Mohon tunggu...
Arief
Arief Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Pernah nulis dibeberapa media seperti SINDO, Jurnas, Surabaya Post, Suara Indonesia (dulu dimasa reformasi), Majalah Explo dll. ( @arief_nggih )

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Harga Minyak Anjlok, Hanya 3 Tahun Bonusnya: Saatnya Berbenah

11 Februari 2015   16:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:26 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14236213291109640203

[caption id="attachment_368289" align="aligncenter" width="420" caption="Dok Pribadi"][/caption]

Harga minyak anjlok, penerimaan negara terancam!!....Kalau perlu harga minyak mentah sentuh harga US$ 20 perbarrel, sekalian penerimaan negara dari sektor migas mendekati nol (0). Pemikiran ini sepertinya ekstrim, tapi justru dengan harga minyak dunia yang anjlok maka selamatkan perekonomian Indonesia. Ingatlah, bahwa negara kita ini adalah " nett importir", jadi semakin murah harganya tentu tidak menguras devisa. Ya...berdasarkan simulasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi, ini skenario-skenario bila harga minyak dunia, terutama Indonesia Crude Price (ICP) turun terus tahun ini.

ICP US$ 40, maka:


  • Pendapatan migas total mencapai US$ 25,4 miliar

  • Cost Recovery US$ 15,8 miliar
  • Bagi hasil kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) US$ 3,04 miliar
  • Pendapatan negara US$ 6,5 miliar


ICP US$ 50 per barel, maka:


  • Pendapatan migas total mencapai US$ 29,8 miliar
  • Cost Recovery US$ 17,4 miliar
  • Bagi hasil kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) US$ 3,43 miliar
  • Pendapatan negara US$ 8,9 miliar


ICP US$ 60 per barel, maka:


  • Pendapatan migas total mencapai US$ 34,1 miliar
  • Cost Recovery US$ 18,4 miliar
  • Bagi hasil kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) US$ 3,9 miliar
  • Pendapatan negara US$ 11,7 miliar


ICP US$ 70 per barel, maka:


  • Pendapatan migas total mencapai US$ 38,4 miliar
  • Cost Recovery US$ 18,9 miliar
  • Bagi hasil kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) US$ 4,6 miliar
  • Pendapatan migas negara US$ 14,9 miliar


Jangan lihat dari sisi penerimaan penjualan migas saja, coba dilihat dari sisi pengeluaran migas karena impor. Dengan produksi rata-rata 800 ribu barrel/hari dengan tingkat efisiensi sekitar 80% untuk produk BBM (lainnya menjadi side produk seperti green coke, asphalt, base lube oil, gas buang dll) maka maksimal hanya setara dengan 640 barrel BBM per hari, sedangkan konsumsi BBM menembus angka sekitar 1,2 juta barrel perhari, sehingga ada sekitar 560 ribu impor BBM per hari. Jika harga MOPS Singapura pada kurs sekitar US$ 12.000 saat harga minyak mentah US$ 50 dollar, diperkirakan akan menyentuh sekitar US$ 70 per barrel atau butuh sekitar US$ 39,2 juta dollar per hari atau setara dengan US$ 14,31 miliar per tahun. Nampak bahwa pendapatan negara dari Migas pada asumsi harga minyak mentah US$ 50 hanya US$ 8,9 miliar sedangkan kebutuhan impor US$ 14,31 miliar. Artinya dengan harga minyak anjlok, maka justru semakin diuntungkan negara Indonesia.

Berkah Minyak Mentah Bagi China dan Jepang

China dan India adalah salah satu negara besar yang sangat diuntungkan dengan jatuhnya harga minyak mentah,  Total impor minyak mentah China yang mencapai 60% dari kebutuhannya, tentu sangat besar apalagi saat ini China adalah negara dengan konsumsi energi terbesar di dunia mengalahkan Amerika Serikat. Menurut Bank of America Merrill Lynch, setiap penurunan 10 persen harga minyak, PDB China naik 0,15 persen sementara inflasi turun 0,2 persen.
Begitupula dengan Jepang, sebagai importir minyak ketiga terbesar di dunia, harga minyak yang lebih rendah mampu mendorong tingkat perekonomiannya yang belakangan mengalami resesi. Gubernur Bank Sentral Jepang Haruhiko Kuroda mengatakan, jatuhnya harga minyak merupakan pendorong upaya bank tersebut untuk mencapai target inflasi 2 persen.
India yang sangat tergantung pada batubara juga diuntungkan secara tidak langsung, karena anjloknya harga minyak juga menekan harga komoditas energi lainnya seperti batubara, sehingga biaya produksi di India juga akan turun.

Posisi Indonesia Saat Harga Minyak Dunia Anjlok

Menakar posisi Indonesia saat harga minyak dunia anjlok, serba tidak kelihatan karena industri manufaktur di Indonesia yang melemah akhir-akhir ini, sehingga pertumbuhan ekonomi di dorong dari konsumsi dan ekspor komoditas maka dampak penurunan harga minyak dunia menjadi "nyaris tidak kelihatan", apalagi secara ukuran ekonomi Indonesia masih terhitung kecil dibandingkan China, Jepang dan India, dimana ketiga negara tersebut sangat kuat di industri manufaktur. Saat ini ukuran yang nampak di Indonesia adalah penghematan subsidi energi dan turunnya biaya transportasi yang akan berdampak pada penurunan inflasi.

Tapi sampai kapan Indonesia akan menikmati "saat bulan madu ini" yaitu saat harga minyak dunia anjlok yang lalu "tiba-tiba" biaya subsidi energi yang sebelumnya terbesar pada porsi APBN lalu tiba-tiba mengecil dan suatu saat bisa menghilang?. Seperti orang menikah, makah masa bulan madu adalah singkat dalam waktu tertentu, setelah itu harus berpikir mengenai pembiayaan rumah tangga mulai kebutuhan dasar seperti papan (rumah), kebutuhan sekunder seperti kendaraan maupun kebutuhan investasi, karena sebagai orang tua masih memiliki tanggung jawab terhadap anak keturunannya.

Berhemat dan Investasi

Saatnya Pemerintah berpikiran bijak dan mengambil langkah strategis dari berbagai aspek, baik hulu maupun hilir terhadap hal-hal yang berkaitan dengan dunia perminyakan. Langkah strategis tersebut antara lain :

1. Berpikir layaknya trader/pedagang. Pemerintah sebaiknya tidak melulu mewacanakan kebijakan subsidi nol (0) sehingga setiap penurunan harga minyak dunia dalam waktu 2 minggu akan direvisi harga BBM di Indonesia. Tetapkan saja batas minimal harga pada harga minyak dunia pada kisaran US$ 50 barrel, sehingga pada angka tersebut harga bensin "mungkin" akan sekitar Rp 6.000 begitupula harga solar. Segera buat aturan subsidi selektif pada angkutan umum, yang nantinya jika harga US$ 40 barrel minyak dunia, maka harga BBM bersubsidi pada kisaran Rp 5.000 an, sehingga proyek RFID yang pernah dilakukan Pemerintah SBY melalui Pertamina dapat terus dilaksanakan. Sekaligus sebagai investasi masa depan saat harga minyak dunia kembali diatas US$ 100 maka infrastruktur subsidi tepat sasaran pada angkutan umum.

2. Untung Jualan BBM, Manfaatkan Secara Bijak. Kebijakan Pemerintah untuk menabung BBM dengan meningkatkan daya dukung stok minyak nasional yang saat ini dalam bentuk BBM menjadi pula dalam bentuk minyak mentah dengan menugasi Pertamina untuk membangun tangki penampungan adalah "ide yang cerdas". Namun masih dapat ditingkatkan "tingkat kecerdasan ide tersebut". Berpikir membangun tangki penampung minyak mentah adalah berpikir pada aspek hulu, maka perlu dipikirkan pada aspek hilir, seperti yang saya uraikan pada butir 1 diatas, maka infrastruktur di hilir untuk mengatur subsidi tepat sasaran hanya pada angkutan umum harus dilakukan bersamaan dengan membangun tangki penampung minyak mentah. Jika kedua langkah tidak dilakukan bersamaan, maka jangan heran setelah tahun 2020 saat harga minyak dunia tembus diangka US$ 100 barrel, maka subsidi BBM dengan asumsi harga BBM bersubsidi dikisaran Rp 7.000, maka subsidi energi akan tembus di angka Rp 500 triliun. Mengapa??... saat harga BBM subsidi naik drastis maka penjualan kendaraan bermotor akan turun, saat harga BBM murah akan meningkat penjualan kendaraan bermotor yang tingkatkan populasinya.

