Mohon tunggu...
Muhammad Arief Ardiansyah
Muhammad Arief Ardiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Business Analyst

Pencerita data dan penggiat komoditi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pajak Emisi Sri Mulyani Sudah Bagus, tapi...

22 Februari 2020   18:44 Diperbarui: 27 Februari 2020   18:27 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam rapat kerjanya bersama Komisi IX DPR RI (19/2), Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali mengangkat wacana terkait pajak emisi kendaraan bermotor. Tak pelak, wacana ini kembali terangkat ke permukaan dan mengundang reaksi dari banyak pihak.

Mereka yang pro menyatakan bahwa langkah tersebut adalah pengamalan peribahasa: sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Emisi CO2 yang dilepaskan ke lingkungan dapat berkurang sekaligus menambah pundi-pundi pemasukan negara.

Golongan yang pro ini juga mendorong kebijakan sang Menteri untuk meningkatkan penetrasi kendaraan listrik di Indonesia. Mengimplementasikan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) nomor 7 (Affordable and Clean Energy), kata mereka.

Sementara itu mereka yang kontra menilai bahwa langkah tersebut rentan mematikan industri otomotif dalam negeri. Dalam arti, sudah pertumbuhan industrinya terseok-seok, masih harus dibebani lagi karena pajak ini dikenakan lewat mekanisme cukai.

Mekanisme cukai berarti pembatasan peredaran suatu barang dengan cara menerapkan biaya tambahan sebelum barang tersebut memasuki pasar. Dalam kasus ini, berarti produsen kendaraan bermotor beremisi harus membayar lebih sebelum kendaraannya keluar dari pabrik atau pun pelabuhan.

Kelompok yang kontra ini menilai gagasan Sri Mulyani sebetulnya sudah diakomodir lewat Pajak Penjualan Barang atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor. Sehingga Menkeu dinilai tidak perlu lagi menambah pos pajak baru yang dapat memperbanyak pintu birokrasi.

Adapun secara umum penulis menilai kalau gagasan Sri Mulyani dalam kasus ini merupakan suatu kemajuan besar. Dengan kata lain, penerapan pajak emisi atas kendaraan bermotor dapat membuka peluang munculnya pajak atas emisi-emisi yang lain.

Contohnya adalah emisi yang dihasilkan oleh industri. Emisi ini dapat menyumbang hingga 12% dari total gas rumah kaca yang dihasilkan oleh Indonesia dalam setahun. Nilai pajaknya? Belum ada.

Wacananya sendiri memang sudah digagas oleh pemerintah sejak 2018 silam. Tapi kemajuannya belum terlihat di media-media. Penulis pun ragu kalau rancangan undang-undang omnibus law yang muncul sudah memerhatikan masalah ini.

Karenanya, kebijakan yang hendak diambil oleh Sri Mulyani adalah hal yang bagus. Pasalnya bila kebijakan ini berhasil disetujui oleh DPR, kebijakan-kebijakan hijau lainnya sudah pasti ikut mendapat perhatian dari para elit di Senayan.

Masalahnya, penulis juga melihat kalau rencana Menkeu ini masih terbilang cukup prematur. Latar belakangnya masih jauh dari kata kokoh. Alih-alih ingin terlihat berpihak kepada lingkungan, kebijakan ini justru lebih terlihat sebagai strategi meningkatkan pendapatan.

Sri Mulyani menyebut langkah ini dapat mendorong masyarakat untuk beralih menggunakan kendaraan listrik. Padahal penetrasi kendaraan listrik di Indonesia masih sangat kecil.

Survei dari PLN pada pertengahan tahun 2019 menyatakan bahwa jumlah motor listrik di Indonesia baru berkisar di angka 1.100 unit. Amat kecil dibanding jumlah motor di Indonesia pada tahun 2018 yang sudah melebihi angka 14 juta unit.

Jumlah mobil listrik tentu lebih sedikit lagi, baru sekitar 40 unit yang terdeteksi di Indonesia. Itu pun didominasi oleh mobil Tesla yang hanya bisa dibeli oleh sebagian kecil golongan elit.

Dengan kata lain, peningkatan penetrasi kendaraan listrik di Indonesia masih membutuhkan waktu yang panjang. Tidak akan bisa tercapai dalam waktu dekat 5-10 tahun kedepan.

Memaksa industri otomotif dalam negeri untuk menggalakkan produksi kendaraan listrik juga sama saja dengan langkah bunuh diri. Alasannya karena diperlukan modal yang amat besar dengan risiko yang begitu riskan. Investor mana yang siap mem-back up hal semacam ini?

Pemilihan opsi cukai pun patut dipertanyakan. Pasalnya, emisi yang dihasilkan oleh kendaraan baru justru dapat dipastikan lebih rendah daripada kendaraan lama yang setiap hari malang melintang di atas jalanan. Buktinya teknologi kompresi dan gas buang selalu ditingkatkan keefisienannya dari waktu ke waktu.

Bagaimana jika pajak emisi tersebut diterapkan langsung kepada kendaraan yang sudah beroperasi hari ini? Misalnya dengan peningkatan nilai PKB ketika harus memperbarui STNK setiap tahunnya.

Lagi-lagi langkah ini perlu ditinjau secara lebih serius. Penentuan besaran pajaknya akan rentan menuai kontroversi karena tipe kendaraan yang semakin bervariasi.

Oleh karena itu, mari berharap agar DPR memikirkan usulan ini secara matang-matang. Jangan gunakan kacamata kuda dengan melihat masalah ini dari satu aspek saja. Apalagi kalau sampai harus mengorbankan masa depan negara demi kepentingan politik semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun