Mohon tunggu...
Arief Noviandi
Arief Noviandi Mohon Tunggu... Konsultan - Praktisi Teknologi Informasi dan Komunikasi

Penyuka Caffe Latte dan Cappucino, tak kuat kopi hitam. Suka menyelami kata-kata dan grafis di media sosial.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Love All", Film Biopik Susi Susanti Bikin Rasa Nasionalisme Kita Bergolak

2 November 2019   08:04 Diperbarui: 2 November 2019   08:09 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukannya tidak nasionalis, tapi film Indonesia bukanlah pilihan pertama atau kedua untuk memuaskan diri akan hobi saya dalam menonton film. Tak semata karena kualitas filmnya, namun gaya bercerita dalam film Indonesia yang lambat, dipenuhi adegan naratif untuk menggambarkan suatu peristiwa terasa membosankan bagi saya.

Jadi ketika ada ajakan untuk nobar film Susi Susanti: Love All bersama rekan kerja yang mendapatkan tiket gratis, saya tak ragu untuk menolak, selain karena waktunya terlalu mepet dengan waktu kepulangan saya dari luar kota dan harus segera berkegiatan di kantor.

Namun ternyata kegiatan di kantor diundur pada malam hari, dan malah menyisakan banyak waktu kosong. Tak pelak, saya ubah pikiran dan putuskan bergabung ke cineplex untuk nobar. Beruntung saya berubah pikiran, karena ternyata film ini cukup memuaskan.

Sebelum masuk kedalam cineplex, saya tak punya pretensi apa pun. Tak berharap tinggi. Hanya ingin menghabiskan waktu saja. Namun ketika adegan pembuka muncul, ketertarikan saya langsung timbul. Cerita, akting dan suasana yang dibangun tampak menjanjikan. Kayaknya ini film bakalan bagus, bisikku antusias pada rekan sebelah kursiku.

Benar saja, cerita mengalir lancar mulai dari Susi remaja yang ternyata lebih jago bulutangkis dibandingkan kakaknya yang sebenarnya dipersiapkan terlebih dulu untuk menjadi atlet bulutangkis seperti papanya.

Selanjutnya kita diperkenalkan kepada keluarga Susi yang ternyata urang sunda pisan walaupun keturunan Cina. Kehangatan keluarga mereka digambarkan seperti semangkok ciapo, sejenis sop ayam yang disajikan hangat yang seringkali disajikan sebagai menu favorit keluarga Susi.

Susi remaja yang diperankan dengan baik sekali oleh Moira Tabina Zayn, membuat saya makin menikmati film ini. Cantik sekali anak ini

Chemistry yang dibangun Moira dengan Iszur Mochtar yang memerankan tokoh papa pun terjalin dengan indah. Saya yakin ketika Susi Susanti melihat adegan ayah anak ini pasti akan mengeluarkan air mata mengenang sang ayahanda.

Lokasi dan properti yang ditampilkan dalam kisah yang berlatar tahun 80-an juga terasa dipersiapkan secara detail. Bangunan yang dijadikan latar mampu menunjukkan suasana dan kondisi tahun itu. Juga mobil dan motor yang lazim ditemukan pada tahun itu pun terlihat padat mengisi layar.

Adegan pun berlanjut ke paruh kedua. Susi Susanti dewasa diperankan oleh Laura Basuki. Kebanyakan lokasi diambil di sekitaran Pelatnas, dan lapangan pertandingan bulutangkis. Sekali lagi, suasana lampau terasa pas melalui tangkapan layar kamera.

Awalnya saya apriori miring atas pemilihan Laura Basuki yang menurut saya terlalu cantik untuk perankan Susi Susanti. Maaf ya Ci Susi. Namun dalam waktu singkat, saya dibuat takjub melihat tampilannya. Mirip Susi, bisikku lagi pada rekan sebelah. Gak salah pilih, pikirku.

Di masa Susi dewasa ini, banyak figur tokoh terkenal dimunculkan kembali. Seperti Alan Budikusuma ya iyalah... Haryanto Arbi, Hermawan Susanto, Liang Chu Sia, hingga Try Sutrisno. Suara Presiden Soeharto pun juga sempat mengisi, berbicara dengan tokoh Susi melalui sambungan telepon. Menjadi keasyikan tersendiri menebak siapa memerankan siapa.

Adegan perkenalan, pedekate hingga berpacarannya pemeran Susi dengan Alan menjadi daya tarik selanjutnya. Kita akan tersenyum simpul bahkan tertawa dan sedikit gemas melihat adegan-adegan yang dibangun oleh mereka berdua. Di sini, Saya makin jatuh cinta dengan Laura Basuki.

Diparuh kedua ini, penonton disuguhkan banyak pertandingan yang disajikan secara apik. Penonton diajak ikut merasakan ketegangan seperti sedang menontong tayangan langsung. Padahal ini kita tahu ini bukan pertandingan sesungguhnya, dan bahkan sudah bisa diketahui hasilnya.

Puncak film ini terjadi ketika tokoh Susi dan Alan berhasil menyandingkan medali emas di Olimpiade Barcelona 1992. Nasionalisme kita akan tergugah disini, dimana rakyat Indonesia dari berbagai kalangan mendukung para atlet. Dan ikut berkaca-kaca bersama Susi Susanti ketika Indonesia Raya dikumandangkan.

Seharusnya disinilah film ini berhenti.

Di sepertiga paruh terakhir film ini menjadi anti klimaks. Kelebihan-kelebihan yang ada di duapertiga jalannya cerita tak muncul. Isu besar yang dibawa seperti rasisme, keresahan karena sulitnya keturunan Cina menjadi WNI terasa kurang greget. Kerusuhan 1998 pun tak terasa mencengkam. Padahal trailer film ini baik dan kuat sekali mengangkat isu tersebut.

Beruntung ending cerita yang terasa menggantung dijawab melalui sekilas keterangan sesaaat sebelum credit title ditayangkan.

Namun secara keseluruhan, saya keluar cineplex dengan rasa puas. Lumayan untuk sebuah film biopik yang awalnya tak ingin saya tonton. Pertanyaan yang tak terjawab karena ending yang menggantung, saya akan serahkan ke mbah google. Dan bila ditanya rekomendasi nonton atau tidak film ini, maka saya akan berikan skor 7 dari skala 1-10 agar semua bisa menonton film ini.

Menurut saya selain menumbuhkan rasa nasionalisme kebangsaan, film ini seharusnya diamplifikasi oleh PBSI dan masyarakat bulutangkis Indonesia untuk memasyarakatkan lagi permainan bulutangkis agar kembali menjadi olahraga favorit rakyat Indonesia.

Kini saya pun masih terbayang manisnya Moira dan cantiknya Laura. Beneran saya suka.

"Halo sukaa..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun