Mohon tunggu...
Arief
Arief Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Pernah nulis dibeberapa media seperti SINDO, Jurnas, Surabaya Post, Suara Indonesia (dulu dimasa reformasi), Majalah Explo dll. ( @arief_nggih )

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

"Perang" Go-Jek vs Grab Bike, Siapa Terjungkal?

18 Agustus 2015   23:45 Diperbarui: 18 Agustus 2015   23:45 25032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Tidak ada yang menang ataupun kalah, keduanya "Go-Jek dan Grab Bike" sama-sama menjadi pemenang. Ojek pangkalan akan tersingkir dan cara satu-satunya adalah melakukan perlawanan fisik seperti di Kalibata City dan beberapa kawasan lain yang dengan terang-terangan sudah dibuat papan pengumuman "Go-Jek dan Grab Bike" dilarang masuk. Ibarat seolah-olah persaingan Indomaret dan Alfamaret yang pada akhirnya mereka justru mereka hidup berdampingan memperbesar pasar minimarket yang terimbas adalah toko kelontong di perumahan/perkampungan yang perlahan tutup. Ulasan selengkapnya sebagai berikut:

 

Perang Promo Rp 5.000 Grab Bike vs Rp 10.000 Go-Jek

Secara hitung-hitungan matematis untuk jarak 25 km dengan ongkos Rp 5.000 ataupun bahkan Rp 10.000 itu hanya cukup untuk beli bensin 1 liter, artinya hanya untuk biaya operasional rutin. Terus pengojek dapat uang dari mana? Tentu berasal dari subsidi perusahaan tempat bernaung Grab Bike dan Go-Jek. Menarik menyimak ucapan dari Bos Go-Jek yang meminta pesaingnya untuk merasionalkan tarif (simak di sini). Akibat persaingan inilah promo tarif Cemban terus diperpanjang Gojek, meski mulai 14 Agustus 2015 di Jakarta tarif Go-Jek sudah naik jadi Rp 15.000, tentunya tarif ini juga minim sekali dan belum menutup pendapatan pengojeknya, atau dengan kata lain Nadiem Makarim mesti masih nombok terus.

Pertanyaannya, nombok sampai kapan? Tentu sampai Grab Bike dan Go-Jek lelah berdarah-darah menyubsidi pendapatan pengojeknya, apalagi dengan pemberitaan pendapatan pengojek yang bisa di atas Rp 12 juta per bulan, maka suatu saat di Jabodetabek bisa saja 80% pengojek tradisional gabung ke Grab Bike dan Go-Jek atau sekitar 40.000 pengojek. Mau nombok terus? Mari kita hitung jika seorang pengojek bisa menarik 10 penumpang sehari yang "konon" tarif per km ojek online ini sekitar Rp 2.000, jika jarak tempuhnya adalah rata-rata 10 km maka minimal tarifnya adalah Rp 20.000. Jika tarifnya "diasumsikan saja PROMO Rp 10.000", maka perusahaan mesti nombok Rp 10.000 X 10 trip X 40.000 atau sekitar Rp 4.000.000.000 per hari. Atau Rp 120 miliar per bulan.

Tarif promo tersebut memang belum lama diterapkan, taruhlah baru 3 bulan. Pertanyaannya adalah apakah selama beroperasi tahun 2011 tabungan perusahaan Go-Jek sudah ratusan miliar sehingga bisa menyubsidi lebih dari Rp 200 miliar untuk bayar para pengojeknya (asumsi market share Go-Jek sekitar 60-70%). Begitu pula Grab Bike yang berasal dari Grab Taxi, memang sudah berapa tabungan yang dimiliki perusahaan ini sehingga berani menyubsidi besar-besaran pendapatan pengojeknya. Okelah Grab Taxi berasal dari Malaysia dan sudah beroperasi lama, ya... apa sudah untung triliunan rupiah sehingga bisa menyubsidi sebegitu besarnya.

 

Tarif Promo dan Pendapatan Pengojek Belasan Juta "Strategi Gimnick" Memperbesar Armada

Penulis meyakini bahwa tarif promo ini hanya upaya "mempercepat edukasi" pengguna ojek agar segera memanfaatkan jasa Go-Jek maupun Grab Bike, sambil di saat bersamaan kedua perusahaan ojek online ini melakukan rekruitmen besar-besaran. Jadi seperti strategi di manufaktur "kampanye pemasaran gede-gedean" sambil segera tingkatkan kapasitas produksi. Pemberitaan pengojek yang bisa bawa uang rata-rata Rp 8 juta per bulan, bahkan ada yang bisa Rp 12 juta atau ada juga Rp 15 juta merupakan strategi untuk segera "secara super instan" menggaet ojek tradisional.

