Mohon tunggu...
Arief Budimanw
Arief Budimanw Mohon Tunggu... Konsultan - surveyor

rumah di jakarta..

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Rahasia Sukses Tukang Sayur di Jakarta agar Mampu Bertahan di Tengah Pandemi

27 Juni 2020   03:18 Diperbarui: 27 Juni 2020   06:23 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi pedagang sayuran di Pasar Sayur Pramuka Jakarta (Dokumentasi Pribadi)

Setiap pagi pukul 10.00 pagi Pakde (biasa kami memanggilnya) selalu datang mendorong dagangannya. Sayuran segar, ikan dan daging segar juga bumbu dapur dambaan ibu-ibu di perumahan yang padat dibawanya di atas gerobak sayur. 

Sebagai idola kaum ibu-ibu, kedatangan dia selalu ditunggu dan disambut dengan ceria. Wajah pandemi Covid 19 tidak terlalu membekas di wajah Pakde. 

Dia hanya terlihat lelah, karena harus berjalan lebih jauh akibat dari palang besi yang dipasang di pintu masuk gang oleh warga yang takut terkena virus Corona. Tenaga dan waktu sekarang benar-benar lebih terkuras, "Capek muternya!", katanya suatu hari.

Jam kerjanya dimulai saat adzan subuh dikumandangkan di masjid. Sebuah tanda bahwa telah tiba saatnya beraktivitas. Setelah salat subuh di masjid, dia langsung mendorong gerobaknya ke pasar untuk julalan. Membeli sayuran, daging ayam, ikan segar untuk dijual kembali nanti. 

Biasanya saat-saat ini digunakan untuk bercengkrama dengan sesama penjual sambil mempersiapkan diri mereka ngopi dan sarapan. Jika sudah dirasa cukup bersantainya biasanya mereka langsung berangkat menjalankan tugas negara. Dagang keliling maksudnya.

Jika dulu barang dagangan sudah habis sampai pukul 11.00 siang, maka di masa pandemi ini sampai jam 15.00 sore masih tersisa cukup banyak. 

Sayuran segar yang berubah jadi kisut pun diobral murah, daging ayam dan ikan dijual dengan harga terserah pembeli. Karena bagi mereka dagangan harus habis. Lebih baik dijual murah daripada busuk dan pasti dibuang nantinya. Adaptasi memang harus dilakukan jika masih ingin bertahan berjualan.

Saat ini rata-rata mereka pulang setelah Ashar. Mereka biasanya berkumpul dalam satu kelompok dan mengontrak rumah bersama-sama. Guyub dan saling tolong menolong, dan itu yang membuat mereka kuat dan mampu bertahan hidup di Jakarta.

Di level yang lebih tinggi adalah pedagang sayuran yang menempati kios-kios di pasar. Mereka adalah pedagang tetap yang sudah stabil hidupnya. Sama seperti pedagang lainnya, ritme kehidupan mereka dimulai setelah azan subuh terdengar. Setelah salat mereka akan langsung ke pasar, menyiapkan dan mulai meladeni pelanggannya. 

Terutama si pedagang sayuran keliling, jika mereka sudah dilayani semuanya maka tinggal melayani ibu-ibu rumah tangga yang ke pasar. Semua aktivitas ini biasanya selesai pukul 10.00 pagi. Lewat jam itu biasanya tinggal santai atau pulang untuk tidur siang.

Aktivitas mereka kemudian dimulai lagi pukul 15.00 sore, jualan di Pasar Induk Kramat jati. Dari sini biasanya pulang lagi ke pasar menjelang malam, atau sore hari tergantung situasi. Barang jualan akan disimpan di kiosnya dan kemudian mereka pulang ke rumah untuk istirahat atau bercengkrama bersama keluarga.

Bagi yang belum cukup berjualan di pagi hari, maka biasanya sore harinya mereka jualan lagi. Pelangganya para karyawan yang pulang kerja, biasanya berdagang sore sambil menunggu datangnya jualan milik mereka.

Mereka biasanya titip jualan ke temannya yang berangkat ke pasar induk. Untuk pedagang sayuran keliling di sore hari yang mengejar target ibu-ibu pulang kerja. Kita bisa melihat mereka di dekat jalan layang Kampung Melayu Jakarta. 

Tahapan tahapan
Setiap hari seperti itu, jangan tanya waktu beristirahat yang mereka dapatkan, yang sudah jelas sedikit, namun setimpal dengan yang mereka dapatkan. Putaran uangnya jelas dan lancar, karena manusia harus makan. 

Pendapatan seratus dua ratus ribu per hari namun rutin itu mereka tabung tanpa libur. Dan jika sudah banyak, mereka akan investasikan. Rata-rata yang pertama mereka beli adalah rumah. 

Rumah sebagai tempat bernaung dan berlindung wujudnya tidak terlalu jadi masalah bagi mereka. Hal yang penting untuk tidur dan beristirahat. Bentuknya sederhana atau mau ambruk tidak masalah yang penting ada.

Jika tahapan ini sudah sampai, maka tabungan berikutnya akan dibelikan rumah lagi, loh kok? Pikiran mereka sederhana. Setiap orang butuh rumah untuk istirahat, dan pengalaman mereka ngontrak selama ini mengajarkan bahwa di Jakarta orang datang dan pergi setiap hari. 

Dengan mempunyai kontrakan, maka pendapatan bisa bertambah. Biasanya mereka menganggap kontrakan adalah jaminan pensiun mereka, yang akan menolong mereka ketika mereka sudah tidak sanggup memanggul kol dan daun singkong lagi.

Setelah itu pendidikan anak, biasanya para pedagang sayuran itu pendidikannya tidaklah terlalu tinggi. Mereka orang-orang yang sederhana yang tidak memerlukan liburan ke hotel atau ke pantai. 

Bagi mereka makanan dan tempat yang layak sudah cukup. Namun mereka tidak mau anak-anaknya mengalami hidup seperti mereka, sehingga pendidikan anaknya harus lebih dari mereka. Karena itu pendidikan anak-anaknya diutamakan.

Jika ini sudah mereka lalui, maka tahapan berikutnya adalah menunaikan ibadah haji. Bagi mereka ini adalah puncaknya keberhasilan mereka. Jika ini sudah mereka dapatkan, maka selesailah tugas negara mereka sebagai pedagang sayuran dan mereka mulai ambil langkah sebagai pensiunan. 

Rumah mereka mulai diperbaiki, Kos-kosan dan kontrakan mulai dipercantik. Kios di pasar tempat jualan selama ini mereka tinggalkan. Biasanya dikontrakan ke pedagang lain namun lebih sering dijual. Kenapa tidak diturunkan ke anaknya? 

Ini salah satu kesalahan mereka, mereka tidak mau anaknya merasakan penderitaan hidupnya selama berjualan sayuran. Memang ada beberapa yang mampu menurunkan ilmunya pada anaknya atau saudaranya dan kemudian melanjutkan jualan sayuran di pasar. Namun sayangnya sedikit yang mampu bertahan. 

Keuletannya tidak muncul tiba-tiba, pengalaman dagangan tidak laku, tagihan macet dan sewa kios naik harus mereka rasakan dulu. Jika semua hal itu bisa mereka lewati maka dialah penerusnya di pasar itu.

Melihat adalah belajar
Di pasar sayuran dekat Pasar Burung Pramuka. Ada satu orang yang menjadi contoh teman-temannya sesama pedagang sayur. Dari berjualan sayuran di kios kecil ukuran 1 x 1 meter dan dia berhasil menyekolahkan 5 orang anaknya. 

Sudah naik haji, sudah tidak berjualan di pasar, dan pendapatan sehari-harinya dari kontrakan dan kos-kosan. Usianya 70-an dan tetap sehat. Teman-temannya banyak yang meniru cara hidupnya, di mana setiap pendapatan yang didapat ditabung dan dibelikan rumah untuk dijadikan kontrakan. Ada beberapa yang bahkan bisa memiliki lebih dari 2 kontrakan, namun ada juga yang membeli mobil karena merasa perlu usaha baru.

Selain temannya, ada juga seseorang yang pernah mengontrak di rumahnya. Seorang pengantin baru sudah setahun kerja di Jakarta, pekerjaan dia di sebuah perusahaan swasta yang harus pergi pagi, pulang petang yang kadang-kadang lembur namun tidak dibayar sehingga membuatnya jenuh. 

Dia mempelajari sang pedagang sayur dan akhirnya berkesimpulan bahwa dia harus pulang ke kampungnya di Subang, sekolah lagi dan mulai beli rumah untuk bikin kontrakan.

Akhirnya dia pulang, jual sawah di kampungnya dan sekolah lagi ambil S2 di Bandung. Kemudian lulus dan ekonominya Alhamdulillah melesat naik. Tidak lupa kemudian beli rumah untuk tinggal, kemudian beli lagi untuk dibuat kontrakan di sekitar Cijerah Bandung. Sekarang hidupnya stabil dan dana pensiun sudah siap.

Bagaimana caranya bisa menabung?
Pedagang sayuran di pasar juga yang berjualan keliling sudah pasti hidupnya sederhana. Apalagi zaman mereka masih mulai belum ada yang namanya kuota internet dan pulsa listrik. Sehingga untuk menjadi hemat sangatlah mudah. Tapi sekarang. Godaan dunia sangat banyak dan besar. 

Gaya hedonisme selalu dipertontonkan oleh tetangga kiri dan kanan. Juga di TV dan internet, anak-anak muda main TikTok dan Istagram benar-benar membuat mereka mati kutu. 

Mimpi kaya mendadak benar-benar meracuni kehidupan mereka. Media sosial yang penuh jebakan dan hoaks akan menenggelamkan mereka yang kurang waspada.

Berbeda dengan anak-anak milenial ini, gaya hidup sang pedagang sayuran tidak berubah. Walaupun Tabungannya di koperasi cukup besar, mereka tetap sederhana. Internet paling hanya WA, itupun karena telepon dan video call. Instagram, FB dan lain-lain tidak menarik baginya. HP ya untuk komunikasi tidak lebih.

Kita harus berperilaku cerdas di tengah ketidakpastian. Bagaimana caranya? Kita bisa tiru kebiasaan para pedang sayuran itu yang ternyata adalah orang-orang yang sangat melek keuangan. Sebagai berikut di antaranya:

  1. Mereka hanya akan membeli kebutuhan pokok sebatas yang mereka perlu. Jarang menimbun atau membeli berdasarkan gengsi. Kuota internet hanya untuk WA. Jarang Youtube atau TikTok yang sangat rakus kuota.
  2. Mereka akan sangat menghindari hutang konsumsi, kartu kredit paling mereka takuti tetapi mereka juga punya lembaga keuangan yang akan membantunya di saat memerlukan hutang. Biasanya pedagang sayur ini menjadi anggota koperasi di pasar. Koperasi ini akan memberikan pinjaman dengan bunga rendah untuk uang yang dipinjamnya. Biasanya juga koperasi ini dijadikan tempat menyimpan tabungan para pedagang karena umumnya pedagang di pasar masih enggan berhubungan dengan lembaga perbankan.
  3. Mereka tidak pernah tergiur investasi bodong. Bagi mereka pilihan investasi adalah rumah, emas dan pendidikan anak. Rumah untuk pensiun, emas dijual saat krisis moneter atau pandemi seperti saat ini, pendidikan anak untuk masa depan kehidupan anaknya kelak jika sudah dewasa.
  4. Menolong orang yang memerlukan, biasanya dengan sedekah ke masjid atau pengajian. Atau juga dengan tidak menagih uang kontrakan pada mahasiswa atau karyawan yang kena PHK atau ada masalah.

Penggunaan uang mereka benar-benar jelas. Membeli jika perlu. Meminjam uang ke koperasi hanya jika ingin beli rumah atau tanah, atau lebih sering untuk diputar lagi untuk menambah modal usaha.

Hitungannya jelas, harus setor berapa sehari agar lunas pinjamannya dalam sekian tahun. Jika kurang harus bagaimana, harus ambil langkah apa, pokoknya semua serba diperhitungkan.

Ada satu kiat mereka ketika ada yang mau berhutang padanya. Biasanya saat yang mau meminjam uang datang akan ditanya kapan dikembalikan dan dicatat. Kemudian uang akan dikasihkan pada yang meminjam sesuai dengan kemampuan sang peminjam. Mereka biasanya tahu apakah uang itu bakal balik lagi atau tidak. Pengalaman mereka mengajarkan hal itu. Dan ketika menagih hutang, mereka tidak pernah kasar.

"Pak Udin, sudah tanggal 10 nih", hanya mengingatkan tanggal saja sudah terasa pedih bagi para peminjam katanya.

Pedagang sayuran dan karyawan yang pulang kampung tadi sudah tidak takut lagi dengan pandemi  yang terjadi saat ini. Tabungan mungkin berkurang  akibat pendapatan mereka yang mulai tidak lancar. Namun Investasi jangka panjang yang mereka tanam telah mampu menolong mereka dari krisis keuangan yang pasti dialami setiap orang saat ini. 

Tekanan ekonomi yang dialami setiap orang saat ini dapat mereka atasi dengan baik. Mereka sudah mandiri finansial. Kehidupannya nyaman dan dapat dinikmati terus tanpa beban masalah keuangan.

Mudah-mudahan bisa lebih banyak lagi yang mampu mengikuti langkah mereka, sehingga hidup bisa lebih mudah dan masyarakat yang sejahtera bisa tercipta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun