Mohon tunggu...
arie febstyo
arie febstyo Mohon Tunggu... Tenaga Lepas -

Penggemar Malam

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Tolak Angin, Tolak Musuh, dan Awal dari Persahabatan

23 Juli 2018   14:34 Diperbarui: 23 Juli 2018   15:02 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Enam orang anak muda datang dengan ramah menghampiriku, seperti menunjukan orang tua mereka berhasil mendidik mereka dengan baik, salah satunya menepuk pundakku dan berkata terimakasih ya, "terimakasih apa ya bang?" jawabku dengan santai. "Tolak Anginnya", dan keenam pemuda mengajakku bersalaman dengan ala pencinta alam, dan aku pun langsung mengklaimnya itu adalah sebagai tanda dimulainya sebuah persahabatan.

Momen itu terasa sangat sejuk, seperti ada angin lembut yang mengusap wajah dan menerobos halus celah rambutku.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, bermula dari sebuah open trip ke Gunung Papandayan yang infonya aku dapat dari forum Kaskus. Karena penasaran dan ingin sekali ke sana saya pun mengajak teman kantor untuk ikut, tapi tak ada satu orang teman ku yang tertarik mengikuti open trip tersebut. Dan karena niatku sudah amat bulat aku pun memutuskan untuk mendaftar sendiri.

Aku pun langsung menghubungi ketua pelaksana untuk mendaftar, dan yang namanya open trip, kita tidak akan tahu siapa saja yang akan ikut, kita cuma bisa mengetahuinya saat pada hari keberangkatan. Kita tidak tahu apakah kita cocok dengan orang baru tersebut atau tidak, yang pasti ketua pelaksananyalah yang akan sangat ramah dengan kita.

Dan aku pun tidak terlau memikirkan bagaimana nanti sikap peserta lainnya, karena yang ku tahu anak-anak pencipta alam itu orangnya asik dan supel, tidaklah sulit untuk berbaur dengan mereka. Dan aku hanya fokus ingin menyaksikan pesona Gunung Papandayan nan menggoda yang selama ini aku cuma bisa melihatnya melalui postingan di sosial media.

Semua persiapan apa saja yang akan dibawa telah diinfokan oleh ketua pelaksana, aku pun telah siap dengan itu, sebelum menuju titik temu, aku mampir kesebuah mini market untuk membeli minuman serta camilan buatku di perjalanan nanti, saat akan membayar di kasir, seperti biasa di mini market umumnya di dekat meja kasir terdapat rak khusus obat-obatan. Saat mata ini tertuju ke rak tersebut tak tanggung-tanggung aku juga membeli tiga kotak tolak angin yang masing-masing kotaknya berisi enam saset tolak angin, selesai mebayar aku melanjutkan perjalanan ke titik pertemuan.

Sampai di titik pertemuan, terlihat sebuah bus yang akan membawa rombongan kami sudah menunggu, di sekitar bis sudah banyak muda-mudi yang berkelompok, ada yang berdiri dan ada yang duduk sambil tertawa terbahak-bahak.

Aku pun langsung menyapa mereka, dan mengajak mereka semua bersalaman, "ikut trip papandayan juga yang bos?" tanyaku. "iya" jawab salah satu dari mereka. Tak ada kata lainnya lagi selalin kata "iya" yang keluar dari mulutnya. Sambil menyelesaikan salaman yang ada semuanya ada 20 peserta, banyak basa-basi yang akau keluarkan demi bisa mendekati mereka yang sepertinya sudah "terkotak-kotak", namu basa-basi itu seakan meluap di tengah ke asyikkan kelompok mereka masing-masing.

Dan aku mulai sadar bahwa tidak semuanya yang ingin ke gunung itu adalah pencinta alam, yang konon katanya pencinta alam itu anaknya asyik.

Ketika dalam hati aku mulai merasa sendiri, aku satu-satunya peserta yang tidak dengan kelompok, aku cuma bisa duduk sendiri sambil mendengarkan haha-hihinya mereka dari tadi.

Saat itu aku sangat berharap bus ini berangkat dengan cepat. Tak lama kemudian datanglah ketua pelaksana dan rekannya menyapa ramah kami sembari mengabsen, hati ini terasa tenang karena sudah merasa tak asing lagi di tengah kelompok yang cuma bisa berinteraksi dengan orang yang dikenal sejak awal.

Setelah barang-barang logistik untuk keperluan di atas gunung nanti sudah selesai dimasuki ke bagasi bus, saat itu Jumat malam pukul 21.00 WIB, bus  pun berjalan menuju Garut, Jawa Barat, tempat dimana Gunung Papandayan bersemayam.

Aku memilih kursi paling depan, tepat dibelakang supir, dibagian sisi jendela, dan untungnya yang duduk disampingku adalah rekan dari ketua pelaksana, yang juga merupakan panitia acara pendakian gunung Papandayan ini, hati akhirnya terasa tenang, diri ini tidak akan dibelenggu sepi, karena yang namanya panitia pasti bisa menjadi teman cerita sepanjang perjalanan, karena tidak ada alasan baginya untuk bersikap sombong kepada peserta seperti saya, tidak seperti kelompok-kelompok yang hanya ingin duduk saling berdekatan sesama kelompoknya masing-masing.

Bus melaju cepat ketujuan, di perjalanan banyak sekali yang saling tukar menukar cerita, ramai sekali, namun sayangnya terdengar seperti cerita antar kelompok saja, meski demikian antar kelompok saling menggebu seakan ada kompetisi kelompok yang paling seru, hingga sampai pada akhirnya suasan menjadi senyap karena sebagian sudah lelah dan tertidur, sebagain sibuk dengan ponselnya masing-masing.

Saat aku sedang asyik bercengkarama kepada panitia yang layaknya kami teman sebangku di sekolah, tiba-tiba dibelakang mendadak gaduh, mencari kantong plastik. Ternyata salah satu peserta wanita ada yang muntah karena mabuk perjalanan,  obrolan kami terputus, panitia itu langsung menuju kebelakang untuk antisipasi dan meredam suasana, sebenarnya itu hal yang biasa, tapi suasananya seakan ada yang sekarat dibuatnya, meski begitu bus tetap melaju, sebagian peserta juga sibuk bermimpi, tak peduli dengan teman sesama haha-hihinya tadi.

Bahkan banyak juga terdengar komentar "wah, gw juga pengen muntah kalau ada yang muntah begini" dengan suara sengau karana berbicara sambil menutup hidungdan mulut. Padahal dia pria berbada besar, "ah payah" gumamku dalam hati.

Situasi pun sudah mulai  terkendali, panitia tersebut memanggil rekannya yang ada di depan untuk membawa kotak obat yang sudah mereka siapakan untuk peserta. Panitia menawarkan obat pusing agar peserta yang mabuk tersebut bisa tidur, namun dia menolak, dengan suara agak pelan, ia berkata "kalau bisa Tolak Angin aja bang". Dengan teriak panitia itu menyampaikan ke ketua panitia yang duduk pas di samping supir, "ketua kita punya Tolak Angin gak?", ketua panita terdiam. Aku pun langsung berkesimpulan mereka tidak menyediakan Tolak Angin, langsung ku sambar pertanyaan tersebut " saya punya", sambil merogoh tas, dan mengambil sekotak Tolak Angin.

"buset banyak amat bang" kata panitia tersebut. Dia langsung mengambil sekotak Tolak Angin itu dan membawanya kebelakang untuk diberikan pada perempuan yang mabuk perjalanan itu. setelah menerima satu saset Tolak Angin dari panitia, perempuan itu langsung mengucapkan terimaksih padaku, aku menoleh kebelakang dan menjawab "iya", tak tau mana orangnya yang sedang mabuk perjalanan itu, karena dari depan, bagian belakang tak terlihat, karena gelap, sesekali terlihat samar, saat bus melintasi lampu jalan.

Panitia pun kembali ke depan dan mengembalikan sisa Tolak Angin itu pada ku. "bagi-bagi aja ke yang lain siapa tau masih ada yang mau", kata ku.

Dan benar saja, ternyata banyak sekali peminat Tolak Angin yang kubawa tersebut, sisa Tolak Angin pun habis dalam sekejap. Dan yang tidak kebagian entah kenapa tampak kecewa, banyak yang seraya mengeluh, "buat saya aja dong-buat saya aja dong, kapala saya udah pusing". Adalagi yang, "saya aja dong perut saya udah mual".

Karena merasa saya masih cukup banyak stok Tolak Angin, saya mengeluarkan satu kotak lagi, "ini, ada satu kotak lagi, atur rapi aja siapa yang paling butuh" ucapku dengan santai. "sini bang, biar saya aja yang bagiin" kata panitia.

"Makasih bang, makasih ya bang" kata peserta yang mendapat suntikan Tolak Angin tahap dua dari ku itu.

Suasana mulai hening, aku pun tak tau kapan tertidur, karena tiba-tiba saat dibangunkan, ternyata kami sudah sampai di pos pertama gerbang masuk Gunung Papandayan,

Saat turun dari bus, udara segar seakan merangsak masuk melalui pori-pori, dan langsung memuai oleh sinar matahari pagi, nikmatnya udara di bawah kaki gunung ini.

Panitia mengajak kami semua sarapan, untuk energi awal sebelum dimulainya pendakian, namun  aku meminta waktu sebentar dan berjanji akan menyusul, sendiri aku sesaat menikmati suasana kaki gunung dengan retina mata ini dan mengeluarkan kamera untuk membuat suasana yang disaksikan abadi dalam memori.  Meski tak ada teman, saya merasakan suasana di pegunungan ini amat begitu nyaman.

Dan terasa ada yang menepuk pundakku, ternyata itu adalah salah satu tangan dari 6 orang peserta yang datang menghampiriku, dan ada peserta lain lagi yang menyusul dengan membawakan sarapan untuk ku, kami pun akhirnya sarapan bersama dan akhirnya kepuncak Papandayan bersama-sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun