Â
Dengan kebutuhan BBM sekitar 1,6 juta barrel/hari dan produksi minyak hanya di sekitar 800 ribu barrel/hari maka impor dilakukan sebanyak 800 ribu barrel/hari atau membutuhkan biaya sampai Rp 400 triliun setiap tahun untuk impor Migas.
Benarkah Indonesia sudah Darurat Migas?
Secara produksi memang benar Indonesia sudah darurat Migas, bahkan tinggal 11 tahun sisa produksi Migas. Angka 11 tahun adalah jika tidak ada penemuan cadangan Migas yang baru, sedangkan setiap hari di produksi terus menerus.Â
Saat ini cadangan Migas di Indonesia kisaran 3,8 miliar barrel. Namun apakah se-darurat itukah Migas di Indonesia, jawabannya tentu tergantung "sudut pandang dan kepentingan".