LBH Semarang: Memperjuangkan Hak Buruh di Tengah Kompleksitas Struktural
Perjuangan buruh di Jawa Tengah mencerminkan kompleksitas dinamika perburuhan di Indonesia, dengan berbagai kasus pelanggaran hak yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak. Di Kota Semarang, isu buruh menjadi semakin relevan seiring dengan pertumbuhan sektor industri dan jasa yang pesat. Kota ini merupakan salah satu pusat ekonomi di Jawa Tengah, dengan banyak kawasan industri yang mempekerjakan ribuan buruh. Namun, pertumbuhan ekonomi ini tidak selalu diiringi dengan perbaikan kondisi kerja. Banyak buruh di Semarang menghadapi isu seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, sistem kontrak kerja yang tidak adil, dan pelanggaran hak-hak dasar seperti pembayaran upah minimum.
Dalam diskusi bersama LBH Kota Semarang, terungkap sejumlah persoalan perburuhan yang menggambarkan tantangan besar dalam memperjuangkan hak-hak pekerja di berbagai sektor.
LBH berperan sebagai jembatan antara buruh dan pemerintah, sekaligus sebagai agen perubahan sosial. LBH Kota Semarang menyediakan bantuan hukum gratis bagi buruh yang menghadapi masalah hukum, seperti sengketa ketenagakerjaan, pengaduan pelanggaran hak asasi, hingga pendampingan dalam kasus-kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak adil. LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Semarang terus menunjukkan konsistensinya dalam membela hak-hak buruh di Jawa Tengah. Sebagai lembaga yang berkomitmen terhadap isu hak asasi manusia, LBH Semarang memandang permasalahan buruh sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan HAM. Pendampingan yang dilakukan LBH tidak hanya mencakup persoalan normatif, seperti upah dan jaminan sosial, tetapi juga menyentuh isu-isu struktural, seperti perlakuan diskriminatif, kekerasan berbasis gender, hingga manipulasi tenaga kerja migran.
Menurut Safali, selaku bidang buruh di LBH Semarang, masalah buruh di Kota Semarang mencerminkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan struktural yang dialami pekerja, baik dalam sektor manufaktur, garmen, hingga pekerja rumahan. Isu utama yang sering terjadi meliputi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak, pelanggaran hak normatif seperti pembayaran upah yang tidak sesuai Upah Minimum Kota (UMK), serta pemotongan hak-hak seperti Tunjangan Hari Raya (THR) dan BPJS Ketenagakerjaan.
Safali memberikan contoh nyata dari kasus pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) yang tidak tersalurkan dari PT Varsity Semarang dan PT Roda Makmur Sentosaa, serta pencairan BPJS yang tidak dipenuhi oleh perusahaan outsourcing, PT Puji Harapan Prima.
"Buruh perempuan menghadapi tantangan tambahan berupa diskriminasi gender di tempat kerja, termasuk pelanggaran hak cuti melahirkan, perlakuan intimidatif, serta tidak adanya kebijakan spesifik untuk melindungi mereka dari kekerasan berbasis gender," ujar Safali saat wawancara.
Pendampingan LBH dalam Berbagai Kasus Buruh
Dalam wawancara, Safali menjelaskan bahwa LBH Semarang secara konsisten mendampingi kasus-kasus buruh yang menghadapi pelanggaran sistemik dan memastikan para pekerja mendapatkan hak-hak normatif mereka sesuai hukum. Ia juga menyoroti kasus, seperti pemecatan pekerja PT Safelock Medical Klaten karena membentuk serikat buruh.
"Meski kebebasan berserikat dijamin undang-undang, di lapangan pekerja yang memperjuangkan hak mereka sering kali menghadapi ancaman PHK atau intimidasi," ungkap Safali.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa buruh di kawasan industri seperti Kawasan Industri Wijaya Kusuma dan Kawasan Industri Candi sering menghadapi pelanggaran hak normatif yang sistemik.
"Upah yang tidak sesuai UMK dan pemotongan hak-hak seperti THR serta BPJS Ketenagakerjaan adalah masalah yang sangat umum," jelasnya.
Kasus lainnya yaitu LBH terakhir menangani kasus terkait ex-pekerja dilaporkan secara pidana karena dianggap menggelapkan uang perusahaan dan ternyata dari kasus tersebut adalah cara perusahaan untuk menghindari diri dari pelunasan atau penugakkan BPJS Ketenagakerjaan
yang tidak dibayarkan bertahun-tahun, termasuk upah minimum yang tidak sesuai dengan upah minimun yang seharusnya dibayarkan dan diterima oleh pekerja. LBH juga menangani kasus yang lebih kompleks, seperti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), di mana pekerja Indonesia di Myanmar dipaksa menjadi scammer online dan terdapat sekitar 60-an pekerja imigran gagal diberangkatkan sebagai awak buah kapal dan itu diindikasi penipuan sejak awal. Contoh ini menunjukkan bahwa advokasi LBH tidak hanya mencakup buruh lokal, tetapi juga pekerja migran.
Relokasi Industri dan Tantangan Kebijakan Lokal
Safali juga menyinggung dampak relokasi industri besar-besaran ke Jawa Tengah, termasuk
Kota Semarang.
"Kebijakan ini memang bertujuan meningkatkan investasi, tetapi realitasnya
tidak diimbangi dengan pengawasan yang memadai terhadap perlindungan buruh," tegasnya.
Ia menyebut banyak perusahaan di kawasan industri melanggar regulasi ketenagakerjaan, terutama dalam penyusunan peraturan perusahaan yang sering kali dilakukan tanpa melibatkan buruh secara substansial.
Menurut Safali, lemahnya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan minimnya implementasi Permenaker Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan turut memperburuk kondisi buruh di Semarang.
Kritik terhadap Peran Negara
LBH Semarang juga mengkritik peran pemerintah yang dianggap lebih mengutamakan kepentingan investasi daripada kesejahteraan buruh. Jawa Tengah, termasuk Semarang, dikenal sebagai salah satu provinsi dengan UMK terendah di Indonesia, yang mencerminkan ketimpangan kebijakan dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan hak buruh. Hal ini memperlihatkan ketimpangan dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kesejahteraan buruh Safali menjelaskan bahwa tantangannya lebih banyak dieksternal adalah soal ketidakmampuan negara yang dimana tidak bisa hadir dan tidak mampu melindungi pekerja yang ditelantarkan, tidak digaji, pesangonnya tidak dibayarkan, dan terjadi intimidasi perusahaan terhadap pekerja. Meskipun Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur perlindungan buruh, implementasinya sering lemah. Aparat hukum kerap tidak memahami mekanisme perburuhan atau bias terhadap perusahaan. Selain itu, unit khusus yang menangani pelanggaran pidana perburuhan belum tersedia secara luas, sehingga mengurangi efektivitas advokasi LBH. Dalam banyak kasus, buruh yang mencoba memperjuangkan hak mereka menghadapi ancaman PHK atau intimidasi, sementara pemerintah tidak memberikan perlindungan yang memadai. Dalam konteks ini, LBH Semarang berperan sebagai penyambung suara buruh yang sering kali terpinggirkan.
Kesimpulan
Masalah buruh di Kota Semarang, sebagaimana diuraikan oleh Safali, mencerminkan tantangan kompleks yang membutuhkan pendekatan holistik. Upaya untuk mengatasi masalah ini membutuhkan sinergi antara pemerintah, serikat buruh, dan lembaga bantuan hukum. Pemerintah Kota Semarang diharapkan dapat memperkuat peran Dinas Ketenagakerjaan untuk lebih tegas dalam melakukan pengawasan dan menyelesaikan sengketa industrial. Di sisi lain, serikat buruh harus diberdayakan untuk dapat mendampingi buruh dalam memperjuangkan hak mereka, baik melalui jalur hukum maupun negosiasi. Penyediaan layanan hukum yang gratis atau terjangkau juga penting untuk memastikan buruh mendapatkan akses keadilan. Selain itu, perlindungan terhadap buruh perempuan harus diperhatikan secara serius melalui kebijakan lokal yang memastikan lingkungan kerja yang aman dan bebas diskriminasi. Dalam jangka panjang, diperlukan reformasi kebijakan yang memperkuat posisi tawar buruh dan mencegah eksploitasi yang berlebihan. Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan buruh tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan produktif. LBH Semarang, dengan dedikasinya dalam membela hak buruh, menjadi aktor penting dalam
menciptakan perubahan yang lebih baik. LBH juga menggunakan pendekatan mediasi untuk menyelesaikan perselisihan antara buruh dan perusahaan. Mediasi ini bertujuan untuk mendorong dialog, seperti dalam kasus negosiasi kenaikan upah atau penghapusan kekerasan terhadap anggota serikat buruh. LBH juga memberikan pendidikan dan pelatihan kepada buruh mengenai hak-hak mereka. Kegiatan ini dilakukan di berbagai komunitas buruh, seperti di Semarang, untuk memperkuat serikat buruh dan meningkatkan kemampuan negosiasi mereka. Pengorganisasian aksi menjadi strategi lain yang dilakukan LBH. Aksi-aksi seperti mogok kerja atau demonstrasi sering digunakan untuk menekan perusahaan agar memenuhi kewajiban mereka. Namun, keberhasilan ini juga memerlukan dukungan dari pemerintah dan masyarakat luas untuk memastikan keadilan sosial bagi seluruh pekerja. Harapan LBH mencakup pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap tidak berpihak pada buruh, penghapusan sistem outsourcing, dan peningkatan perlindungan hukum bagi pekerja. Pendekatan ini mencerminkan visi LBH untuk menciptakan keadilan sosial sebagai bagian dari perjuangan rakyat secara keseluruhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H