Mohon tunggu...
Arief
Arief Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Pernah nulis dibeberapa media seperti SINDO, Jurnas, Surabaya Post, Suara Indonesia (dulu dimasa reformasi), Majalah Explo dll. ( @arief_nggih )

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Ford Hengkang, "Bukan" Kalah Bersaing

9 Februari 2016   14:42 Diperbarui: 9 Februari 2016   15:22 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar 2 minggu yang lalu publik heboh dengan berita dan statemen langsung dari Ford Indonesia yang menyatakan menutup operasionalnya di Indonesia. Tanpa angin tanpa hujan tahu-tahu muncul keputusan tersebut. Biasanya selalu ada rumor-rumor dan rumor sebelum kenyataan, tetapi ini seperti bangun tidur lalu buat statemen mundur dari Indonesia. Pertanyaannya apakah Ford Indonesia kalah bersaing dengan produk Jepang?. Jawaban paling mudah adalah kalah bersaing, buktinya dari total penjualan mobil tahun 2015 yang berada dikisaran 1 juta mobil, maka penjualan sebesar 6.000 mobil di tahun 2015 tentu hanya 0,5% pasar mobil nasional atau sangat kecil.

Ford Indonesia tahun 2008-2013 sempat berjaya dalam menjual mobil, khususnya fenomena Ford Ranger mobil 4 x 4 yang merajai sektor pertambangan. Ya...booming komoditas termasuk batubara di tahun 2008 sampai 2013 yang lalu telah memicu segmen mobil SUV berkembang pesat, khususnya yang untuk medan berat. Lalu bermunculanlah Mitsubishi Stratda, Toyota Hilux, Nissan Navarra dll. Ambruknya sektor tambang maka ambruk pula penjualan Ford Ranger 4x4, sehingga berdampak pula pada ambruknya penjualan Ford Indonesia secara keseluruhan.

Ford lebih efisien dibandingkan Daihatsu

Tapi sebenarnya Ford Indonesia tentulah tidak rugi, dengan penjualan sekitar 6.000 orang untuk menghidupi 35 orang karyawannya tentu jauh lebih dari cukup http://www.tribunnews.com/tribunners/2016/01/27/ford-indonesia-phk-karyawan-kemenakertrans-kirim-tim. Artinya setiap karyawan seolah-olah mampu menjual hampir 20 mobil, yang jika tiap mobil rata-rata harganya Rp 250 juta maka setiap karyawan mampu menghasilkan sekitar Rp 5 miliar pertahun. Ini tentu angka yang besar. Coba bandingkan dengan Daihatsu semisal, yang meskipun mampu menjual 140.723 sampai Oktober atau sekitar 170 ribu sampai Desember 2015, tapi coba lihat karyawan Daihatsu yang sangat besar karena punya pabrik sendiri, punya sebagian perusahaan pensupply pabrik perakitan, punya kantor cabang penjualan dan sebagainya. Diperkirakan jumlah karyawan Daihatsu mencapai 10.790 orang di tahun 2013 sebelum menambah pabrik baru atau line produksi baru. Dalam industri otomotif Indonesia, Daihatsu melibatkan 165 perusahaan pemasok lapis pertama dan 850 perusahaan pemasok lapis kedua yang mempekerjakan lebih dari 700.000 orang karyawan (baca http://otomotif.antaranews.com/berita/370610/pabrik-kelima-daihatsu-bakal-produksi-120000-unit). Artinya 170 ribu penjualan yang melibatkan 700.000 karyawan atau setiap karyawan berkontribusi pada penjualan kurang dari 1/3 mobil.

Berdasarkan hitungan "koplak" ini tentu Ford Indonesia lebih efisien dibandingkan Daihatsu. Tapi jika menghitung karyawannya saja yang berjumlah sekitar 13.000 saat ini dengan penjualan 170 ribu mobil maka setiap karyawan akan menjual sekitar 15 mobil. Tetap saja perhitungan yang rasional ini masih menunjukkan bahwa Ford Indonesia lebih memiliki tingkat efisiensi yang tinggi dibandingkan Daihatsu, hitungan sederhananya setiap karyawan Ford Indonesia mampu menjual 20 mobil sedangkan Daihatsu hanya sekitar 15 mobil. Harga jual rata-rata mobil Ford Indonesia yang diatas Daihatsu tentu akan ciptakan margin keuntungan yang juga lebih besar. Bahkan di tahun 2015 penjualan global Ford naik, dan di EROPA berjaya http://oto.detik.com/read/2016/02/09/110230/3137394/1207/untuk-pertama-kalinya-sejak-2011-ford-berjaya-di-eropa

 

Ford fokus di Thailand.

Simalakama sebenarnya dengan penurunan Dwelling Time Pelabuhan Tanjung Priok yang dari rata-rata 6,8 hari menjadi sekiatar 4 hari. Artinya lalu lintas pelabuhan yang semakin efisien dinikmati tidak hanya oleh eksportir tetapi juga oleh importir. Ada yang bisa jelaskan ini apa tidak ya http://www.mobil123.com/berita/ford-indonesia-tambah-8-dealer-di-2015/3931. Artinya setelah menambah dealer yang jadikan jangkauan penjualan dan service Ford menjangkau Sabang-Merauka lalu ditinggal. Jawabannya adalah tugas Ford Indonesia untuk mengatur strategi pemasaran dan distribusi sudah selesai, maka sekarang lebih fokus pada mengefisienkan biaya produksinya. Oleh karena itu Ford akan fokus membuat produk mobil yang berdaya saing di Thailand lalu kirim ke Indonesia. Pasar tunggal ASEAN (MEA) dengan tarif 0% dan Indonesia yang merupakan market terbesar 40% jumlah penduduk dan 38% GDP ASEAN serta pertumbuhan rata-rata pendapatan perkapita yang tinggi tentu akan menjadi pasar yang menarik.

Ada kinerja yang baik Pemerintah dengan mampu turunkan Dwelling Time, tetapi ada yang belum diantisipasi. Bahwa penurunan dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok akan membuka impor lebih gencar. Apalagi ada kebijakan yang aneh di Indonesia dan mesti dirubah yaitu impor produk jadi tarif "0%" namun jika impor komponen masih kena tarif "5%". Artinya jika bangun produk di Indonesia akan rugi, kecuali sudah mampu membangun industri komponen dengan bahan baku lokal.

Lalu kemudian hiruk pikuk tutupnya pabrik elektornik, pabrik garmen dan lainnya apakah sekedar tuduhan tidak memiliki daya saing. Mungkin faktor kurang daya saing juga ada, tetapi jangan lupa ada faktor lain yaitu strategi bisnis global, khususnya perusahaan multi nasional yang punya banyak basis produksi di beberapa negara dan lainnya. Ini mesti diwaspadai!!!!.....

Selama pusat pertumbuhan di pulau Jawa, selama dwelling time hanya fokus di Tanjung Priok maka potensial negatifnya akan sangat besar. Jalan keluarnya adalah segera bangun pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa, sehingga dwelling time yang rendah di Tanjung Priok akan memacu tumbuhnya pusat ekonomi di luar Jawa, dan bukan malah memacu tumbuhnya pusat ekonomi di negeri tetangga di kawasan ASEAN.

Blok Masela tentu akan memberikan dampak ungkit tumbuhnya pusat ekonomi baru jika dibangun di darat (onshore) mungkin dengan resiko investasi yang lebih besar. Smelter Freeport akan lebih memberikan dampak ekonomi jika dibangun di Papua jika dibandingkan di Gresik, tentu dengan investasi yang lebih mahal. Membagi resiko investasi dengan segala kalkulasinya tentu para pakar di Kabinet dan tenaga ahli Pemerintah yang lebih handal menghitung. Intinya adalah mengelola Indonesia adalah dalam bentuk "incorporated", seperti teori balon yang jika ditekan di satu sisi akan pindah ke sisi lain. Jika terpisah-pisah, bisa-bisa hasilnya dimanfaatkan oleh pihak asing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun