Kurang mendetil memang ceritanya. Tapi sedikit dijelaskan, salah satu ajarannya, yaitu tidak boleh membawa oleh-oleh makanan kalau bertamu. Pakaian, juga jenggot, kumis, rambut, ada aturannya.
Waduh. Tak pikir-pikir dulu saja kalau begitu. Bukan masalah ajarannya. Tapi mengatur tentang pakaian segala. Wah, upamanya pinjaman saya dilunasi, tapi selanjutnya harus pakai pakaian yang saya tidak sreg. Hehe... Ya nanti dulu. Jangan grusa grusu tergiur pemberantasan riba bunga bank.
Sampai tamu saya itu pulang. Masih jadi pikiran juga. Pilih hutangnya hilang dilunasi, tapi ganti pakaian. Atau, tetap punya hutang, tidak ganti pakaian.
Kira-kira bisa dinego tidak ya, tidak usah ganti pakaian, tapi pinjamannya dilunasi? Sepertinya tidak mau.
Wah, kenapa tidak ada tokek bunyi ya. Tokek. Tokek. Mau. Tidak. Mau. Tidak. Tokek. Tokek.
Biarpun seperti itu, tidak lantas menelan cerita begitu saja. Mengingat pepatah bahasa jawa "sakdawa-dawane lurung, isih dowo gurung", yang artinya sepanjang apapun jalan, masih lebih panjang tenggorokan. Terkadang sering, cerita bisa lebih dari kenyataan. Entah, bagaimana yang sebenarnya. Saya belum pernah bertemu ustad itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H