Hari Perempuan Internasional (International Women's Day). Berbagai poster ucapan berseliweran di lini masa media sosial dengan substansi beragam.
Tanggal 8 Maret kembali diperingati sebagaiAda yang mengajak untuk lebih menghargai kaum puan, mengapresiasi para wanita pelestari budaya, ada pula yang mengampanyekan kembali tagar #bodypositivity yang beberapa hari lalu diangkat oleh Tara Basro.
Peringatan ini memang baru mendapat restu dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1977. Namun perayaannya sendiri sudah lebih dulu digelar sejak tahun 1917 di Uni Soviet.
Alasan utama yang melatari peringatan ini masih menjadi perdebatan di kalangan para ilmuwan. Tetapi sejarah mencatat, para pekerja wanita selalu berada di garis terdepan dalam menyuarakan aspirasinya. Mereka secara rutin turun ke jalan setiap masuk bulan Maret tanggal kedelapan.
Karenanya, peringatan Hari Perempuan Internasional di tahun 2020 ini hendaknya kita jadikan momen untuk menyambung estafet perjuangan para pekerja wanita itu dengan hal yang kurang lebih sama. Kita mulai dari membedah RUU 'sapu jagat' Omnibus Law Cipta Kerja.
Draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang dirilis oleh DPR terdiri dari 1028 halaman dengan 174 pasal yang beranak-pinak. Uniknya, penyebutan kata perempuan hanya berjumlah satu kali pada Pasal 153 di halaman 569 sebagai berikut.
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.
Bila dibaca secara sederhana, tentu yang ada di pikiran kita adalah bahwa "negara menjamin pengusaha tidak boleh memecat perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau sedang dalam masa menyusui."
Namun bila dibaca secara lebih seksama, hal ini berarti bahwa pemerintah hanya melarang pengusaha memecat para pekerja wanita itu tanpa menggariskan jaminan hak apa yang perlu dipenuhi oleh para pengusaha.
Pemerintah tidak mau ambil pusing dengan menetapkan berapa lama cuti minimal yang diperbolehkan untuk tiap kasus di atas. Kebijakan itu diserahkan sepenuhnya ke tangan pengusaha yang begitu rentan menggerus kepentingan pekerja wanita.
Ambil contoh kasus, pengusaha hanya memberikan jatah cuti hamil plus melahirkan selama 2 minggu di dalam kontrak. Kemudian seorang pekerja wanita rupanya harus beberapa kali melakukan pemeriksaan kandungan hingga tak terasa sudah menghabiskan 1,5 minggu cuti sebelum melahirkan.