Bayangkan jika dari investasi raksasa Rp 80 triliun dengan biaya dari lembaga keuangan 70% atau Rp 56 triliun, kemudian macet, maka NPL perbankan akan melonjat dan berpotensi bank bankrut. Ambil contoh total kredit Bank Mandiri sebagai bank terbesar di Indonesia, pada tahun 2014 sebesar Rp 530 triliun, maka jika membiayai 1 kilang pertamina lebih dari 10% kredit disalurkan. Lalu kalau macet NPL sudah diatas 10%, sedangkan aturan Bank Indonesia NPL kurang dari 5%.
Keberanian Pemerintah dan Pertamina, lahirkan Megaproyek Kilang Pertamina
Publik selama ini lebih melihat mega proyek Pemerintah pada sektor infrastruktur, pelabuhan dan lainnya. Hal ini wajar karena mega proyek Pemerintah tersebut pada umumnya dibiayai oleh APBN. Setelah mereformasi tata niaga migas, Pemerintahan Jokowi memberikan dukungan bagi pembangunan kilang minyak yang akan dilakukan Pertamina. Memang dalam aturan dibuka pula peluang swasta untuk membangun kilang, artinya ada perlakuan setara antara Pertamina dan Swasta untuk membangun kilang.
Tapi yakinlah, hanya Pertamina yang akan membangun mega proyek kilang. Berlatar belakang pendidikan S2 di bidang keuangan, serta pengalamannya memimpin perusahaan semen terbesar di Indonesia yang sudah “Go Public”, dengan inovasi di pabrik semen yang bahkan saat ini menjadikan limbah industri sebagai bahan baku substitusi semen (pendapatan dari bahan baku), Sosok Dwi Soetjipto setelah melakukan rangkaian kegiatan Managemen Work Through diberbagai kilang Pertamina di Indonesia menemukan fakta bahwa banyak hasil samping yang sebenarnya produk yang bisa dimanfaatkan. Produk samping “Non BBM” selama ini tidak dihtung dalam komponen kelayakan membangun kilang minyak.
Produk non BBM seperti Naptha, Green Coke dan lainnya. Naptha dengan angka RON 80 memang tidak layak dijadikan bahan bakar, sehingga Naptha diekspor ke Singapura. Oleh Singapura Naptha dipakai campurn BBM Ron 91 untuk menghasilkan BBM Ron 88 atau yang biasa disebut sebagai Premium. Memang ajaib, di dunia hanya tinggal 3 negara yang jualan Premium, salah satunya Indonesia. Ini tentu salah satu kendala yang publik melihat mafia migas bermain. Bahkan yang luar biasa, harga “Naptha” lebih murah dibandingkan harga “minyak mentah”, inilah dahulu disebut produk Naptha bukan sebagai produk yang dapat dijual, karena harga jual lebih murah dibandingkan harga beli bahan baku.
Jelinya Singapura, dan tentu juga jelinya mafia migas, maka Naptha produksi Pertamina dijual ke Singapura, kemudian Singapura mencampur Naptha dengan BBM yang memiliki RON lebih tinggi. Pada suatu kesempatan Dirut Pertamina saat itu Dwi Soetjipto meminta agar Pertamina tidak lagi menjual Naptha, karyawan tanya bagaimana nanti tanki Pertamina penuh, Dwi Soetjipto menjawab sebagai engineer terbaik yang bekerja di perusahaan terbesar di Indonesia tugasnya mencari jawaban bagaimana mengolah Naptha menjadi produk yang bermanfaat.
Menjawab tantangan sekaligus dukungan Pemerintahan Jokowi Dirut Pertamina saat itu Dwi Soetjipto ngebut menghitung strategi membangun Mega Proyek Pertamina membangun kilang untuk memenuhi kebutuhan BBM 10 tahun kedepan dari 2014 ke 2024. Maka program peningkatan (upgrading) dengan nama RDMP dikilang Dumai, Balikpapan, Cilacap dan Balongan yang akan meningkatkan kapasitas kilang existing lebih dari 40% atau sekitar 600 ribu barrel serta membangun kilang baru masing-masing berkapasitas 300 ribu barrel di Tuban dan Bontang sehingga ditahun 2024 kapasitas kilang Pertamina menjadi 2 juta ton dan berkualitas EURO 5 mengalahkan Kilang Singapura yang hanya EURO 3. Serta diprediksi tahun 2024 Pertamina akan memiliki kelebihan solar berstandar EURO 5 yang bisa diekspor.
Singapura Terjepit Langkah Pertamina
Ibarat kata, Singapura sudah jatuh tertimpa tangga. Jika mega proyek Pertamina dapat dilaksanakan sesuai tepat waktu dan tepat kualitas, maka Singapura dipastikan akan kehilangan pasar di Indonesia yang mencapai 900 ribu barrel BBM, lebih dari itu Singapura bisa kehilangan pasar disekitar ASEAN dan Australia-Selandia Baru karena harus berkompetisi untuk ekspor solar, keunggulang solar Pertamina yang EURO V dibandingkan Singapura yang EURO III tentu akan menjadi keuntungan Pertamina kedepan.
Maka tidak hanya para politisi dan pemburu rente di Indonesia yang panas dingin karena tidak bisa bermain lagi untuk “Impor BBM”. Singapura sebagai negara yang memiliki BBM sangat berlebih juga akan panas dingin untuk menjual 1,2 juta barrel BBM yang dimilikinya, karena dari kapasitas kilang 1,4 juta barrel konsumsi Singapura kurang dari 200 ribu barrel.
Tidak adanya langkah spektakuler Pertamina untuk mendukung kemandirian energi, situasi di Pertamina sudah banyak intrik dan nuansa politisnya sangat besar. Apalagi jika Pertamina bangun kilang minyak besar-besaran, dijamin negara lain akan ikut campur urusan Pertamina.