Bagi orang yang mengetahui sirah Nabi, celaan-celaan itu sebenarnya tidak begitu, dan tidak perlu, mengagetkan. Di zaman Nabi suara-suara semacam itu sudah terdengar ─dan mungkin lebih keras, lebih jelas, disertai lemparan batu dan kotoran manusia. Suara-suara itu, suara yang mengingkari kenabian, sempat membuat sedih sang Nabi. Maka dalam surat Yasin, surat yang dijuluki jantung Al-Qur’an, sampai-sampai turun ayat dengan sumpah yang amat kuat dari Tuhan untuk meneguhkan sang Nabi: Muhammad adalah “sebagian dari salah satu rasul-rasul-Nya”.
Apa yang dikatakan para orientalis Barat dari masa ke masa memang mirip-mirip. Pada dasarnya, mereka mengingkari Muhammad dan Quran. Hamid Fahmi Zarkasyi menyebut dalam Misykat—sebuah buku yang sangat cerdas dan tajam melihat westernisasi dan liberalisasi—bahwa serangan terhadap Islam terjadi karena agama-agama yang pemeluknya ramai di Barat itu merasa terancam dengan ayat-ayat Qur’an. Dalam al-Maidah bisa kita temukan: “telah kafir orang-orang yang berkata Allah ialah al-Masih putra Maryam” dan “orang-orang yang mengatakan bahwasannya Allah salah satu dari tiga”. Surat yang lain, an-Nisa ayat 157, menceritakan bahwa Isa yang dibunuh dan disalib (yang kemudian dipercaya sebagai Tuhan Jesus) adalah “orang yang diserupakan dengan Isa”.
Tapi apakah hanya Muhammad satu-satunya Nabi yang dihina? Rupanya tidak. Isa al-Masih, atau Jesus, tercatat cukup sering dilecehkan di Barat. Pada tahun 2004, misalnya, sebuah media internet di Amerika memuat kartun yang menggambarkan Jesus disalib memakai celana pendek dan piyama setan. Judulnya: Jesus Dress Up. Pada tahun 2008 di Linkoping, Swedia, muncul poster di depan umum berjudul Ounx against Christ. Gambarannya menyakitkan bagi Kristen yang taat: seekor setan memberaki Jesus di tiang salib. Pimpinan redaksi koran yang memuat poster itu bertubi-tubi menerima ancaman hukuman mati.
Apa yang terjadi sebenarnya?
Alexander Pushkin, sastrawan Rusia abad 19 yang berasal dari keluarga kaum ningrat, pernah menyebut orang-orang yang menghina orang-orang luhur dengan “berwatak rendah”. Tapi benarkah cuma itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H