Mohon tunggu...
Arief Budiawan Majid
Arief Budiawan Majid Mohon Tunggu... -

Anak pertama dari dua bersaudara, lahir pada masa keemasan Orde Baru, 4 Desember 1990 tepat pada hari dimana dunia mendukung perlawanan Palestina terhadap imigran Yahudi, Hari dimana berlangsungnya konferensi Intifadhah di kota Teheran

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Anakku Sayang

1 Februari 2014   23:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:14 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lihatlah dirinya yang gagah
Berdasi dan berbalut busana rapi
Datang dengan mobil nan mewah
Langkahnya tegap tegas dan berani
Mataku tak sempurna memandangnya
Tapi telingaku masih mengenalnya
Dua tahun aku terpisah darinya
Dijenguk anak ku
Seperti saat fajar menyambut
Bunga merekah diatas bukit nan indah
Dan layaknya sampan yang kembali ke dermaga kecilnya
Kini aku telah rapuh,
Masa juangku telah penuh
Ketika dulu tak henti memeras peluh
Bermodal gerobak tua
aku jual bubur di sudut kota
sempat dulu asa ini hilang
ketika barisan rapi orang datang menggusur
dan gerobak tuaku hancur
anak ku sayang
aku tak pernah mengharapkanmu ada sebelumnya
tapi bapak mu dulu, menodaiku saat aku belia
dan saat kamu masih balita, dia pergi entah kemana
tapi, melihatmu tumbuh, adalah hal terindah dalam masaku
betapa aku bahagia memilikimu
hal terberat bagi ibu, adalah ketika merelakanmu pergi
saat usiamu remaja, kau pilih merantau, mengubah nasib
ke negeri seberang mencari uang
dan hembusan angin membuyarkan lamunanku
kini dirimu berlimpahkan harta,
tapi kenapa kau lupakan ibu?
BODOH !
aku tak butuh hartamu!!
Aku tak butuh hartamu  yang kau kirimkan tiap bulan lewat orang suruhanmu
aku butuh hadirmu nak, sekedar menjenguk ku
bahkan, aku ingin terus bersamamu nak
bukan terdiam sendiri di panti jompo ini
ibu jenuh disini nak
bersahabat dengan dinding kamar
lelah menghitung detik berlalu
menunggumu
dan ibu ingin suapan nasi darimu
bukan dari perawat berbedak tebal itu
rasa marah menyelinap mengikuti pertemuan ini
mengapa kau tempatkan ibu disini
tapi aku sadar
aku kini renta
lumpuh tak berdaya
dan ketika langkahmu semakin dekat
air mata tak kuasa bertahan di kelopak mataku
aku terisak dalam batin terharu melihat rupa mu
inilah anak ku?
Anak ku sayang, bawa ibu pulang.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun