Mohon tunggu...
Arief
Arief Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Pernah nulis dibeberapa media seperti SINDO, Jurnas, Surabaya Post, Suara Indonesia (dulu dimasa reformasi), Majalah Explo dll. ( @arief_nggih )

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

"Misi Asing Sukses", Pemerintah Berpotensi Kehilangan Rp 29,36 T di Semen Indonesia

27 April 2017   06:13 Diperbarui: 27 April 2017   15:00 3496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penolakan pabrik Rembang yang berlarut-larut dan sudah mencapai lebih dari 945 hari dengan aksi yang demonstratif, sampai menyebabkan meninggalnya warga Pati saat demo di Istana, bahkan mampu menyeret Teten Masduki sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) telah berubah dari “mengamankan” aset negara menjadi “melemahkan” aset negara.

Dampak negatif terhadap BUMN Semen Indonesia yang juga adalah pemimpin pasar domestik dengan penguasaan market mencapai 42% meskipun kapasitas produksi yang dimilikinya hanya 36% menjadi melemah. Utilitas kapasitas produksi Semen Indonesia yang “nyaris” 100% menyebabkan utilitas produksi pabrik swasta khususnya asing menjadi kecil. Bahkan pabrik Holcim di Tuban salah satu line produksinya dalam kondisi “beroperasi” terkadang “tidak beroperasi”. Sehingga dapat dikatakan jika Semen Indonesia utilitas produksi 100% maka pesaing rata-rata hanya 80% saja. Maka tidak heran dengan kapasitas terpasang hany 36% mampu menguasai pasar hingga 42%.

Maka tidak salah jika mayoritas pemegang saham publik Semen Indonesia adalah perusahaan investasi asing terkenal seperti JP Morgan, Citibank NA dan lainnya. Tercatat saham publik 49% sebanyak 90% dikuasai investor asing.  

Publik masih menganggap konflik Semen Rembang adalah masalah korporasi biasa dan hanya berhitung jika tidak beroperasi maka Semen Indonesia atau Negara akan kehilangan biaya investasi Rp 5 triliun. Kemudian jika Semen Rembang bisa beroperasi maka nilai investasi Rp 5 triliun akan kembali seiring keuntungan yang diraih Semen Rembang. Namun publik lupa bahwa “sinetron” penolakan pabrik Semen Rembang telah menghancurkan reputasi Semen Indonesia di mata investor sehingga nilai sahamnya turun dibawah kewajaran.

Pada tahun 2013-2014 Semen Indonesia adalah perusahaan nasional yang mampu mengalahkan reputasi Indocement yang dimiliki Heidelberg Jerman dan Holcim yang dimiliki Swiss. Enterprise Value Semen Indonesia jauh diatas kedua perusahaan semen asing, bahkan dalam beberapa kali Semen Indonesia mendapatkan penghargaan sebagai perusahaan idaman investor. Maka di tahun 2013-2014 harga saham Semen Indonesia sempat menyentuh angka Rp 18 ribuan. Hal ini menunjukkan rendahnya kepercayaan investor saham pada kemampuan Semen Indonesia untuk tumbuh berkelanjutan dimasa mendatang atau dengan kata lain "daya saing" Semen Indonesia menurun.

Namun sejak tahun 2017 harga saham Semen Indonesia selalu dibawah Rp 10 ribuan. Pada tanggal 13 April 2017 bahkan hanya Rp 8.875,- dan harga saham tanggal 26 April 2017 sebesar Rp 9.000,-. Pemerintah dan masyarakat Indonesia tertipu dengan strategi asing yang sangat cerdik. Saat Pemerintah, DPR, dan masyarakat hanya fokus pada Semen Rembang beroperasi apa tidak?, investasi Rp 5 triliun hilang apa tidak?. Sesungguhnya Pemerintah telah kehilangan uang yang sangat besar di Semen Indonesia.

Semisal Semen Indonesia pada tanggal 13 April 2017 di jual, maka dengan market capitalization yang hanya Rp 56 triliun, dengan saham 51% maka Pemerintah hanya dapat uang Rp 28, 56 triliun. Padahal jika dijual di tahun 2014 dengan harga saham Rp 18 ribu atau market cap Rp 113 triliun, dengan saham 51% Pemerintah akan dapat uang Rp 57,92 triliun. Ada selisih kehilangan uang sebesar Rp 57,92 triliun - Rp 28,56 triliun = 29,36 triliun.

Tidak dalam kondisi dijual, maka kekayaan Pemerintah Indonesia sesungguhnya sudah berkurang, bukankah setiap tahun ada penghitungan kekayaan negara, maka saham adalah salah satu kekayaan negara yang dihitung berdasarkan nilai pasar (market value). Kekayaan negara menjadi acuan untuk menghitung “bunga surat utang negara” yang diterbitkan Pemerintah, artinya jika kekayaan negara kecil maka beban bunga akan tinggi. Sama seperti perusahaan meminjam kredit dari bank, jika perusahaan punya simpanan/deposito yang besar di bank tersebut maka akan mengurangi tingkat resiko bank, sehingga tingkat resiko yang dimasukkan dalam komponen bunga bank akan rendah, maka bunga kredit akan rendah pula.  

Coba semua BUMN jagoan di “kerjain” seperti Semen Indonesia maka ribuan triliun uang negara berpotensi lenyap, atau jika tidak lenyap, maka beban bunga surat utang negara akan naik terus. Apalagi "Misi Asing" sudah bisa menembus tembok istana dengan keperpihakan Teten Masduki Kepala Staf Kepresidenan kepada aksi penolakan Pabrik Semen Rembang milik Semen Indonesia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun