Sudah hampir setahun sejak Fitri mulai berjualan online lewat toko kecilnya di Facebook. Bermodalkan seorang kawan di industri rumahan, Fitri menjual berbagai aksesoris untuk dipakai sehari-hari. Contohnya seperti topi, sarung tangan, dan ikat pinggang.
Pada tiga bulan pertama, Fitri umumnya hanya mendapati 2-4 pesanan dalam sepekan. Namun dalam tiga bulan terakhir, angka ini melonjak hingga 30-60 pesanan setiap pekannya. Hal ini dikarenakan orang-orang memburu produk-produk masker kain akibat pandemi COVID-19.
Tak ayal, Fitri pun kewalahan. Proses penyiapan paket dan mengirim ke ekspedisi memang dapat dilakukan dalam satu waktu. Tetapi proses membalas setiap pesan dan komentar yang masuk dari calon customer rupanya benar-benar menghabiskan waktu.
Belum lagi sikap yang unik dari tiap-tiap calon customer. Ada yang malas membaca deskripsi produk, ada yang keukeuh menawar harga, bahkan ada juga yang memaksa ingin barangnya dikirimkan segera.
Melayani para pembeli dan calon pembeli tersebut, nyatanya memang bukan pekerjaan mudah. Mereka memiliki latar belakang sosial dan pendidikan yang berbeda-beda. Wajar saja kalau sikap yang mereka tunjukkan dalam berinteraksi juga berbeda satu dengan yang lainnya.
Lama kelamaan, Fitri tak sanggup lagi melayani seluruh pesanan yang masuk. Jumlahnya selalu mentok pada angka 30-35 pesanan per pekan. Lebih dari itu, Fitri tidak bisa lagi memproses pesanan. Padahal stok barang benar-benar tercukupi hingga 20 pesanan per hari.
Kondisi yang dialami Fitri ini dikenal dengan istilah Productivity Trap alias Jebakan Produktivitas. Kondisi ini banyak menghinggapi para pekerja dan pengusaha, baik di dalam maupun di luar korporasi. Jebakan ini juga bisa menjerat Anda, seperti Fitri.
Productivity Trap: Memahami Arti, Penyebab, dan Gejalanya
Productivity Trap adalah suatu kondisi dimana seseorang atau sebuah organisasi terjebak dalam produktivitas yang tidak sesuai dengan kapasitasnya. Baik itu di bawah kapasitas (Low-Productivity Trap) maupun di atas kapasitas (High-Productivity Trap).
Jebakan ini misalnya dapat diukur dari jumlah pekerjaan yang berhasil diselesaikan dalam satu periode atau besar kapasitas yang termanfaatkan dari keseluruhan kapasitas yang dimiliki. Ia dapat juga diukur dengan membandingkan kemampuan diri dengan orang lain yang kurang lebih memiliki kapasitas hampir sama.
Sebagai contoh, perusahaan A dan B memiliki kapasitas produksi yang sama yakni 1.000 barang per hari. Perusahaan A dapat menggunakannya secara utuh, namun perusahaan B hanya mampu menggunakan separuhnya. Inilah yang disebut sebagai Low-Productivity Trap.