Tahun ajaran baru sudah dimulai, dengan kebiasaan baru dan cara belajar baru. Jika dulu setiap pagi sekolah macet sampai melebar dan panjang menutupi jalan utama akibat yang mengantar anak masuk sekolah sekarang sudah tidak ada lagi.
Belajar anak sekolah saat ini adalah absen pukul 07.00 sampai 08.00 kemudian pelajaran dimulai didepan laptop pukul 08.01. semua anak terlihat wajahnya  dilayar komputer sang guru. tidak ada hiruk pikuk anak yang bercanda dan bersantai lagi semua serius dihadapan gadget masing-masing. Tidak perlu lagi tas sekolah dan sepatu sekolah. Semuanya berganti hp atau laptop. Tidak ada uang jajan dan transport lagi semua berganti jadi kuota dan pulsa, listrik dan jaringan selular. Selamat datang dunia baru.
Berdasarkan laporan tahun2019, Bank Dunia secara terbuka mengatakan bahwa Indonesia tidak siap menghadapi Revolusi Industri 4.0, bahkan 2.0 saja  belum siap.
Mengapa? Karena saat ini terjadi Learning Poverty atau kemiskinan dalam belajar. Maksudnya  adalah anak-anak tidak paham dengan apa yang dia baca. Artinya mereka melek huruf alias bisa baca tetapi tidak faham dengan apa yang dibaca.
Membaca dan faham adalah dasar semua dasar dalam belajar. Karena akan berguna untuk kehidupan sehari-hari dan menentukan masa depan.
Menurut laporan mereka ada  47% anak usia 10 tahun tidak paham yang mereka baca. Kemudian  tidak paham sains 74% dan matematika 77%.
Mereka membuat usulan untuk memperbaiki itu semua adalah dengan peningkatan guru SD dan MI dan pengurangan tugas adminstrasi sekolah, karena  saat ini gurunya banyak tetapi waktu mengajarnya sedikit, karena para guru lebih disibukan dengan adminitrasi sekolah dan pekerjaan sampingan untuk biaya hidup sehari-hari.
Memang  pemerintah daerah sekarang membayar insentif untuk guru agar mau mengajar di tempat terpencil. Dan para guru yang dulunya lebih banyak menghabiskan waktu di jalan daripada waktu di kelas sekarang berkat ada Covid19 membuat  mereka mengajar  tepat waktu  lewat intenet/daring.
Guru adalah profesi terhormat di Indonesia, mereka mendapat gelar pahlawan tanpa tanda jasa  namun  orde baru membuat para guru sebagai agen Negara, yang membentuk dan mengarahkan  agar semua muridnya tidak melenceng dari keinginan pusat.  Sambil tentunya mendidik dan menyiapkan calon penerus bangsa.
Dimasa reformasi semua berubah, guru bebas mengajar dan membentuk siswanya, namun semua terkendala oleh sedikitnya guru dan waktu mengajar yang banyak. Akhirnya dibuat peraturan baru untuk memperbaiki itu semua. Aturan ini adalah diperbolehkannya para pemimpin daerah untuk merekrut guru honorer, guru kontrak. Â Mereka dibayar rendah, dan dibebaskan dari standar baru. Mereka mengambil pekerjaan itu sambil menunggu promosi massal agar mendapatkan status pegawai negeri sipil.
Bupati, walikota, gubernur membuat pos pengajar ini sebagai cara berterima kasih. Standar kepegawaian sekolah akhirnya ikut kebijaksanaan sang gubernur,walikota, bupati karena semua biaya pegawai ini mereka yang menentukan.  Akibatnya  orang-orang yang jadi kepala dinas kependidikan daerah dan pengajar di sekolah berisi orang-orang yang bertujuan menjadi birokrat, bukan pengajar bukan guru-guru yang berkompeten.  Dan hal ini terjadi di hampir semua provinsi di Indonesia.
Dalam aturan mengajar minimal adalah  26 jam seminggu , namun saat ini aturan ini akan sulit untuk ditegakan benar-benar. Mungkin hanya sebagai laporan di kertas saja.
Padahal  guru yang tidak termotivasi adalah yang paling seram. Mereka tinggal menyuruh anak-anak menyalin buku teks dan kemudian memberikan anak-anak tugas  lalu  menunggu hasilnya dan menilainya. Soal anak makin pintar atau tambah bodoh mereka tinggal membuat laporan. Â
Saat ini promosi  dan penghargaan di sekolah untuk para guru hanya berdasarkan jam dia mengajar. Belum ada system untuk memberikan penghargaan kepada guru-guru yang benar-benar bekerja keras, mengajari dan memberikan inspirasi bagi anak-anak.Belum ada penghargaan bagi guru-guru yang mampu mengembangkan potensi murid-muridnya.
Kemudian desentralisasi memperburuk kualitas pendidikan kita, karena sekarang kepala sekolah ditunjuk langsung oleh bupati. Sehingga kepala sekolah bisa menjadi tim sukses sang bupati. Bagaimana gubernur Jakarta membiarkan penerimaan murid baru berdasarkan usia, padahal hal ini sangat merugikan banyak orang dan merusak masa depan anak.
Masalah lainnya adalah kurikulum , dalam kurikulum tahun 2013 mata pelajaran sains dikurangi. Geografi dan sejarah di eksisi. Pengajaran agama, kewarganegaraan dan matematika ditambahkan. Â Tujuannya jelas, pemerintah ingin membuat anak-anak jadi mudah diatur. Â Ini seperti zaman Belanda, disekolahkan agar bodoh. Suatu kebijakan yang sengaja dibuat agar tetap bisa mengeruk kekayaan bagi dirinya dan kelompoknya.
Orang-orang yang sekarang memerintah di daerah-daerah saat ini adalah raja-raja kecil yang mengelola dana dan anak-anak calon penerus bangsa. Pemerintah kecil ini adalah yang membuat keputusan soal pendidikan , investasi, kesehatan dan lain-lain.  Beberapa mau mengucurkan beasiswa untuk mengangkat putera daerah dengan dana yang mereka kelola. Namun lebih banyak yang punya  alasan untuk TIDAK memberikan bea siswa bagi putra putri terbaiknya.
Sebagian besar kita tahu betapa buruknya system sekolah kita. Orang tua miskin sering bekerja keras agar anaknya sekolah. Namun ketika lulus malah jadi pengangguran. Tidak punya pekerjaan. Pemerintah menyediakan lulusan yang terampil. Namun ternyata pengusaha lebih memerlukan manajerial. Yang akhirnya para pengusaha mengajari  mereka dulu semua.  Sekolah mengajarkan menjahit dan menari namun pengusaha perlunya tukang las dan insinyur. Itulah yang terjadi hari ini.
Di atas kertas orang indonesia sekolah semua.  Ada sekitar 3500 universitas dan perguruan tinggi terdaftar di departemen pendidikan dan kebudayaan Indonesia, sekitar  100an dikelola oleh pemerintah. Sisanya adalah swasta. Pengawasan institusi swasta nyaris tidak ada. Akibatnya setiap lulusan belum menjamin  mereka  menjadi lebih terampil dan siap di masa depan.
Semoga dengan adanya pandemi covid19 ini semua berubah. Untuk  kurikulum tahun ajaran baru 2020/2021 menteri depdikbud yang tahun lalu mengeluarkan slogan merdeka belajar, mulai melakukan penyederhanaan pelajaran dengan fokus utamanya adalah literasi, numerasi dan pendidikan karakter. Periode tahun ini adalah periode perubahan besar, orientasinya sudah bukan penguasaan materi lagi, melainkan lebih berorientasi membangun ekologi social yang mengkoneksi ilmu yang dia pelajari dengan kenyataan dan persoalan di kehidupan nyata. dan semuanya diadakan dengan blending learning. Yaitu mengintergarasikan tatap muka, online dan praktik problem solving.
SUMBER
Portraitindonesia.com
kompas.com
wikipedia.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H