Mohon tunggu...
Muhammad Arief Ardiansyah
Muhammad Arief Ardiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Business Analyst

Pencerita data dan penggiat komoditi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Omnibus Law Cilaka yang Bisa Bikin Celaka

14 Januari 2020   11:19 Diperbarui: 20 Februari 2020   04:24 4905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelombang pergerakan massa serikat buruh kembali sampai di pekarangan Gedung DPR, Senin (13/1). Yang menyambut bahkan tak tanggung-tanggung: ratusan personel TNI dan Polri berseragam lengkap. Sekelas menteri saja belum tentu mendapat sambutan serupa jika bertamu ke DPR.

Nyatanya tuntutan mereka masih sama sejak demo tahun lalu: menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Sebuah paket regulasi yang diyakini pemerintah bakal mendongkrak investasi.

Bagaimana tidak? Aturan terkait kelas pekerja yang tadinya tersebar di lebih dari 70 undang-undang akan dikompres menjadi 1 undang-undang saja. Pintu regulasi semakin dipapat, anggaran birokrasi pun akan semakin hemat.

Sayangnya ada beberapa pasal dari RUU Cilaka ini yang berpotensi mengebiri hak-hak kelas pekerja. Dengan kata lain, omnibus law Cilaka ini amat rawan menciptakan celaka beneran.

Tidak percaya? Mari saya tunjukkan beberapa buktinya.

Pertama, pengubahan sistem upah menjadi berbasis jam kerja. Pekerja nantinya bukan lagi diberi upah berdasarkan jumlah hari kerja tetapi jumlah jam kerja yang ia lewati.

Awalnya saya kira kebijakan ini begitu positif. Pasalnya kebanyakan situs freelancer internasional sudah lama menggunakan sistem ini dan kita dapat membandingkan kualitas pekerja secara lebih proporsional.

Namun jika dipikir kembali, kebijakan ini justru rentan mendorong perusahaan untuk mempekerjakan karyawan dengan semaunya.

Demo buruh 13 Januari 2020 #TolakRUUCilaka. Sumber: Liputan6.
Demo buruh 13 Januari 2020 #TolakRUUCilaka. Sumber: Liputan6.

Jumlah jam kerja yang diberikan oleh perusahaan bisa sangat bergantung pada variabel kapasitas produksi. Jika produksi sedang gencar maka jam kerja bisa ditambah, sementara jika produksi sedang ditahan, jam kerja juga bisa dipangkas dengan mudah.

Perusahaan juga seperti akan dibebaskan dari kewajiban terhadap pekerja di luar jam kerja. Toh mereka hanya perlu membayar pekerja saat mereka bekerja. Bukan saat sedang beristirahat, sedang izin, apalagi sedang sakit.

Apalagi kinerja BPJS Ketenagakerjaan belum optimal. Terbukti dengan rencana pemerintah menaikan besaran iuran hingga orang-orang berlomba menurunkan pilihan paket kesehatan.

Kebijakan pengupahan berbasis jam kerja ini juga rawan menyebabkan perusahaan merekrut dan memecat pekerja secara mudah. Lantas dimana posisi pemerintah dalam melihat fenomena ini?

Jawabannya, tentu saja pemerintah lebih berpihak kepada perusahaan dan para pemilik modal! Buktinya pemerintah menuliskan secara gamblang prinsip easy hiring, easy firing di omnibus law Cilaka. Inilah kecilakaan kedua dari RUU yang satu ini.

Lewat kebijakan yang satu ini, pemerintah seperti hendak berlepas tangan dari keamanan pihak pekerja. Biarkan saja perusahaan yang menilai kualitas para pekerjanya. Kalau sudah tidak suka dengan salah satu pekerja, ya tinggal pecat saja.

Konsekuensi dari kebijakan ini adalah lalu lintas perekrutan pekerja yang akan semakin padat. Kalau lalu lintas padat, maka peluang terjadinya kemacetan akan semakin besar. Tepatnya yang dimaksud adalah kemacetan para pencari kerja yang tak kunjung diterima oleh perusahaan manapun.

Poin ketiga yang meresahkan dari omnibus law Cilaka yaitu permudahan izin tenaga kerja asing. Birokrasi perizinannya akan dipermudah dan TKA tidak akan lagi dikenakan pajak atas penghasilannya di luar Indonesia.

Adalah betul kalau kehadiran tenaga kerja asing dapat memacu peningkatan kualitas pada tenaga kerja lokal. Namun dengan kondisi masih banyaknya tenaga kerja lokal yang tak kunjung terserap, dimana logika pemerintah ketika menggelar karpet merah untuk tenaga kerja asing?

Tanpa meremehkan kualitas pekerja dalam negeri, hasilnya sudah bisa ditebak. Pengusaha akan cenderung memilih tenaga kerja asing yang memiliki kemampuan spesifik dengan rata-rata upah per jam lebih kecil ketimbang tenaga kerja lokal. Entah itu dari Malaysia, Vietnam, Thailand, atau Cina.

Pemerintah agaknya ingin memandang tenaga kerja lokal pada level yang setara dengan tenaga kerja asing. "Selama mereka berstatus sebagai pekerja, ya mereka sama saja dengan alat produksi." Begitu mungkin gumaman elite di Senayan sana yang menuhankan investasi.

Tentu saja selalu ada poin-poin positif dari Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini. Seperti poin tentang Kawasan Ekonomi Khusus dan poin tentang dukungan riset. Namun poin-poin positif ini nampaknya memang tidak akan langsung dirasakan manfaatnya oleh kelas pekerja.

Akhirnya, amat patutlah jika kita kembali bertanya, omnibus law Cilaka ini untuk siapa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun