Polemik industri semen di Jawa Tengah, perdebatan telah melebar ke banyak hal, ada yang berhubungan langsung dan ada yang sekedar kesamaan nama, hanya karena ada kata “Kendeng”, maka diasosiasikan sebagai area yang berada di Pati dan Rembang. Kedua daerah tersebut menjadi pembicaraan nasional sejak kisruh pabrik Semen Rembang yang telah menjerat Presiden Jokowi dalam pusaran permasalahan. Yaa.....niat Jokowi menemui peserta aksi ibu-ibu penolak pabrik Semen Rembang di tahun 2016 telah menyerat institusi kepresidenan dalam polemik Semen Rembang.a
Aksi terbaru penolak pabrik Semen Rembang telah menelan korban jiwa, yaitu peserta demo dari Pati yang bernama Patmi. Aksi yang disayangkan menelan korban jiwa, sehingga isu yang berkembang dapat bergeser dari “benar atau salah” secara ilmiah dan sosial apakah pabrik Semen Rembang melanggar aturan atau tidak. Tetapi dapat berkembang kearah “simpati” korban, tanpa peduli apakah tuntutan pada aksi yang menimbulkan korban tersebut benar atau salah. Tetapi lebih pada membenturkan isu “ada korban dari rakyat”, maka Pemerintah harus berpihak pada rakyat.
Pada tahun 2015, saya menulis di kompasiana dengan judul “Analisa Mengapa Samin Akhirnya Menghilang dari Rembang” yang saat itu sedang ramai perbincangan film “Samin vs Semen” sebagai protes terhadap pembangunan pabrik Semen di Rembang yang akan menghilangkan identitas masyarakat samin dan masyarakat samin lebih membutuhkan nasi dibandingkan semen. Sebuah film yang seolah-olah menunjukkan perjuangan masyarakat Samin di Rembang yang menolak pabrik Semen. Padahal di Rembang tidak ada lagi masyarakat Samin sejak kebijakan represif Pemerintah Kolonial Belanda yang berpusat di Karisidenan Rembang, sehingga masyarakat Samin di Rembang bermigrasi ke Pati, Blora dan Bojonegoro. Jadi nama “Samin” hanya dipinjam oleh para penolak Pabrik Semen Rembang yang dimotori oleh LSM dari Pati.
Zona Kendeng
Dalam berbagai pemberitaan di media, disebutkan bahwa Zona kendeng yang ada di Rembang harus dilindungi, penyebutan zona kendeng di Rembang berasal dari Gunretno dan kawan-kawan. Bahwa penambangan semen di Zona Kendeng akan merusak kawasan Kendeng. Padahal sejak penelitian jaman Kolonial Belanda, dan kemudian dipublikasikan oleh Van Bemmelen di tahun 1949 http://www.academia.edu/11132401/GEOLOGI_REGIONAL_ZONA_KENDENG
Berdasarkan morfologi tektonik (litologi dan pola struktur), maka wilayah Jawa bagian timur (meliputi Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur) dapat dibagi mejadi beberapa zona fisografis (van Bemmelen, 1949) yakni : Zona Pegunungan Selatan, Zona Solo atau Depresi Solo, Zona Kendeng, Depresi Randublatung, dan Zona Rembang.
Pegunungan Kendeng dibagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian timur mudari berbagai literatur dan penelitian ai dari timur Jombang hingga Delta Sungai Brantas dan menerus ke Teluk Madura. Sedangkan Zona Tengah membentang hingga Jombang dan bagian barat yang terletak di antara Gunung Ungaran dan Solo (utara Ngawi).
Zona Kendeng juga sering disebut Pegunungan Kendeng dan adapula yang menyebut dengan Kendeng Depp, adalah antiklinorium berarah barat-timur. Pada bagian utara berbatasan dengan Depresi Randubaltung, sedangkan bagian selatan bagian jajaran gunung api (Zona Solo).
Jelas tidak ada daerah Rembang yang masuk ke Zona Kendeng karena Randublatung yang merupakan daerah yang berbatasan dengan Zona Kendeng bagian utara berada di Kabupaten Blora, yang artinya Zona Kendeng jauh berada di selatan Kabupaten Rembang.
Zona Rembang
Dalam perkembangannya, justru di Rembang ada Zona tersendiri yaitu Zona Rembang yang membentang dari Rembang sampai Pati. Lalu kaitannya apa antara Zona Kendeng yang dimunculkan dalam aksi penolakan pabrik Semen di Rembang, tentu harus dipahami bahwa pihak penolak pabrik Semen Rembang berupaya mencari cara untuk mengaitkan berbagai hal yang bahkan tidak ada kaitannya dalam rangka memperkuat argumentasi bahwa pendirian pabrik semen di Rembang salah secara lingkungan.