3. Berpikiran Rumah Tangga/Bangunan Komersial Penghasil Energi. Ide ini mungkin kayak mimpi, tetapi di negara Jerman sudah berhasil, yaitu setiap rumah tangga jualan listrik ke PLN-nya Jerman. Yaa....Pemerintah Jerman memberikan subsidi kepada rakyatnya untuk memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang jika ada kelebihan (daya listrik yang digunakan sedikit) disalurkan ke PLN-nya Jerman dan rakyatnya dapat uang dari negara (dibeli). Saat penggunaannya melebihi kapasitas PLTS yang ada dirumahnya, maka warga tersebut membayar ke negara. Jika Jerman sebagai negara 4 musim dan tingkat panas matahari yang rendah saja bisa, apalagi Indonesia yang hanya 2 musim dan berada di jalur katulistiwa dengan tingkat panas matahari paling tinggi?.. Saat ini harga PLTS masih mahal karena penggunaannya sedikit sehingga biaya produksi rendah. Coba jika kota Jakarta yang berpenduduk 10 juta orang, atau kira-kira ada 1 juta bangunan yang bisa dipasang PLTS tentu sudah jumlah yang besar, dan akan berbondong-bondong perusahaan PLTS bangun pabrik di Indonesia jika ada sekitar 10 juta rumah tangga saja yang pakai PLTS. Subsidi pembelian PLTS diberikan pada pelanggan listrik dengan daya 450 dan 900, yaitu pelanggan listrik yang jumlahnya sangat besar dan menikmati subsidi dalam jumlah besar. Jika pelanggan daya 450 dan 900 beralih ke PLTS, maka saat harga minyak dunia tembus US$ 100 ditahun 2020, subsidi energi hanya akan mencapai US$ 100 triliun (perkiraan penulis).

Tahun 2016 harga minyak konstan bergerak naik

Diyakini oleh para pengamat, termasuk pernyataan OPEC bahwa tahun 2015 adalah titik balik kembalinya harga minyak dunia pada harga keseimbangan baru. Banjirnya minyak di Amerika Serikat melalui shale oil yang diprediksi membutuhkan biaya US$ 50 per barrel, maka perlahan tingkat produksi shale oil di USA akan turun sehingga ada keseimbangan baru pada pasokan dan harga, sehingga diyakini harga minyak dunia di tahun 2016 akan bergerak ke arah US$ 60 per barrel. Sehingga tahun 2018 nanti harga minyak dunia akan bergerak ke arah US$ 70 per barrel. Artinya adalah "masa bulan madu" harga minyak dunia yang rendah akan berakhir, serta keseimbangan baru pada kisaran harga US$ 70-US$ 80 per barrel. Pada harga keseimbangan ini, maka subsidi energi akan bergerak naik kembali, dan bisa saja bergerak ke arah US$ 100 per barrel jika kemudian sentimen psikologis mendorong ke arah tersebut seperti adanya geopolitik yang memanas ataupun sentimen lainnya.

Indonesia jangan sampai ketinggalan momentum, serta Pemerintah jangan hanya berpikir sesaat bahwa periode pemerintahannya yang diuntungkan dengan harga minyak dunia yang rendah tidak menyiapkan "exit strategy" dimasa depan. Pengalokasian anggaran ke infrastruktur sudah tepat, tetapi jangan lupa untuk alokasi ke anggaran infrastruktur energi yang dipahami adalah bukan hanya menambah kilang, atau menambah tangki penyimpanan semata, tetapi infrrastruktur energi lainnya bahkan sampai ke infrastruktur energi yang terkait IT agar data penggunaan BBM bersubsidi dapat dipantau real time bahkan sampai per kendaraan serta SPBU yang menyalurkan BBM bersubsidi terbanyak dan lainnya. Jika pengawasan dapat dilakukan dengan baik, tentunya kekhawatiran kebocoran subsidi BBM dapat ditekan dan pada akhirnya menciptakan budaya masyarakat yang patuh pada penggunaan BBM bersubsidi yang benar.

"Hii...Man, Please Wake Up, Stop Your Dream!!!....".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun