Mohon tunggu...
Arief Maulana
Arief Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Semarang

Saya hobi bermain musik, futsal, dan bermain billiard

Selanjutnya

Tutup

Hukum

LBH Semarang: Mengadvokasi Hak Buruh di Tengah Ketimpangan dan Tantangan Struktural

15 Desember 2024   12:13 Diperbarui: 15 Desember 2024   12:13 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Relokasi Industri dan Tantangan Kebijakan Lokal

Safali juga menyinggung dampak relokasi industri besar-besaran ke Jawa Tengah, termasuk
Kota Semarang.

"Kebijakan ini memang bertujuan meningkatkan investasi, tetapi realitasnya
tidak diimbangi dengan pengawasan yang memadai terhadap perlindungan buruh," tegasnya.

Ia menyebut banyak perusahaan di kawasan industri melanggar regulasi ketenagakerjaan, terutama dalam penyusunan peraturan perusahaan yang sering kali dilakukan tanpa melibatkan buruh secara substansial.
Menurut Safali, lemahnya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan minimnya implementasi Permenaker Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan turut memperburuk kondisi buruh di Semarang.


Kritik terhadap Peran Negara

LBH Semarang juga mengkritik peran pemerintah yang dianggap lebih mengutamakan kepentingan investasi daripada kesejahteraan buruh. Jawa Tengah, termasuk Semarang, dikenal sebagai salah satu provinsi dengan UMK terendah di Indonesia, yang mencerminkan ketimpangan kebijakan dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan hak buruh. Hal ini memperlihatkan ketimpangan dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kesejahteraan buruh Safali menjelaskan bahwa tantangannya lebih banyak dieksternal adalah soal ketidakmampuan negara yang dimana tidak bisa hadir dan tidak mampu melindungi pekerja yang ditelantarkan, tidak digaji, pesangonnya tidak dibayarkan, dan terjadi intimidasi perusahaan terhadap pekerja. Meskipun Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur perlindungan buruh, implementasinya sering lemah. Aparat hukum kerap tidak memahami mekanisme perburuhan atau bias terhadap perusahaan. Selain itu, unit khusus yang menangani pelanggaran pidana perburuhan belum tersedia secara luas, sehingga mengurangi efektivitas advokasi LBH. Dalam banyak kasus, buruh yang mencoba memperjuangkan hak mereka menghadapi ancaman PHK atau intimidasi, sementara pemerintah tidak memberikan perlindungan yang memadai. Dalam konteks ini, LBH Semarang berperan sebagai penyambung suara buruh yang sering kali terpinggirkan.


Kesimpulan


Masalah buruh di Kota Semarang, sebagaimana diuraikan oleh Safali, mencerminkan tantangan kompleks yang membutuhkan pendekatan holistik. Upaya untuk mengatasi masalah ini membutuhkan sinergi antara pemerintah, serikat buruh, dan lembaga bantuan hukum. Pemerintah Kota Semarang diharapkan dapat memperkuat peran Dinas Ketenagakerjaan untuk lebih tegas dalam melakukan pengawasan dan menyelesaikan sengketa industrial. Di sisi lain, serikat buruh harus diberdayakan untuk dapat mendampingi buruh dalam memperjuangkan hak mereka, baik melalui jalur hukum maupun negosiasi. Penyediaan layanan hukum yang gratis atau terjangkau juga penting untuk memastikan buruh mendapatkan akses keadilan. Selain itu, perlindungan terhadap buruh perempuan harus diperhatikan secara serius melalui kebijakan lokal yang memastikan lingkungan kerja yang aman dan bebas diskriminasi. Dalam jangka panjang, diperlukan reformasi kebijakan yang memperkuat posisi tawar buruh dan mencegah eksploitasi yang berlebihan. Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan buruh tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan produktif. LBH Semarang, dengan dedikasinya dalam membela hak buruh, menjadi aktor penting dalam
menciptakan perubahan yang lebih baik. LBH juga menggunakan pendekatan mediasi untuk menyelesaikan perselisihan antara buruh dan perusahaan. Mediasi ini bertujuan untuk mendorong dialog, seperti dalam kasus negosiasi kenaikan upah atau penghapusan kekerasan terhadap anggota serikat buruh. LBH juga memberikan pendidikan dan pelatihan kepada buruh mengenai hak-hak mereka. Kegiatan ini dilakukan di berbagai komunitas buruh, seperti di Semarang, untuk memperkuat serikat buruh dan meningkatkan kemampuan negosiasi mereka. Pengorganisasian aksi menjadi strategi lain yang dilakukan LBH. Aksi-aksi seperti mogok kerja atau demonstrasi sering digunakan untuk menekan perusahaan agar memenuhi kewajiban mereka. Namun, keberhasilan ini juga memerlukan dukungan dari pemerintah dan masyarakat luas untuk memastikan keadilan sosial bagi seluruh pekerja. Harapan LBH mencakup pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap tidak berpihak pada buruh, penghapusan sistem outsourcing, dan peningkatan perlindungan hukum bagi pekerja. Pendekatan ini mencerminkan visi LBH untuk menciptakan keadilan sosial sebagai bagian dari perjuangan rakyat secara keseluruhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun