" Seseorang Boleh Pandai Dan Cerdas Setinggi Langit, Selagi Tidak Membaca Dan Menulis Ia Akan Hilang Dari Sejarah Dan Masyarakat, Karna Membaca Dan Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian " ( Pramoedya Ananta Toer )
Semangat mempertahankan kemerdekaan yang dibingkai dalam peringatan hari pahlawan sejatinya dapat dimaknai sebagai modal sejarah yang kuat untuk terus berbenah memperbaiki Negeri ini. Nilai-nilai kepahlawanan harus tetap hidup untuk mendorong tercapainya cita-cita mulia Indonesia, diantaranya adalah kemerdekaan, kedaulatan, dan kemandirian yang hakiki. Dalam berbagai diskursus sering disampaikan bahwa kemerdekaan, kedaulatan, dan kemandirian suatu Bangsa dapat sepenuhnya tercapai jika Bangsa itu mampu mempertahankan pandangan hidupnya (the way of life). Jika sebuah Negara diibaratkan sebagai kapal, maka pandangan hidup inilah yang kemudian akan sangat menentukan bagaimana cara dan kemana arah Bangsa tersebut akan berlayar menuju tujuan. Sukses atau tidaknya kapal ini mencapai tujuan juga tergantung pada kapasitas leadership dan mental nahkoda yang dalam hal ini adalah para pemimpin Negara.
Sayangnya, realitas yang dihadapkan kepada anak Bangsa hingga hari ini justru menunjukkan kebalikannya, penuh keprihatinan. Kemerdekaan, kedaulatan, dan kemandirian secara integral pada jati diri Indonesia nyatanya masih bersifat semu, hanya diatas kertas, belum sepenuhnya diraih. Penyebeb diantaranya adalah praktek-praktek kehidupan bernegara yang semakin menjauhi pandangan hidup Bangsa ini. Demikian juga krisis kepemimpinan yang terjadi turut berkontribusi memperkeruh tatanan sendi-sendi kehidupan berbangsa. Boleh jadi, Indonesia saat ini diibaratkan sebagai Negara yang hidup segan, mati pun tak mau.
Terciptanya Pandangan Hidup (The Way of Life) Bangsa dan Sejarah Panjang Konstitusi Indonesia
Sejarah panjang Indonesia telah membentuk pandangan hidup Bangsa ini melalui sebuah ideologi yang dicetuskan oleh para founding father khususnya era generasi Soekarno. Dengan berbagai kemajemukan Indonesia termasuk ideologi-ideologi politik yang berkembang saat itu, Soekarno telah menyatukannya melalui ideologi Pancasila. Sebuah pandangan hidup independen yang tidak terpengaruh oleh poros manapun untuk menjadi landasan atas perlawanan terhadap imprealisme dan neo-liberalisme. Bisa juga tidak diposisikan dalam hal melawan, tetapi juga dapat ditempatkan dalam bentuk pertahanan terhadap gempuran globalisasi untuk menjawab tantangan jaman. Sesuai dengan namanya, ideologi ini terdiri atas lima sila yang selanjutnya diterjemahkan dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi Negara yang juga sekaligus sebagai panduan legal-formal operasi organ-organ kekuasaan Negara.
Sepanjang sejarah Indonesia, tiga kali pergantian konstitusi mewarnai perjalanan hidup Indonesia di era sebelum reformasi. UUD 1945 yang telah berlaku saat itu, harus digantikan oleh UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) akibat dari sebuah bentuk kompromi terhadap Belanda agar mau mengakui kedaulatan Indonesia. Indonesia dipaksa untuk menjadi Negara federal dengan maksud memecah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kondisi ini tidak berlangsung lama karena berbagai tokoh-tokoh politik melakukan perlawanan. Alhasil, negara-negara bagian menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia dan mengakhiri sistem RIS sekaligus konstitusinya.
Untuk segera mengisi kekosongan konstitusi, maka diberlakukan UUD Sementara (UUDS) 1950. Dikatakan sementara karena terdapat amanat dalam pasal 134 untuk segera menyusun UUD RI yang dapat menggantikan UUDS oleh Konstituante bersama Pemerintah. Setelah terbentuk anggota Konstituante, nyatanya perumusan dasar Negara mengalami kebuntuan dan berbuntut pada perdebatan panjang. Melihat hal itu, Soekarno membuat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan pembubaran Konstituante dan mengembalikan konstitusi kepada UUD 1945. Aroma manipulasi konstitusi untuk kepentingan kekuasaan tercium kuat. Dalam UUD 1945 ini tidak ada aturan mengenai masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berlangsung hingga masa kepemimpinan Soeharto. Alhasil, transisi kepemimpinan Soekarno ke Soeharto lebih dipengaruhi faktor politis yang bermula dari Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1965. Soeharto yang kemudian bertekad untuk mewujudkan Demokrasi Pancasila semakin memperkuat upaya manipulasi UUD 1945 melalui MPR. Kala itu, MPR mengeluarkan ketetapan MPR No. I/MPR/1978 yang isininya berupa kebulatan tekad anggota majelis yang akan mempertahankan UUD 1945. Aturan inilah yang kemudian melanggengkan Soeharto sebagai Presiden seumur hidup dan menggeser Negeri ini ke arah otoritarian-sentralistik.
Tercabiknya Pancasila Akibat Konstitusi ‘Gado-Gado’
Kejenuhan rakyat atas konsep otoritarian-sentralistik di bawah kepemimpinan Soeharto, menjamurnya praktek-praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), serta krisis moneter pada tahun 1998 telah membakar semangat pembaharuan di Indonesia yang ditandai dengan dilakukannya reformasi. Penggulingan Soeharto dari kursi kekuasaan menambah daftar sejarah baru di Indonesia dalam transformasi demokratisasi. Salah satu agenda yang menjadi amanat reformasi adalah amandemen 1945. Pada prinsipnya semangat amandemen yang dibentuk bertujuan untuk memperbaiki kelemahan UUD 1945 yang berpotensi dimanfaatkan dan dimanipulasi oleh para penguasa. Dalam hal ini, Indonesia berpeluang untuk menanamkan konsep demokrasi dan kedaulatan yang diinginkan oleh rakyat. Namun siapa sangka, justru amandemen inilah yang menyebabkan runtuhnya pandangan hidup Bangsa, menjauhkan kehidupan bernegara dan berbangsa dari Pancasila itu sendiri.
UUD 1945 mengalami empat kali amandemen mulai dari tahun 1999 hingga tahun 2002. Perubahan yang dilakukan secara menyeluruh dan hanya menyisakan 6 pasal (Pasal 4, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 22, dan Pasal 25) yang sesuai dengan bentuk aslinya. Entah akibat ketidakmampuan menerjemahkan falsafah Pancasila atau memang terdapat unsur kesengajaan untuk menyisipkan ideologi lain ke dalam UUD 1945 hasil amandemen ini, menyebabkan munculnya berbagai kritik bahwa UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi sesuai dengan jiwa UUD 1945 yang asli.
Berbagai permasalahan akibat amandemen UUD 1945 ini bisa dirasakan mulai dari ketidaktegasan konsep ketatanegaraan (menggunakan konsep Negara federal atau Negara kesatuan) yang ditunjukkan melalui adanya desentralisasi dan DPD hingga konsep ekonomi yang disinyalir tersisipi oleh ekonomi-kapitalis. Dalam Pasal 33 terdapat penambahan satu ayat baru (ayat 4) terkait teknis pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi yang memiliki paham persaingan pasar bebas. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep ekonomi kerakyatan yang mengusung semangat gotong royong. Lebih lanjut dipertegas dengan dihapuskannya seluruh penjelasan UUD 1945 pada Sidang Tahunan (ST)-MPR 2002. Alasan yang digunakan tidak masuk akal yakni tidak adanya konstitusi di Negara lain yang menggunakan penjelasan. Akibat penghapusan penjelasan ini, koperasi dan usaha kecil yang berdasarkan asas kekeluargaan tidak merupakan keharusan untuk dikembangkan di Indonesia. Konsep inilah yang menjadikan sistem ekonomi di Indonesia semakin menjauh dengan sistem ekonomi Pancasila. Penyisipan paham pasar bebas inilah pula yang menyebabkan terjadinya eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia oleh para kapital asing dan semakin diperkuat adanya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) yang telah diperbarui untuk ‘dirapikan’.
Jika sedari awal konstitusi dasarnya saja sudah tambal-sulam, maka bisa dipastikan produk hukum dibawahnya (seperti Undang-Undang, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dsb) menghasilkan aturan-aturan yang menyimpang dari falsafah Pancasila. Perundang-undangan yang menjadi kesatuan konstitusi yang sudah tersisipi berbagai ideologi atau disebut dengan konstitusi ‘gado-gado’ telah menyebabkan tercabiknya Pancasila dan berimplikasi semakin jauhnya kemerdekaan, kedaulatan, dan kemandirian secara hakiki atau bahkan semakin menguatkan cengkraman asing dalam bentuk yang lain, bukan penjajahan secara fisik.
Reformasi Moral Kepemimpinan Indonesia : Membangkitkan Semangat Para Pahlawan Dalam Diri Untuk Menyelamatkan Indonesia
Sepelik apapun permasalahan Bangsa, sejatinya kebangkitan atau justru kemerosotan sebuah peradaban Bangsa itu sendiri akan ditentukan oleh para pemimpinnya. Para pemimpin yang dimaksud disini bukan hanya seorang Presiden, melainkan seluruh elemen perangkat Negara yang bertanggung jawab untuk mengarahkan, menggerakkan, dan mengendalikan Negara menuju tujuannya. Lalu pertanyaan selanjutnya, pemimpin seperti apa yang mampu membawa kebangkitan Indonesia?
Dalam falsafah Pancasila sendiri, kepemimpinan nasional terkandung dalam nilai-nilai sila ke-4. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Indonesia harus dipimpin oleh para pemimpin yang memiliki hikmat atau hikmah. Arti dari hikmah itu sendiri merupakan kebijaksanaan atau kearifan yang diberikan oleh Tuhan. Maka pemimpin yang memiliki hikmah adalah mereka yang dalam setiap perkataan, perbuatan, dan tindakannya membawa kebaikan. Orientasinya adalah untuk perbaikan Negara dan kepentingan publik, bukan atas dasar kepentingan individu dan golongan yang memperdaya rakyat. Keteladanannya pondasi kepercayaan dan menginspirasi bagi rakyat untuk juga berubah ke arah yang lebih baik. Secara simultan, para pemimpin dengan rakyatnya akan menciptakan sinergisitas untuk merubah nasib Bangsanya
Para pendahulu atau mereka yang disebut sebagai pahlawan Indonesia, secara gamblang telah mencontohkan bagaimana seharusnya bersikap sebagai pemimpin. Pemberani-bukan bermental inlander, tulus, rela berkorban, tak kenal pamrih untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan dekat dengan Tuhannya merupakan semangat para pahlawan yang harus diinternalisasi oleh seluruh segenap Bangsa guna melakukan reformasi moral. Hal ini penting dan fundamental guna mengatasi krisis kepemimpinan nasional yang melanda Negeri ini.
Kesimpulan
Agar Indonesia tidak semakin jauh tersesat dalam pusaran globalisasi, sekaranglah saat yang tepat ‘memutar arah’ kembali kepada ideologi Pancasila sebagai pandangan hidup Bangsa. UUD 1945 harus ditempatkan sebagai konstitusi yang tak lepas dari falsafah Pancasila. Akan tetapi perlu untuk digaris bawahi bahwa perubahan besar tersebut hanya dapat dilakukan oleh para pemimpin yang memiliki hikmah. Adalah mereka para pemimpin yang mampu membangkitkan semangat para pahlawan Indonesia dalam diri yang membawa nilai perjuangan dan cahaya perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H