Setelah digelontor Rp 730 juta, bagaimana perkembangannya?. Tercatat dalam paparan Direktur Eksekutif Yayasan OborTani omset saat ini (diluar panen durian dan kelengkeng) setahun sudah mencapai Rp 2,5 miliar, yang berasal dari tiket pengunjung masuk sebesar Rp 3.000 dan parkir Rp 2.000, dan tentu saja dari penggunaan berbagai fasilitas yang ada termasuk guest house. Bahkan saat hari puasa omzet sehari bisa mencapai Rp 25 juta, seiring dengan kebiasaan masyarakat yang “ngabuburit menunggu jelang adzan magrib”. Jika kebun durian dan kelengkeng sudah berbuah optimal tentu lebih besar lagi. Menurut Pak Slamet salah satu petani yang terlibat pembagian hasil panen durian dan kelengkeng, yaitu jka menggunakan lahan milik Pemda memberikan konsekuensi ada perjanjian sebesar 10% dimasukkan sebagai kas, sedangkan untuk tanah kraton 30%. Bahkan tahun depan seiring semakin dikenalnya daerah ini ditargetkan omzet sudah mencapai Rp 3,5 miliar.
Saat ini secara keseluruhan ada 450 penduduk desa yang terlibat dalam kegiatan CSR ini. Saking tingginya aktivitas termasuk malam hari yang pengunjung menikmati malam di guest house maka ada sloga bahwa “Desan Kelanggan Tidak Pernah Tidur”. Kayak Ibu Kota Jakarta saja yang sudah dijuluki sebagai “Kota yang tidak pernah tidur”.
Dari Gunung Kidul Menyebar ke Indonesia
Keberhasilan pelaksanaan CSR di Desan Kelanggan dalam konsep “3 in 1” yaitu pertanian-perkebunan-wisata, menginspirasi Pertamina untuk mengumpulkan unit kerja yang mengelola CSR dari berbagai area kerja Pertamina, mulai Pertamina pemasaran, Refinery Unit, sampai ke anak usaha dan afiliasi lainnya. Setelah acara workshop CSR selama 2 hari, 20-21 September, maka pada hari Sabtu, 22 September 2015 puluhan staf CSR dari Sabang-Merauke meninjau desa binaan ini. Bahwa dengan kreativitas dan kerja keras bukanlah hal mustahil mewujudkan kemandirian di suatu daerah.
Agus Mashud, Manager CSR Pertamina dalam acara tersebut menyampaikan akan mereplikasi konsep desan binaan ini ke berbagai daerah. Kehadiran PIC CSR dari berbagai unit kerja tentu merupakan upaya “knowledge management” untuk beranjak maju bahwa CSR tidak sekedar kegiatan “charity” tetapi CSR adalah kegiatan “pemberdayaan masyarakat”. Kegiatan Charity akan berhenti jika perusahaan sudah tidak beroperasi, tetapi kegiatan pemberdayaan maka meski perusahaan sudah tidak beroperasi maka masyarakat sudah mandiri.
Semangat kerja keras Jepang ada di Gunung Kidul, kreativitas Korea Selatan juga ada di Gunung Kidul. Tentunya, jika kedua hal ini digabung, tentu dapat dibayangkan daerah yang subur dan berkecukupan dari aspek air dan kebutuhan lainnya, mestinya lebih makmur dibandingkan desa binaan Pertamina ini.
Tentu masyarakat tidak bisa berjalan dan bekerja sendiri, keterlibatan Pemerintah Daerah dan tentu saja para donatur/penyokong dana seperti yang dilakukan Pertamina akan menjadi harapan baru upaya menciptakan masyarakat yang mandiri. Seperti pepatah “Membangun Indonesia dari Desa”, tentu mungkin terlebih sudah ada UU Desa yang mengalokasikan sejumlah dana untuk meningkatkan ekonomi desa. Jika dana desa saat ini difokuskan pada pembangunan infrastruktur dan prasaran umum, maka sudah saatnya dana CSR perusahaan yang dahulu disalurkan untuk sektor yang sama dialihkan ke sektor produktif.
Tentunya prasasti kebun buah yang ada di puncak bukit yang tandus dan kekurangan air ini semoga dapat ditemukan di semua desa yang ada di Indonesia. Mimpi bahwa desa adalah masa depan yang menjanjikan bukanlah mimpi lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H