HAMPIR sebagian besar cerita adalah tentang plot. Di sana ada konflik, diperankan oleh tokoh antagonis-protagonis, dan kita pun menegang—sampai akhir.
Di sini saya hanya akan menyinggung mengenai tokoh dan hubungannya dengan tampilan karakter. Karakter di sini adalah kepribadian atau sejumlah atribut yang bisa kita amati dari satu individu, yang mendukung plot dan alur konflik.
Tokoh-tokoh dalam cerita biasanya punya sifat dan karakter yang umum, yang dalam bayangan kita “sudah sepantasnya”. Seorang nahkoda kapal berpengalaman, sebagai contoh, adalah seorang nahkoda yang sabar dan tidak takut oleh angin dan gelombang. Dalam cerita pendek Tamasya dengan Perahu Bugis yang dikarang Zuber Usman, redaktur Balai Pustaka, dan muncul di Mimbar Indonesia 15 Mei 1948, saat perahu yang ditumpangi tokoh Aku “belum berapa mendapat angin” yang mampu menggerakkan layar, sehingga berhenti seminggu lamanya di tengah laut, sang nahkoda memunculkan sifatnya yang “sudah biasa” mengalami situasi seperti itu untuk menunjukkan semua akan baik-baik saja. Saat muncul “ombak-ombak yang serumah-rumah tingginya” di Selat Makassar, sang nahkoda berseru agar penumpangnya itu tidak takut, karena “ini baru angin baik”, belum sampai mematahkan tiang layar.
Nampak dari situ penggambaran ketenangan dan kesabaran yang secara rasional perlu ditunjukkan pengarang dari seorang pemimpin kapal pada penumpangnya agar tidak mudah panik dan berpikir yang tidak-tidak—penggambaran penumpang yang sebenarnya juga cocok, apalagi untuk yang baru pertama kali berlayar (biasanya ditambah adegan muntah-muntah untuk menunjukkan mabuk laut).
Dalam novel atau karangan-karangan yang ditulis panjang, saya kira, untuk membuatnya menjadi antagonis-protagonis, penggambaran karakter tokoh bukan sekedar harus kuat, melainkan melawan arus. Dengan begitu, kalau kita menghendaki cerita dengan memakai tokoh tukang becak, jangan tukang becak sekedarnya. Yang punya nafsu begitu besar buat cari untung secepatnya demi memenuhi hasrat merokok. Cerita yang menarik tentang tukang becak adalah ketika ia bertindak sangat jujur, misalnya, yaitu yang pada suatu hari mengembalikan koper berisi beratus-ratus dollar milik bule yang tertinggal di jok kepada yang berhak (bagaimana seorang bule kaya bisa memilih naik becak, itu urusan lain). Atau kita bisa berkisah tentang guru yang kejam, yang suka menyetrap murid-muridnya melebihi batas, ketimbang menampilkan guru yang rapih dan sopan seperti pengetahuan dan kepantasan pada umumnya. Cerita guru dengan karakter kejam semacam itu akan menjadi cerita yang memunculkan konflik.
Tentu bisa jadi ada protes: tukang becak terus-menerus dideskripsikan sebagai pemalas, suka merokok, sampai tak peduli istri-anak. Protes seperti itu pernah terjadi, saat tukang becak diceritakan menjadi pemerkosa dalam film Bernafas dalam Lumpur. Tukang becak lantas menjadi simbol yang jelek-jelek, seperti yang dikatakan Jakob Sumardjo dalam Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen terbitan Pustaka Pelajar. Begitu juga kira-kira dengan guru, yang boleh jadi tak menyukai penggambaran guru yang kejam dan amoral yang kita bikin dalam suatu karangan.
Kecuali bila kita ingin menulis cerita yang pendek (misalnya 1000-2000 kata), sebenarnya kita perlu agak sedikit rumit memikirkan karakter tokoh. Dalam cerita yang pendek, karakter tak perlu berkembang seperti novel. Kita bisa mengetahui sosok itu lelaki hanya dengan mengetahui bentuk rambut, misalnya. Dalam novel atau cerita panjang berbeda. Tiap-tiap saya baca cerita sepanjang novelet, misalnya, yang menyenangkan bagi saya adalah bagaimana seseorang bisa bertahan hidup dengan karakter yang dimilikinya. Kalau ada karakter baik dan buruk dalam diri seorang tokoh, dengan yang mana dan dengan jalan bagaimana ia bisa hidup dan bertahan.
Kecenderungan semacam itu kerap saya amati dalam karakter tokoh novel Dewi Lestari. Mpret alias Toni, yang muncul dalam Petir, digambarkan seperti anak gemar nongkrong yang tak tentu waktu tidurnya: disebutkan bahwa kausnya kusut, badannya kurus, dan mukanya selalu seperti bangun tidur. Mata Mpret bulat dan cerdas, bicaranya tanpa basa-basi, dan suka ketawa. Dengan itu ia hidup: punya banyak teman, dan bahagia dengan seluruh daya kemampuannya sebagai ahli yang berhubungan dengan teknologi digital. Baginya bahagia adalah melihat teman-temannya maju dan rajin. Dewi Lestari membuat karakter Mpret, yang bisa begitu gampang mengambil secara ilegal receh demi receh dari rekening-rekening orang kaya tanpa ketahuan yang berwajib (sehingga sekilas membuat Elektra berpikir dia adalah penjahat kelas kakap), tidak mata duitan, tidak berpikir uang adalah segalanya. Watak yang khas itu, yang lain dari gambaran umum, yang menjadi menarik di mata pembaca, minimal saya. Karena orang yang mudah mengumpulkan uang biasanya adalah orang yang rakus, bergemilang mewah, atau pelit—tuduhan terakhir telah ditolak sendiri oleh Mpret di halaman 137 pada buku Petir sampul edisi pertama.
Sir Arthur Conan Doyle juga membuat karakter eksentrik dalam diri Sherlock Holmes. Pada cerita pertama Penelusuran Benang Merah(saya baca terbitan PT Gramedia Pustaka Utama), lewat tokoh Stamford, kenalan Watson, Sherlock Holmes disebut “memiliki gagasan aneh-aneh”, “menaruh perhatian besar terhadap beberapa cabang sains”, dan mendalami anatomi dan ahli kimia meski bukan mahasiwa kedokteran atau semacamnya yang menempuh “pendidikan medis secara sistematis”. Di mata Stamford, tindakan Sherlock Holmes yang suatu hari memukuli mayat untuk tahu efek memar adalah aneh. Dari situ bisa kita lihat, bagaimana korelasi kesan Stamford terhadap rasa ingin tahu Sherlock Holmes yang besar, yang dibutuhkan dalam profesinya sebagai detektif.
Sir Arthur membuat Sherlock menjadi tokoh tak terlupakan saat ia bukan hanya menghisap tembakau yang keras seperti layaknya pria gentlemen zaman dulu: Sherlock Holmes mahir memainkan biola, seperti lagu Liedre dari Mendelssohn. Tangannya sering kelihatan ternoda tinta atau bahan kimia, tapi sentuhannya selalu halus saat memainkan biola kesayangannya. Perilakunya juga bukan perilaku manusia atau detektif kebanyakan: kadang-kadang detektif kurus dan jangkung itu berbaring diam di sofa apartemen di Baker Street No. 221B yang disewanya bersama Watson. Dengan pandangan kosong seperti kecanduan narkotik tapi bukan, ia sanggup tak beranjak dari pagi sampai malam.
Dalam pandangan saya ada lagi. Holmes yang pandai terhadap detail-detail yang tengah diselidiknya rupanya tidak mengerti karya sastra kontemporer, filosofi, atau politik sama sekali. Juga teori Copernicus dan komposisi tata surya. Dalam percakapannya dengan Watson, Sir Arthur telah menunjukkan Holmes tidak menganggap semua itu penting karena memori yang masuk ke otaknya mesti dipilah-pilah. Ketika Watson bertanya apakah tata surya tidak penting bagi sang detektif, Holmes cuma menjawab: “Kalaupun bumi bergerak mengelilingi bulan, itu tidak akan mempengaruhi pekerjaanku”.
Menulis ini semua, suatu hari, saya punya niat membangun tokoh muda dengan atribut tertentu dan unik—di pikiran saya terbayang nama Henk Ngantung, dengan profesinya sebagai pelukis sketsa peristiwa-peristiwa sejarah di masa Soekarno. Mungkin nantinya sekalian ada gambar tangan peristiwa bersejarah dalam buku cerita itu, seperti sketsa-sketsa sederhana dalam halaman-halaman Don Quixote karangan Goenawan Mohamad atau satu-dua gambar dalam 9 dalam Nadira karangan Leila S. Chudori. Mudah-mudahan terlaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H