Kalau bicara tentang pengeluaran di bulan ramadhan saya hitung hitung sangat hemat. Makan Cuma 2 kali sehari. Itupun hanya pas buka dan sahur. Biaya dan perut untuk masuknya makanan pun tidak banyak. Malah bagi mereka yang sudah terbiasa berpuasa malah akan makan sedikit untuk buka dan sahurnya. Entah karena perutnya sudah terbiasa puasa ataupun waktu untuk makan yang sangat terbatas.
Namun kita sekarang hidup dalam gaya dan adat yang berbeda, dimana harga sebuah gengsi lebih utama dari kebutuhan kita. Psikologinya saat lapar kita akan bernafsu dengan segala macam makanan yang ada di sepanjang jalan, bawaanya pengen jajan terus. Â Entah itu kolak pisang, bakwan jagung bahkan pizza hut. Setiap melihat es teller niat untuk buka dengan yang segar menggebu.Â
Sehingga saat kita pulang ke rumah sehabis kerja maka rasanya tidak berarti jika tidak membeli semua yang terhidang di sepanjang jalan. Harganya sudah pasti lebih mahal dari pada buatan sendiri. Â Lapar mata benar-benar menyiksa.. dan akibatnya kita menjadi boros. Padahal pass buka puasa makan yang dimakan paling hanya seteguk air dan sepotong lontong oncom. Setelah masuk ke perut semua napsu dan rasa lapar dijamin hilang pergi entah kemana.
Di bulan puasa juga biasanya kita mengapat undangan berbuka puasa bersama. Biasanya yang punya hajat adalah bos-bos kita. Sehingga artinya biaya buka puasa berasal dari dompetnya. Sangat jarang anak buah mentraktir bosnya. Malu juga rasanya seorang bos di traktir anak buahnya. Jikapun berbuka puasa bersama rekan pasti biasanya bs-bs.. bayar sendiri-sendiri. Yang mahal biasanya Cuma ongkos transport kita berangkat, tapi inipun saat ini tidak terlalu menguras kantong kita. Grabcar dan gojek menawarkan kemudahan dan kemurahan.
Apapun itu ternyata pengeluaran kita selama bulan ramadhan benar-benar hemat. Tetapi kok banyak yang bilang pengeluaran di bualan ini lebih besar. Dimana besarnya? Setelah dipikir-pikir,  yang bikin pengeluaran ramadhan lebih besar daripada biasa adalah harga  gengsi kita .
Kapan dan dimana itu terjadi? Â Ternyata saat akan menghadapi Lebaran. Saat memasuki idul fitri. Saat setan di dalam diri kita mulai dibuka ikatannya.
 Saat puasa kita mampu mengikat setan nafsu kita sehingga kita benar-benar hemat, mengeluarkan apa yang kita perlu keluarkan. Makan apa yang perlu kita makan. Namun saat lebaran, saat setan didalam diri kita dilepas.. kita menjadi boros dan menghambur-hamburkan uang dengan alas an karena tradisi dan gengsi.
Berapapun uang yang ada disaku kita mungkin akan disebar sepanjang jalan. Â Untuk beli ini, untuk beli itu. Dan itulah yang sebenar-benarnya kita. Tanpa pikir panjang, tanpa rencana yang besar dan lebih baik. Apalagi jika liburan idul fitri dibuat panjang. Semakin tandas uang yang ada disaku kita.
Kita malu jika berpakaian sederhana. Kita malu jika memberi hadiah ke sanak keluarga yang murah murah. Kita malu jika tidak bisa memberikan thr kepada asisten kita, tetangga kita, keponakan-keponakan kita, orang tua kita. Harga diri kita seakan dipertaruhkan di hari --hari itu.
Ada seseorang yang saya lupa namanya berkata.. berapapun jumlah uang orang miskin akhirnya hanya akan habis digunakan untuk konsumsi. Untuk gengsi dan status di istagram dan facebook. Sedangkan uang yang ada pada orang kaya akan digunakan untuk investasi dan investasi. Anehnya orang-orang kaya itu ternyata sangat hobi bersedekah dan bertambah terus kekayaannya. Apakah sedekah termasuk investasi.. entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H