Perlu win-win solution, agar wajah market place tidak menjadi ajang jualan melalui foto yang ada tulisannya. Tetapi juga ada cara agar desain dari UMKM tidak dengan mudahnya dijiplak oleh para plagiater yang akan mematikan perkembangan UMKM. Jika potensi produk sudah diambil oleh para plagiater dengan modal besar, maka sebagian besar pasar tentu sudah diambil para plagiater ini. Inilah salah satu sebab UMKM kurang berkembang karena pasar yang mestinya menjadi ajang perkembangannya diambil pihak lain secara illegal.
Market Place akan tetap menjadi andalan UMKM. Lihatlah belanja iklan 2015, siapa sangka Tokopedia habiskan Rp 674 miliar dan merupakan peringkat 7 se Indonesia. Artinya tentu market place lainnya juga beriklan, namun belum masuk peringkat 10 besar.
Peran Pemerintah Masih Minim
Meskipun sudah ada kebijakan bahwa UMKM yang mematenkan desain dibebaskan biaya. Namun perannya mesti lebih dari hal tersebut, khususnya pada sektor usaha yang “desain berkembang cepat”. Semisal di industri fashion, sebuah pengusaha di sektor ini mesti tiap 3 bulan untuk mengupdate desainnya ke pasar, karena pemain lain melakukan hal yang sama. Sehingga dapat dikatakan setiap lebih dari 3 bulan, maka desain sebelumnya adalah sudah obsolete/kadaluarsa. Apakah dalam waktu 1 jam Kementerian Koperasi dan UMKM benar-benar bisa menghasilkan verifikasi Hak Cipta yang valid?. Lihatlah persyaratannya dibawah ini :
“Layanan pengurusan hak cipta dan hak merek ini berada di Kantor Kementerian Koperasi dan UKM di Jalan HR Rasuna Said Kav 3-4, Kuningan, Jakarta. Bagi UKM yang ingin mengurus hak cipta dan hak merek, harus membawa contoh barang, identitas pribadi serta surat pernyataan produk tersebut bukan hasil tiruan dari karya pihak lain”.
Kalimat surat pernyataan produk tersebut bukan hasil tiruan dari karya pihak lain, menunjukkan bahwa Pemerintah belum memiliki metode yang lebih baik untuk memastikannya. Jadi, jika suatu saat produknya milik orang lain terus bagaimana?. Sanksinya seperti apa?.
UMKM yang dengan tenaga kerja terbatas, tentu tidak memiliki staf yang bertugas di bidang hukum. Coba bayangkan membawa penjiplakan desain ke ranah perdata, tentu butuh waktu lama dan biaya mahal. Bagi industri fashion yang tidap 3 bulan ada produk baru, ibaratnya sudah tidak ada gunanya bersengketa di ranah hukum.
Pekerjaan rumah adalah bagaimana Pemerintah dapat memonitor industri kreatif yang sifatnya sangat dinamis dan berkembang cepat, yang didorong oleh tipikal konsumen yang di drive oleh media sosial dan generasi Z. Pemerintah perlu memiliki alat bantu (penindai), serta memiliki website yang otomatis menginformasikan karya cipta yang dijiplak serta produk jiplak. Ini tentu tidak sulit, di era digital maka seluruh usaha yang ada di Indonesia, pasti jejaknya ada di “internet”. Berkaca pada kemampuan Menkominfo untuk memblokir situs porno, maka dengan analogi yang sama, akan diperoleh pula desain yang dijual online tetapi adalah hasil karya plagiat.