Menyambut hari Pahlawan 10 November tahun ini ternyata ada berita mengejutkan. Dua minggu lalu petugas irigasi sungai kalimalang menemukan sebuah patung saat melakukan pengambilan lumpur sungai. Backhoenya mengenai sebuah patung dan kemudian diangkat ke pinggir sungai di jl. Masjid Priyayi Kasemen.
Patung yang penuh lumpur itupun dibiarkan tergeletak disitu. Hitam dan buruk rupa.  Sampai beberapa pelajar sekolah yang pulang sekolah melewati jalan itu melihatnya.  Mereka kemudian membersihkannya. Patung yang mereka tidak kenal siapa itu akhirnya bersih cemerlang, kemudian patung itu dijadikan objek foto dan selfi mereka. Sampai akhirnya  patung itu jadi berita.
Ternyata patung itu adalah patung Pahlawan Banten. Pahlawan nasional yang terkenal, Sultan Ageng Tirtayasa. Patung Sultan Ageng Tirtayasa dibuat oleh Yusman, perupa dari ISI Yogyakarta tahun 1998. Dulu patung ini dipasang di pusat kota serang, Â namun tahun 2000 patung itu dibongkar atas desakan anggota dewan perwakilan rakryat banten, dengan alas an takut dan syirik. Bupatinya bernama Bunyamin.
Ada 2 patung yang dirubuhkan yaitu patung Sultan agen Tirtayasa dan patung keluarga berencana di depan exit tol Serang Timur. Â Semua media massa diam dan saat itu hp belum banyak seperti sekarang. Apalagi saat itu sedang ramai-ramainya bom natal yang setelah diselidiki ternyata dilakukan oleh Imam samudera pada gereja Santa Anna dan HKBP Jakarta.
Dan fakta terkuak juga ternyata Imam Samudera bertempat tinggalnya tidak jauh dari patung-patung itu berdiri. Kok bisa? Mungkin hanya kebetulan. Â Yang jelas, penghancuran patung di Indonesia sudah terlalu sering. Agama islam dijadikan pembenaran atas penghancuran patung-patung itu. Â Kelompok-kelompok garis keras selalu melakukan perbuatan intoleran. Dan mereka seakan panas jika melihat patung.
Banten adalah wilayah dengan penduduk yang beragama mayoritas islam.  Cukup luas wilayahnya, dari laut sampai gunung  tidak bisa kita jelajahi dalam 1 hari. Dataran rendahnya berisi sawah yang luas. Sepanjang mata memandang kita hanya akan melihat sawah dan sawah.
Jika  kita ingin melihat penduduk asli banten, warga banten yang berbahasa jawa datang saja ke Kasemen, Tanara dan Tirtaysa. Wong kasemen, wong tanara mereka mengatakan dirinya. Mereka dalam bercakap-cakap  umumnya menggunakan bahasa jawa dialek banten tentunya.
Wajah-wajah suram para penghuni dan warga Kasemen lama  bisa kita jumpai dengan mudah.  Di kota Banten lama dengan semua peninggalan yang lusuh dan tua, rasanya waktu seakan berhenti disini.  Pembangunan gudung-gedung tinggi tidak menyentuh wilayah sini, karena  lebih berpusat di Kota Serang, di selatan.
Menurut sejarah Sultan Ageng Tirtayasa atau pangeran Surya adalah sultan banten ke-6. Dia menjadi sultan saat umur 20 tahun. Nama dia diambil saat mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa., Sultan Ageng Tirtayasa berperang melawan anaknya Sultan Haji.Â
Sultan Haji mendapat bantuan dari Belanda di Batavia sedangkan Sultan ageng mendapat bantuan Inggris , yang berkantor di kota Banten. Dalam perang saudara ini beliau kalah dan ditahan di Batavia sampai meninggal. Mungkin sudah nasibnya, saat hidup beliau malah berperang melawan puteranya yaitu Sultan Haji. Setelah mati pun patungnya dibuang ke sungai. Â Â
Mungkin dendam  keturunan Sultan haji masih ada  sehingga tega membuang patungnya ke sungai. Dimana-mana pemenang yang menentukan segalanya.  Pendirian patungnya akan terasa menyakitkan baginya sehingga dengan alasan agama, patung itu disingkirkan.
Mungkin.
Pahlawan bagimu adalah musuh bagiku. semua tergantung dari sudut pandang masing-masing. namun yang jelas Sultan Ageng Tirtayasa sudah diangkat sebagai pahlawan Nasional. Semoga warga Banten mau menghargai pahlawannya. Mau menghormati orang yang menghargai pahlawannya. Mau menjadi bangsa Indonesia. Semoga.
Sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H