Dua pengalaman itu membuat saya berpikir ulang tentang kegagahan di luar militer: pada orang-orang yang terlatih berkuda di berbagai medan dan para pelaut yang ingin tahu ke mana angin bertiup. Sebabnya simpel: cukup sulit untuk mahir mengendalikan kuda dan mengerti ke mana angin bertiup.
Tapi toh pekerjaan yang menawarkan keberanian dan kegagahan itu tidak membuat mereka serta merta jadi kaya. Joki kuda itu, misalnya, seorang musafir yang hidupnya masih sederhana. Ia bercerita bagaimana hidupnya dulu di Yogyakarta tak menyenangkan, sering berhutang, dan minim makan enak—dan sekarang lebih mending. Para pelaut itu setali tiga uang.
Di dua tempat cerita saya itu tak ada bilbor. Tak ada papan iklan besar. Tak ada bising kota. Hidup-hidup orang gagah itu hanya berkisar pertanyaan: besok kami bisa makan apa, lusa kami bisa berhutang siapa. Dalam pikiran mereka hidup adalah tiga kata sederhana: jual, beli, cemas. Jarak-jarak antar kata itu tipis: mungkin satu senti atau satu mili.
Â
[1] Terinspirasi oleh puisi Origami karangan Surachman. Dalam Surachman, Seribu Kekupu (Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2012), hal. 59.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H