Mohon tunggu...
Arief Gununk Kidoel
Arief Gununk Kidoel Mohon Tunggu... lainnya -

"Sejenak Menapak Riuhnya Dunia Maya" ~ penghobi tanaman hias dan koleksi ~ di desa di Gunung Kidul DIY Hadiningrat yang mencoba belajar menulis ~

Selanjutnya

Tutup

Nature

Tangguhnya Pohon Jati: Tak Pernah Galau Walau Kemarau

17 Oktober 2011   08:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:51 3296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel


Kemampuan pohon jati yang tangguh menempuh hidup di alam yang keras, lahan kritis, tandus, kering, dan gersang. Menjadikan banyak dari petani di desa saya yang punya lahan perbukitan, lebih memilih untuk menanami pohon jati. Daripada sepenuh waktu, lahan dipakai untuk pertanian. Di lahan tersebut yang menurut anggapan saya, bukan tanah berbatu, tapi batu bertanah, sepertinya hanya pohon jati yang layak menjadi tanaman tabungan di masa depan.

Sebenarnya bukan hanya pohon jati yang kuat hidup di lahan penuh perjuangan itu. Ada pohon akasia, mahoni, maupun sengon laut. Bahkan beberapa juga sudah ada yang mencoba menanam pohon jabon. Tapi tetap belum bisa menyingkirkan kebiasaan menanam pohon jati. Kalau boleh saya sebut, di desa kami menanam pohon jati, sudah tradisi.

Berdasar dari cerita sekitar, nilai ekonomis pohon jati masihlah paling tinggi. Jika lama panen dianggap menjadi kendala, sepertinya bukan menjadi pertimbangan utama. Bahkan sekarang, pohon jati dalam bulatan yang tidak harus besar pun, sudah laku juga.

Saya bukan ahli kayu, dan tidak paham tentang ilmu kehutanan. Namun kenapa menanam pohon jati demikian mengakar kuat di masyarakat dengan lahan perbukitan yang tandus?
Hal itu terbukti dari kemampuannya menghadapi kerasnya alam yang gersang. Tidak pernah galau walau kemarau. Pohon jati tinggal merontokkan daunnya untuk mengurangi penguapan. Disebut dengan meranggas.
Bahkan keadaan meranggas itu, seolah pohon jati membuat pupuk untuk dirinya sendiri.
Daun-daun yang rontok, menjadi humus pupuk alami.

Terlihat pada gambar foto di atas. Bagaimana hampir semua pohon jati seperti mati. Padahal mereka sedang bertahan hidup. Mengatasi krisis air di dalam tanah, agar tetap tumbuh dan berkembang.
Perbedaan kondisi pohon jati pada musim kemarau dan penghujan itulah, kata Pak Guru SD dulu, menciptakan lingkaran tahun pada guratan kayunya.

Ada pertimbangan lain bagi petani dalam menanam jati. Lain dengan pohon sono keling yang akarnya menyebar dan tumbuh tunas. Pohon jati tidak begitu. Karenanya ini termasuk disukai petani. Dalam kisaran 3 tahun, lahan jati masih bisa ditanami aneka palawija pertanian. Jagung dan ketela pohon masih produktif ditanam diantara pohon jati yang masih kecil. Malah dwifungsi dalam memupuk. Utamanya memupuk palawija, sekaligus memupuk pohon jati.
Sama juga jika ditanami akasia atau mahoni, alias tidak bisa ditanami palawija terlebih dahulu. Selain nilai ekonomisnya memang kurang tinggi dibanding jati.

Daun pohon jati tidak dimaui hewan ternak. Sehingga aman dari perusakan saat pakan ternak hijauan sulit didapat. Hal ini pun disukai para petani, karena tidak perlu sering-sering patroli, menjaga siapa tahu ada yang mencuri. Harap maklum saja, pencurian pakan ternak hijauan dengan mengambil daun pohon milik orang lain, lebih sering menjadi perusak. Biasanya memotongnya asal-asalan. Membikin pertumbuhan menjadi kurang baik di masa depan.

Satu lagi kenapa menanam pohon jati menjadi tradisi. Pohon jati bersemi kembali setelah ditebang.
Bahkan semi-an ini, pertumbuhannya lebih cepat, lebih lurus, dan lebih bagus.

Jika pohon jati dirawat dengan intensif, mengikuti teori budidaya ilmu kehutanan yang dulu pernah saya baca. Ada pedoman mulai dari jarak tanam, pemupukan, pemangkasan, dll. Memang bisa lebih cepat pertumbuhan dan panen. Akan tetapi lain lagi dengan para petani di sini. Boleh jadi karena mengikuti kondisi lahan perbukitan, atau mungkin karena kesibukan, pembiayaan, maupun keterbatasan tenaga. Bagi mempunyai lahan perbukitan yang menganggur. Lantas ditanami pohon jati, daripada menjadi lahan bero yang tidak berguna.

Tanpa perawatan intensif, seperti menyiangi rumput, pemupukan, pemangkasan, dll. Nyatanya bisa juga menjadi hutan jati yang produktif.
Dengan cara pembiaran setelah penanaman.
Pada awalnya memang pohon jati kecil tidak kelihatan. Tertutup dan kalah oleh semak belukar. Tapi lambat laun, ketika batang mulai tinggi, pohon jati-lah yang menang. Semakin tinggi dan semakin besar penanaman pohon-pohon jati dengan teknis pembiaran tersebut, kemudian akan berbalik menjadi menang. Bahkan rumput pun enggan untuk tumbuh. Tidak terasa yang semula merupakan lahan perbukitan yang menganggur, menjadi tabungan masa depan yang lumayan.
Apalagi jika intensif dalam perawatan, tentu lebih cepat menghasilkan.

Mengapa tidak menanam pohon jati dari sekarang? Sangat disayangkan jika mempunyai lahan perbukitan yang tandus dan gersang, bahkan sampai berpuluh tahun, hanya ditumbuhi semak belukar dan rerumputan yang bergoyang. Sayang kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun