Dulu, dua puluh tahun yang lalu masyarakat mungkin hanya mengenal Banyuwangi sebagai pusat perikanan karena ada di buku pelajaran tingkat SD dan SMP yaitu Muncar sebagai salah satu pelabuhan ikan. Disetiap musim lebaran, maka akan muncul berita kemacetan di pelabuhan Ketapang – Gilimanuk saat pemudik antri dari Bali menyebarang ke Banyuwangi. Pada musim liburan turis asing, muncullah Banyuwangi dengan pantai plengkung yang ramai dikunjungi turis asing yang menyebarang dari Bali. Lagi...lagi...seolah-olah Banyuwangi hanya kebagian yang di Bali tidak ada atau bisa jadi turis-turis backpacker yang tidak mampu belanja di Bali lalu ke Banyuwangi. Bahkan dahulu dalam pelajaran sejarah, sering Banyuwangi diasosiasikan tempatnya kumpul manusia jahat jika melihat cerita “Kerajaan Blambangan” dengan rajanya Minak Jinggo yang memberontak terhadap Kerajaan Majapahit. Siapapun orang Indonesia khususnya orang Jawa, apalagi Jawa Timur sangat bangga dengan Kerajaan Majapahit yang luasnya melebihi Indonesia dan menunjukkan jaman dahulu menjadi contoh Indonesia pernah berjaya dan selalu dalam berbagai even kebangkitan nasional merujuk pada “Kejayaan Majapahit”.
Persepsi publik adalah Banyuwangi itu diujung pulau Jawa, daerah masih rawan bahaya dan dulu pusatnya orang jahat di tanah Jawa. Persepsi ini yang terbentuk jika membaca cerita Banyuwangi sebelum tahun 1990an.
Kata Banyuwangi tembus 5 juta di Google
Salah satu cara untuk mengetahui seberapa terkenal/penting suatu kata/nama/daerah dan lainnya dapat dilihat di Mesin Cari Google. Setiap kata yang terpublikasi di internet (online) akan terdeteksi oleh mesin cari tersebut. Hasil pencarian pada tanggal 22 Oktober 2015 untuk “Banyuwangi” menghasilkan 5.510.000 pencarian di Google.
Yang menarik adalah adanya iklan Agoda di hasil pencarian yang mengindikasikan bahwa Banyuwangi sudah masuk destinasi pariwisata yang diperhitungkan, karena kita semua tahu situs Agoda yang menyediakan layanan pemesanan kamar hotel secara online memiliki pasar yang besar di Indonesia. Pada mesin cari akan muncul indeks “Berita” dan pada halaman pertama di pencarian atas muncul berita positif tentang ekonomi dan pariwisata di Bali.
Menarik untuk mengkomparsikan dengan Kabupaten lain di Jawa Timur yang telah lebih dahulu dikenal publik karena kesejarahannya, industrinya dan lainnya yang bukan Ibu Kota Provinsi Jawa Timur dan memiliki size yang relatif imbang. Maka penulis tertarik dengan Kabupaten Gresik, karena daerah ini memiliki daya tarik yaitu adanya PT Semen Gresik (sekarang Semen Indonesia) yang menjadi industri semen pertama dibangun setelah Indonesia merdeka, pernah memiliki kesebelasan terkenal yaitu Persegres dan Petrokimia Putra, serta tentu saja industri lain seperti Petrokimia Gresik dan lainnya. Tentu saja hasil pencarian kata kunci “Gresik” tidak hanya didukung oleh hal-hal yang berkaitan dengan Gresik sebagai Kabupaten, tetapi juga keberadaan industri terkenal yang memakai/pernah menggunakan nama “Gresik”. Perusahaan ini tentu punya website dan pernah merilis berbagai informasi di media cetak online.
Hal yang menarik adalah “Banyuwangi” relatif tidak di dukung pencarian dari industri besar namun bisa mengalahkan Gresik yang didukung oleh industri besar seperti Semen Gresik, Petrokimia Gresik, Eternit Gresik, Kawasan Industri Gresik dan lainnya.
Agresifitas Branding Sosok Abdullah Azwar Anas
Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin dikenalnya Kabupaten Banyuwangi tidak lepas dari sosok Azwar Abdullah yang benar-benar sosok “real marketer” di Pemerintahan. Siapa sangka fenomena Jember Fashion Carnaval yang telah mendunia berani disaingi oleh Banyuwangi dengan membuat kegiatan “Banyuwangi Etnic Carnival”, jika dibandingkan kostum di Jember dan Banyuwangi dalam karnaval tersebut juga “11-12” yaitu sama-sama menonjolkan aspek kreativitas dan tidak ada batas. Keberanian menembus batas juka dilakukan sosok Azwar Abdullah dengan ikut berpartisipasi Kabupaten Banyuwangi dalam acara Jakarta Fashion Week 2014 yang dari aspek komersial/direct selling pasti sangat rendah karena kualitas produk fashion yang ditampilkan Banyuwangi masih pada “kelas eksibisi” tetapi aspek branding/awareness publik akan sangat luar biasa. Koran sekelas kompas yang tentu dianggap sebagai “godfather” koran di Indonesia dan jadi rujukan berbagai pihak, dengan jumlah space yang terbatas tentu 440 kabupaten/kota di Indonesia ingin masuk berita positif, belum provinsi, belum kementerian lembaga dan lainnya. Jika dibagi dalam 360 terbit setahun mestinya bisa masuk 1 kali dalam berita positif di koran Kompas akan sangat beruntung. Ini Kabupaten Banyuwangi dapat dikatakan berkali-kali masuk di koran ini dengan berita positifnya.
Kerjasama Pemkab Banyuwangi dengan Pelindo III untuk membuat “Banyuwangi Beach Boom” juga upaya menunjukkan sisi menarik pelabuhan dan pantai di Banyuwangi. Dahulu kala jika ada berita mudik Ketapang-Gilimanuk, maka publik akan membayangkan pelabuhan Gilimanuk yang jauh rapi dan nyaman dibandingkan dengan Ketapang karena Gilimanuk di asosiasikan sebagai Bali dan Ketapang sebagai Banyuwangi, dua daerah yang jauh berbeda ibarat bumi dan langit. Menggandeng BUMN yang sehat tentu strategi jitu dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, karena tentu akan ada sharing sumber daya (baik manusia maupun finansial) untuk merawat proyek bersama tersebut. Branding BUMN yang sekarang sifatnya kontinyu dan mulai fokus pada “mahakarya tertentu” maka akan menjadi jaminan mengucurnya dana CSR untuk terus memelihara mahakarya tersebut, hal yang bisa saja tidak ada jika “arah politik” di Kabupaten Banyuwangi berbelok jika nanti ada pergantian Kepala Daerah.
Gresik Masih Belum Menggosok Harta Karunnya
Kalimat belum menggosok harta karunnya tentu sangat baik, jika dibandingkan dengan kalimat “tidak tahu ada harta karun”, ini bisa cilaka dua belas (kata bahasa komedi). Gresik memiliki kekayaan kultural yaitu “Kota Wali” karena di Gresik ada dua orang anggota wali songo yaitu Sunan Giri dan Sunan Maulana Malik Ibrahim. Gresik juga memiliki makanan khas yang sudah lebih dikenal karena daerah ini dilalui jalan nasional penghubung Jakarta-Surabaya yaitu Nasi Krawu dan Pudak. Bicara industri tentu sudah ratusan, apalagi sekarang memiliki kawasan industri kelas nasional dan baru saja meresmikan stadion olah raga Joko Samudro.
Gresik bisa mengejar ketertinggalannya dari daerah lain termasuk di dunia lain dan penulis yakin bahkan bisa tidak hanya mengejar Banyuwangi di angka 5.510.000 tetapi bahkan Sidoarjo yang saat ini mencapai 6.100.000 pencarian. Hal ini jiga Pemerintah Kabupaten Gresik bisa mengoptimalkan “harta karun” yang terpendam tadi. Menumbuhkan wisata religi dapat dilakukan dengan membuat festival tahunan yang mengandung religi. Jika Banyuwangi membuat “Banyuwangi Etnic Carnival”, maka Gresik bisa membuat “Gresik Moslem Festival” yang berlangsung beberapa hari mulai fashion, kuliner, ziarah dan berbagai hal lainnya. Multiplier effect yang ditimbulkan tentu wisatawan butuh penginapan sehingga dapat mendorong pertumbuhan industri hotel di Gresik. Coba bayangkan di Gresik yang punya banyak industri, termasuk ada Semen Indonesia, Petrokimia Gresik tidak memiliki hotel yang representatif. Kecamatan Cepu (terletak di Blora) yang baru booming minyak saja sudah memiliki hotel bintang 5 yang dioperasikan oleh Samali Group (milik Musyanif mantan Dirut Pembangunan Perumahan).
Mengapa hanya Semen Gresik saja yang bisa mendunia, harusnya Kabupaten Gresik juga bisa mendunia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H