Tentunya kalimat “Masa Depan Indonesia Ada di Gunung Kidul” akan membuat orang tertawa dan berpikir bahwa yang menulis salah ketik mestinya kan jika berbunyi “Masa Depan Gunung Kidul Ada di Indonesia” lebih masuk akal. Jika bukan salah ketik, maka paling sederhana adalah yang menulis salah berpikir. Lho kok bisa, jawabannya sederhana, bahwa Gunung Kidul di asosiasikan/diberi cap sebagai wilayah yang tandus, berkapur dan pasti kekurangan air. Jika di Googling akan diperoleh banyak arsip berita di internet tentang Gunung Kidul dan sekitarnya yang “lebih dahulu kekeringan” dibandingkan daerah lain, mengingat kontur geografis yang berbukit, berkapur bahkan sebagian adalah batu andesit dan lainnya.
Tuhan Ciptakan Manusia Untuk Mengelola Alam
Apakah kekayaan alam yang dimiliki negara Jepang dan Korea Selatan? Apakah negara tersebut memiliki cadangan minyak dan gas yang melimpah, apakah memiliki batubara, dan berbagai SDA lainnya. Jika melihat sejarah, justru Jepang dalam perang dunia kedua salah satu motivasinya adalah menguasai sumber daya alam di Asia. Lihatlah sampai sekarang kedua negara tersebut masih rajin mengimpor SDA maupun hasil perkebunan Indonesia. Lihatlah bagaimana kedua negara tersebut rajin mengimpor SDA yang masih mentah dan menjual kembali ke Indonesia dalam bentuk produk jadi yang berharga mahal seperti mobil, HP, TV, Mesin Cuci, dan berbagai perangkat mesin dan elektronik lainnya.
Keunggulan SDA hanyalah bersifat komparatif yang seiring habisnya SDA tersebut maka hilang pula keunggulan negara yang memilikinya. Sebaliknya keunggulan SDM akan memiliki manfaat terus menerus sepanjang waktu, selama negara tersebut masih memiliki SDM yang hebat.
Sering kali kita mengatakan bahwa masa depan Indonesia ada di Indonesia Timur, ada di luar Jawa. Pendapat ini tentu 100% benar dalam konteks bahwa di daerah tersebut memiliki SDA melimpah yang dapat diolah untuk ekonomi Indonesia dan tentunya kesejahteraan masyarakat. Namun, pertanyaannya jika SDA tersebut habis apakah masyarakat sekitar, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat telah memiliki rencana berikutnya agar tetap “survive”, “mampu mempertahankan kemakmuran yang sudah diperoleh”, dan lainnya.
Seringkali kekayaan alam yang dimiliki Indonesia meninabobokkan kita semua bahwa seolah-olah kekayaan tersebut kekal abadi sampai dunia ini musnah (kiamat/judgment day). Celakanya saat ini dari data berbagai sumber, hampir semua kekayaan alam Indonesia sudah dikuasai asing. Tengok saja di sektor pertambangan yang lebih dari 55% dikuasai asing, sektor minyak yang hampir 80% dihasilkan perusahaan minyak asing. Pertamina yang dibanggakan sebagai perusahaan terbesar, termegah dan ter...ter...lainnya hanya menguasai 20% produksi minyak nasional. Sektor perkebunan sebagai salah satu sektor pekerjaan/penghidupan yang menjadi harapan para petani Indonesia kenyataannya sudah dikuasai asing, perusahaan besar sektor perkebunan mayoritas berasal dari Malaysia. Sektor infrastruktur, dalam hal ini industri semen yang merupakan kebutuhan dasar infrastruktur secara perlahan sudah dikuasai asing. Memang benar Semen Indonesia sebagai BUMN masih memiliki market share sekitar 43%. Namun pertumbuhan kapasitas industri semen saat ini dikuasai asing, sehingga tidak lama lagi jika asing agresif dan tingkatkan pangsa pasar, maka market share Semen Indonesia akan turun. Pertanyaannya, adakah sektor usaha di Indonesia, baik yang berbasis SDA atapun industri pengolahan ada yang tidak dimasuki perusahaan asing? Jawabannya tidak ada.
Mungkinkah Gunung Kidul Makmur, Gemah Ripah Loh Jinawi
Lihatlah berbagai penjual bakso di Jakarta, Bekasi dan lainnyayang sering kali diberikan “kode daerah” seperti Bakso Gepeng Wonogiri, Bakmi Bantul dan lainnya, tentu menunjukkan etos kerja masyarakat sekitar Gunung Kidul yang memiliki tekad kuat untuk merantau guna meraih penghidupan yang lebih baik. Masyarakat Gunung Kidul adalah contoh salah satu masyarakat yang pekerja keras.
Jika para pemuda dan putra/putri terbaik daerah Gunung Kidul merantau semua, tentunya kemakmuran daerah Gunung Kidul ditentukan oleh daerah lain. Jika penghidupan dilokasi perantauan hilang, semisal berjualan di ruang publik yang bisa saja dikejar-kejar Satpol, bekerja di luar negeri sebagai TKI yang bisa saja jika diganti tenaga mesin atau kontrak habis, maka berhentilah penghasilan tersebut.
Adalah kolaborasi antara Yayasan Obor Tani dan Pertamina dalam mengolah lahan tandus di puncak bukit yang berada di Dusun Kencono Mukti, Desa Kelanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul telah menyulap lahan tandus menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar. Butuh kerja keras Yayasan Obor Tani untuk mulai mengolah lahan tersebut dan melibatkan masyarakat sekitar sehingga “layak jual” ke instansi dalam rangka mengakselerasi pengelolaannya agar segera memberikan hasil yang jauh lebih besar. Butuh keyakinan dan keberanian pula bagi Pertamina untuk menyalurkan dana CSR di daerah terpencil yang tentu bukanlah area produksi migas maupun area pemasaran utama Pertamina. Keberanian untuk bekerja bersama dan keberanian untuk mengambil resiko tersebut pada akhirnya membuahkan hasil yang manis.
Ya...gelontoran dana CSR sekitar Rp 730 juta dari Pertamina kepada Yayasan Obor Tani dimanfaatkan untuk mengolah bukit tandus yang merupakan tanah Pemerintah Daerah Yogyakarta. Dana tersebut dialokasikan untuk “membuat Waduk Di Puncak Bukit”.
Hebat hasil penelitian anak bangsa, karena durian montong kualitas super ini hanya butuh waktu 3 tahun untuk berbuah, bahkan buah lengkeng lebih pendek umurnya. Dengan teknologi maka buah lengkeng yang dahulu hanya hidup di daerah iklim dingin, harus ada buah jantan dan betina supaya bunga dapat menjadi buah, berusia 8 tahun untuk berbuah dan lainnya. Kini semua itu hanya mitos, dengan teknologi kelengkeng bisa hidup dimana saja, cukup 2 tahun dan tidak perlu jantan-betina. Bahkan dengan teknologi pula produktivitas jauh lebih tinggi.
Hitungan secara kasar menurut Pratomo Direktur Eksekutif Yayasan Obor Tani, potensi pendapatan dari buah kelengkeng per hektar mencapai Rp 140 juta pertahun. Hitungannya :
- 20 ton/ha X Rp 7.500 per kg. = Rp 140 juta ton/th
Sedangkan untuk durian adalah Rp 10 ton/ha X Rp 20.000/kg = Rp 200 juta ton/ha.
Pemilihan tanaman holtikulutra ini tentu bukan tanpa pertimbangan, selain di kawasan bukit yang sulit bertanam padi, pasokan air yang terbatas dimusim kemarau dari embung. Yang lebih mendasar adalah pengembangan holtikultura tidak akan terkena dampak kebijakan Pemerintah yang senantiasa berusaha agar harga pangan murah. Holtikultura menganut mekanisme pasar, sehingga akan menguntungkan petani.
Ide brilian lain adalah menggabungkan pertanian-perkebunan-wisata. Ya...seperti Taman Mekarsari, Wisata Argo Apel di Malang dan sebagainya, maka di lokasi binaan Pertamina ini dikembangkan pula wisata. Tentu pertanyaannya wisata apa? Kan lokasinya di perbukitan tandus?... Jawabannya adalah wisata “adventure”, ya... bentuk bukit yang berkelok-kelok sangat menantang bagi yang suka bersepeda gunung, menikmati tantangan dan pemandangan.
Mencapai lokasi yang sulit tentu bagi para bikers maupun pengunjung sangat disayangkan jika langsung kembali, maka dikembangkanlah “guest house” , yaitu penginapan yang dimiliki dan dikelola penduduk sekitar. Saat ini ada 75 guest house dengan tarif Rp 70.000 per malam sudah termasuk sarapan pagi untuk 2 orang. Tentu tarif yang sangat menarik dan cukup di kantong wisatawan.
TKI di Korea Selatan milih pulang kampung jadi juragan guest house
Geliat tumbuhnya daerah yang dikembangkan atas bantuan CSR Pertamina tersebut, menarik para perantauan. Tercatat ada 1 orang TKI yang bekerja di Korea Selatan memilih pulang kampung dan menginvestasikan tabungan yang dimiliki untuk membangun beberapa guest house. Ada 4 orang TKI yang sebelumnya bekerja di Malaysia juga memilih pulang kampung karena potensi yang dihasilkan di daerah yang dikembangkan CSR Pertamina sangat menjanjikan.
Setelah digelontor Rp 730 juta, bagaimana perkembangannya?. Tercatat dalam paparan Direktur Eksekutif Yayasan OborTani omset saat ini (diluar panen durian dan kelengkeng) setahun sudah mencapai Rp 2,5 miliar, yang berasal dari tiket pengunjung masuk sebesar Rp 3.000 dan parkir Rp 2.000, dan tentu saja dari penggunaan berbagai fasilitas yang ada termasuk guest house. Bahkan saat hari puasa omzet sehari bisa mencapai Rp 25 juta, seiring dengan kebiasaan masyarakat yang “ngabuburit menunggu jelang adzan magrib”. Jika kebun durian dan kelengkeng sudah berbuah optimal tentu lebih besar lagi. Menurut Pak Slamet salah satu petani yang terlibat pembagian hasil panen durian dan kelengkeng, yaitu jka menggunakan lahan milik Pemda memberikan konsekuensi ada perjanjian sebesar 10% dimasukkan sebagai kas, sedangkan untuk tanah kraton 30%. Bahkan tahun depan seiring semakin dikenalnya daerah ini ditargetkan omzet sudah mencapai Rp 3,5 miliar.
Saat ini secara keseluruhan ada 450 penduduk desa yang terlibat dalam kegiatan CSR ini. Saking tingginya aktivitas termasuk malam hari yang pengunjung menikmati malam di guest house maka ada sloga bahwa “Desan Kelanggan Tidak Pernah Tidur”. Kayak Ibu Kota Jakarta saja yang sudah dijuluki sebagai “Kota yang tidak pernah tidur”.
Dari Gunung Kidul Menyebar ke Indonesia
Keberhasilan pelaksanaan CSR di Desan Kelanggan dalam konsep “3 in 1” yaitu pertanian-perkebunan-wisata, menginspirasi Pertamina untuk mengumpulkan unit kerja yang mengelola CSR dari berbagai area kerja Pertamina, mulai Pertamina pemasaran, Refinery Unit, sampai ke anak usaha dan afiliasi lainnya. Setelah acara workshop CSR selama 2 hari, 20-21 September, maka pada hari Sabtu, 22 September 2015 puluhan staf CSR dari Sabang-Merauke meninjau desa binaan ini. Bahwa dengan kreativitas dan kerja keras bukanlah hal mustahil mewujudkan kemandirian di suatu daerah.
Agus Mashud, Manager CSR Pertamina dalam acara tersebut menyampaikan akan mereplikasi konsep desan binaan ini ke berbagai daerah. Kehadiran PIC CSR dari berbagai unit kerja tentu merupakan upaya “knowledge management” untuk beranjak maju bahwa CSR tidak sekedar kegiatan “charity” tetapi CSR adalah kegiatan “pemberdayaan masyarakat”. Kegiatan Charity akan berhenti jika perusahaan sudah tidak beroperasi, tetapi kegiatan pemberdayaan maka meski perusahaan sudah tidak beroperasi maka masyarakat sudah mandiri.
Semangat kerja keras Jepang ada di Gunung Kidul, kreativitas Korea Selatan juga ada di Gunung Kidul. Tentunya, jika kedua hal ini digabung, tentu dapat dibayangkan daerah yang subur dan berkecukupan dari aspek air dan kebutuhan lainnya, mestinya lebih makmur dibandingkan desa binaan Pertamina ini.
Tentu masyarakat tidak bisa berjalan dan bekerja sendiri, keterlibatan Pemerintah Daerah dan tentu saja para donatur/penyokong dana seperti yang dilakukan Pertamina akan menjadi harapan baru upaya menciptakan masyarakat yang mandiri. Seperti pepatah “Membangun Indonesia dari Desa”, tentu mungkin terlebih sudah ada UU Desa yang mengalokasikan sejumlah dana untuk meningkatkan ekonomi desa. Jika dana desa saat ini difokuskan pada pembangunan infrastruktur dan prasaran umum, maka sudah saatnya dana CSR perusahaan yang dahulu disalurkan untuk sektor yang sama dialihkan ke sektor produktif.
Tentunya prasasti kebun buah yang ada di puncak bukit yang tandus dan kekurangan air ini semoga dapat ditemukan di semua desa yang ada di Indonesia. Mimpi bahwa desa adalah masa depan yang menjanjikan bukanlah mimpi lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H