Pendapatan belasan juta ini masuk akal dan mungkin, kenapa? dengan "citra yang sedang meroket" apalagi PROMO gila-gilaan maka siapa saja akan mencoba layanan Grab Bike ataupun Pengojek. Sehingga pengemudi yang ada saat ini "akan kewalahan ambil order", yang jika bisa dapat 10 penumpang sehari dengan jarak antar 25 km maka sehari pengojek bisa kantongi uang sekitar Rp 500 ribuan yang jika dikalikan 30 hari tentu bisa tembus Rp 15 jutaan. Pengalaman penulis sambil menikmati jasa ojek online "nanya-nanya" pendapatan mereka yang belum mencapai angka "yang dimunculkan itu", ini hanya sekedar cross check penulis terhadap hipotesa yang dibuat dengan "kira-kira kenyataannya seperti apa".

 

Pasar Ojek Online Membesar dan Jenuh, Pengojek Sudah Tidak Ada Kesempatan Lagi Balik Jadi Pengojek Pangkalan

Jumlah penumpang pengguna ojek akan terbatas, oleh karena itu semacet-macetnya Jakarta tetap saja taksi dan angkutan umum lainnya kebagian penumpang karena berbagai faktor yang tidak dimiliki oleh kendaraan ojek, seperti: faktor panas/hujan (khususnya hujan maka meski berdesakan di Metromini/Kopaja akan lebih nyaman dibanding ojek), pembatasan jalur sepeda motor yang setelah diterapkan di Thamrin akan ditambah ke ruas lainnya, dan faktor lainnya.

Artinya suatu saat "jumlah pengguna ojek" akan berhenti/stagnan pada angka tertentu karena mekanisme pasar, sedangkan jumlah armada ojek online terus bertambah. Sehingga yang saat ini pengojek online "dengan nyantainya akan memilih" penumpang yang akan dijemput, maka suatu saat (tidak lama lagi) akan berebut "memencet tombol pick up" sebelum didahului pengemudi ojek online lainnya. Sehingga jika saat ini mengantar 10 penumpang dengan mudah diperoleh, suatu saat nyari 5 penumpang akan susah. Sehingga pada kondisi ini maka pendapatan pengojek online akan turun drastis.

Cilakanya saat pengojek online karena merasa pendapatannya "kok 11-12" dengan pendapatan sebagai pengojek pangkalan (ojek pangkalan punya keunggulan ada pasar yang pasti di sekitar dia mangkal dan mungkin sebagian adalah para langganannya) akan berpikiran berhenti menjadi pengojek online dan balik ke pengojek tradisional (pangkalan). Tapi ternyata "pasar ojek pangkalan mulai menghilang". Lho kok bisa? dengan pemberitaan ojek online besar-besaran yang diikuti persaingan Grab Bike dan Go-Jek besar-besaran juga maka segera menciptakan "pasar ojek online yang besar pula". Pada kondisi ini maka pengojek online tidak ada pilihan untuk terus dikategori itu dan tidak balik ke pengojek pangkalan.

Jadi seperti kesimpulan paling atas di paragraf pertama itulah yang akan terjadi. Saudara kembar atau kompetitor kembar yang ada di Alfamaret dan Indomaret adalah fenomena yang sama-sama akan terjadi antara Grab Bike dan Go-Jek, yaitu pada akhirnya perusahaan ojek online ini "akan berbagi kue pasar" dan mereka tetap hidup. Setelah pasar jenuh, penulis yakin kedua perusahaan ojek online ini "akan menerapkan tarif normal", semisal per km Rp 2.500 dengan bagi hasil Rp 2.000 untuk pengojek online dan Rp 500 untuk perusahaan ojek online. Jika setiap hari ada 500.000 transaksi ojek online maka pendapatannya adalah Rp 2.500.000.000 yang jika kembali pada uraian di atas market share Go-Jek sekitar 60% maka akan peroleh Rp 1,8 miliar per hari dan sisanya untuk Grab bike. Pendapatan Pengojek jika rata-rata dapat 5 penumpang dengan variasi jarak maka pendapatannya berkisar Rp 100.000 per hari sd Rp 250.000 per hari. Artinya pada saat pasar jenuh maka pendapatan pengojek online "sekuat-kuatnya bekerja" tidak akan tembus angka Rp 7,5 juta dan bisa saja pendapatannya hanya Rp 3 juta per bulan. Artinya masa "bulan madu pengojek online" berakhir.

Pada kondisi ini Grab Bike dan Go-Jek seolah-olah akan berbagi pasar dan hanya sekali-sekali mencoba "mencubit kompetitornya" yang jika nanti dibalas kompetitornya maka cubitannya akan dihentikan. Baca berita di sini. Artinya, suatu saat Grab Bike dan Go-Jek akan berbagi pasar.

 

Persaingan berikutnya adalah "Ojek Online" versus "City Kurir"

Setelah ojek pangkalan KO dan pasar jasa antar penumpang "transport" sudah jenuh, maka jasa antar dokumen akan menjadi sasaran lanjutan untuk digarap lebih serius agar "Grab Bike dan Go-Jek" dapat terus menambah pundi-pundi pemasukannya. Namun tentu "city kurir" beda dengan "Ojek Tradisional". Tunggu ulasan berikutnya ya.....


 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun