Mohon tunggu...
Arief
Arief Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Pernah nulis dibeberapa media seperti SINDO, Jurnas, Surabaya Post, Suara Indonesia (dulu dimasa reformasi), Majalah Explo dll. ( @arief_nggih )

Selanjutnya

Tutup

Money

Audit Kinerja Proyek 10.000 MW, Tawaran Pemikiran untuk 35.000 MW

24 April 2015   08:59 Diperbarui: 2 November 2016   10:57 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pemerintah Jokowi-JK tancap gas untuk urusan infrastruktur. Tidak hanya infrastruktur fisik tetapi juga infrastruktur energi. Keberpihakan nampak jelas pada APBN-Perubahan 2015 yang ada tambahan duit Rp 100 triliun untuk program infrastruktur, sehingga tahun 2015 anggaran total mencapai Rp 390 triliun. Sebuah komitmen yang luar biasa pada politik anggaran. Selain itu, sudah digadang-gadang proyek 35.000 MW listrik untuk melengkapi/menambah program tahap pertama 10.000 MW yang ternyata belum sepenuhnya selesai. Karena yang berjumlah 2X1.000 MW (terbesar pada proyek 10.000 MW) yaitu PLTU Batang belum selesai juga, bahkan LOI terus diperpanjang karena ada persoalan pembebasan tanah. Bahkan PLTU Batang sempat masuk PTUN karena ijinnya digugat, tapi meskipun PTUN memenangkan PLTU Batang ternyata juga belum bisa berjalan. Lagi-lagi masalah sosial.

Tulisan ini tidak menyoroti aspek hukum maupun sosial, tetapi lebih pada aspek ekonomi dan kemanfaatan dari hitungan ekonomi. Nilai investasi PLTU Batang yg berkapasitas 2.000 MW sebesar Rp 40 triliun (http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150216114853-85-32419/pln-mulai-bangun-pltu-batang-bulan-depan/). Maka dapat dibayangkan berapa nilai investasi proyek 10.000 MW atau bahkan proyek 35.000 MW?. Apalagi harga lahan terus naik, maka tentunya biaya investasi 35.000 MW tidak sebesar (35.000/2.000 X Rp 40 triliun) atau sekitar Rp 750 triliun, mungkin bisa saja tembus Rp 1.000 triliun atau bahkan Rp 1.500 triliun.

PLTU hasil proyek 10.000 MW belum optimal.

Diawal pengoperasiannya sekitar tahun 2008 yang lalu banyak pemberitaan bahwa PLTU crash program tahap I yang disapu habis perusahaan China beroperasi tidak maksimal, sering rusak dan harus shutdown http://www.tempo.co/read/news/2008/06/03/056124221/Pembangkit-Baru-PLN-Tak-Optimal . Sehingga kemudian keluar beberapa tuduhan bahwa mesin yang dibawa perusahaan China adalah mesin bekas (rekondisi) karena di negara China sendiri PLTU beroperasi maksimal? Jika berpikiran logika hukum semuanya tentu sudah clear. Bisa saja dalam kontrak pembangunan PLTU tidak disebutkan jenis mesin baru atau bekas, atau juga tidak ada yang diproses di pengadilan. Sehingga tentu masyarakat harus berpikiran positif.

Sebelum memulai proyek 35.000 MW, tentu harus dilakukan analisa menyeluruh terhadap proyek 10.000 MW sebelumnya, sehingga pelaksanaan proyek 35.000 MW akan lebih cepat, lebih baik dan lainnya. Jika pada akhirnya pelaksanaan proyek 35.000 MW sama saja atau lebih jelek dari proyek 10.000 MW, tentu "masyarakat boleh bertanya, ada apa ini? kok Pemerintah gak mau belajar?".

Pemberitaan negatif yang mengiringi pengoperasian PLTU 10.000 MW tentu harus menjadi perhatian Pemerintah. Alangkah baiknya, jika Pemerintah membuat audit kinerja PLTU 10.000 MW. Jika mau, bahkan sampai audit aspek legal, aspek spesifikasi, aspek sistem kontrak dll.

Coba bayangkan jika 1 perusahaan/produsen alat mendapatkan proyek 10.000 MW tentu, mereka akan terus menerus supplay suku cadang. Bahkan saat overhoul nanti penggantian alat-alat utama tentu juga bergantung pada perusahaan/produsen ini. Sehingga dengan menguasai proyek 10.000 MW maka perusahaan tersebut sudah ibaratnya "leyeh-leyeh orderan seumur hidup". Jika proyek 35.000 MW diperoleh perusahaan yang sama, dapat dibayangkan perusahaan/produsen tersebut mengoperasikan 45.000 MW di satu negara. Maka dia bisa membuat "pusat orderdil atau bahasa kerennya Integrated supply Chain" untuk mensupply kebutuhan setiap PLTU. Tentunya untuk order yang sama, stoknya tidak perlu banyak-banyak karena bisa saling dipakai PLTU yg lain. Jd semakin banyak proyek yg diperoleh maka "biaya stok orderdil semakin rendah". Meskipun perusahaan tersebut bukan produsen tetapi hanya EPC/main kontraktor, coba dibayangkan daya tawarnya akan luar biasa terhadap produsen orderdil spare part.

Jangan Menumpuk Utang Pemerintah

Selain sederet prestasi positif, Pemerintah Jokowi-JK juga punya prestasi negatif, yaitu hutang negara yang melejit dalam 6 bulan Pemerintahannya http://www.neraca.co.id/article/51151/Utang-Negara-Terus-Melejit . Kira-kira darimanakah biaya membangun 35.000 MW?...tentunya paling mudah dari hutang. Memang hutang proyek seperti ini relatif rendah, karena biasanya dibiayai negara asal pemenang tender. Biaya bunganya dibawah taruhlah 3%. Tapi jika hutang Rp 1.000 triliun, bunga 3% pertahun besarnya sudah Rp 30 triliun belum cicilan pokoknya.

Pemerintah hendaknya berpikiran bisnis dalam proyek 35.000 MW. Yaitu, jangan Pemerintah sediakan dana (melalui hutang) lalu pemenang proyek menggunakan dana yang dimiliki Pemerintah untuk membangun PLTU. Biarkan pemenang tender yang berinvestasi, lalu Pemerintah membeli listrik perKWH. Jika kinerja PLTU jeblok yang rugi adalah pemenang tender, Pemerintah tidak rugi apa-apa. Pertanyaannya kan investor minta kepastian tarif pembelian listrik oleh PLN?. Jawabannya sudah ada, kan Pemerintah sekarang menaikkan terus tarif listrik dan mengarah pada "harga keekonomiannya".

Ini tentu sudah ketemu, disatu sisi harga listrik didorong naik terus sampai nilai ekonomi (tidak ada subsidi), pada sisi lain akan ada proyek "mega raksasa" sebesar 35.000 MW. Kenapa tidak dikawinkan saja??... Atau jangan-jangan ada yang menghendaki supaya tidak ada perkawinan. Tentu pemerintah harus mewasdai bisikan seperti ini....yaitu bisikan pemburu rente, pemburu komisi proyek.

Apalagi belum ada audit kinerja PLTU hasil program 10.000 MW, sehingga belum diketahui publik berapa utilisasi setiap PLTU?. Jika belum ada audit kinerja, sebenarnya tidak perlu pusing-pusing juga, karena jika "dilakukan perkawinan proyek 35.000 MW dgn sistem pembelian listrik" sudah menyelesaikan masalah.

Pertarungan Supply Chain Management

Diera bisnis saat ini, pertarungan yang terjadi jika teknologi sama adalah seberapa handal "sistem logistik" yang dimiliki suatu perusahaan. Semakin besar nilai barang, akan semakin besar nilai efisiensi yang akan diperoleh. Maka proyek 35.000 MW akan menawarkan "efisiensi raksasa" yang bisa diperoleh oleh para kontraktor. Jadi, mengapa Pemerintah masih harus menanggung kerugian atau memperbanyak keuntungan kontraktor. Jadi sudah mestinya sistem proyek 35.000 MW tidak seperti proyek 10.000 MW, tetapi Pemerintah ambil keuntungan/manfaat dari proyek 35.000 MW dengan ubah sistemnya.

Proyek 35.000 MW juga bisa jadi "power house" untuk tumbuhkan industri penunjang kelistrikan di Indonesia. Ini jadi pekerjaan rumah tambahan Pemerintah, agar kue pembangunan juga menetes pada pengusaha nasional. Ternyata banyak opportunity yang bisa dikembangkan melalui proyek raksasa yang dilaksanakan Pemerintah Jokowi-JK. Ayooo...kita jadikan Indonesia lebih baik lagi dan wariskan sistem yang baik untuk anak cucu kita dimasa depan. Jangan bebani anak cucu kita dengan hutang yang semakin menggunung.

Merdeka!!!....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun