Sejak dulu, lobster memang bukan termasuk kelompok hewan yang populer. Popularitasnya selalu kalah dengan kepiting yang menjadi primadona restoran seafood di mana-mana.
Namun berkat omongan para elit politik di negeri ini, dalam sekejap lobster menjadi trending topic di berbagai media. Google Trends bahkan mencatat volume pencariannya meningkat tajam pada periode 15-21 Desember yang lalu. Melebihi volume pencarian kata kunci "kepiting" untuk pertama kalinya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Sayangnya seperti kebanyakan hal-hal yang viral, lobster kerap mendapatkan pemberitaan yang tak imbang. Entah disalahkan karena sulit dibudidaya, sulit diterima masyarakat, hingga dianggap menjadi biang kerok dari rumitnya komunikasi para tokoh politik. Padahal, apa salahnya lobster?
Lobster hanya kurang beruntung, karena belum mendapat cukup pengembangan, tetapi sudah keburu viral. Sama seperti para remaja tanggung yang gemar ikut-ikutan membuat video prank agar cepat terkenal. Bedanya para remaja itu aktif melakukan, sementara lobster benar-benar pasif.
Karenanya, lewat tulisan ini, saya hendak membela hak asasi lobster. Saya ingin menunjukkan kepada khalayak, bahwa lobster dapat memiliki harga yang amat mahal. Jauh lebih mahal daripada celotehan para elit politik yang sedang asyik saling sindir itu.
Jika hendak diuraikan, tubuh lobster itu terdiri atas beberapa bagian. Masing-masing bagian tentu memiliki fungsi dan manfaat masing-masing. Akan tetapi, setidaknya empat bagian tubuh berikut sudah terbukti memiliki kandungan senyawa bernilai jual tinggi di pasaran.
Bagian kepala, yang merupakan salah satu favorit penggila seafood, ternyata juga mengandung hidrolisat protein. Hidrolisat protein kini menjadi salah satu barang langka di dunia industri karena mampu mempertajam rasa dan sangat baik dijadikan suplemen.
Bagian hati dari lobster juga tak kalah penting kandungannya. Hati lobster mengandung lipid dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Uniknya, asam lemak dari hati lobster juga memiliki kandungan omega-3 yang tinggi. Suatu senyawa yang mampu memicu perkembangan otak anak pada usia golden age.
Adapun bagian yang paling seksi dari lobster tentu saja adalah cangkangnya. Para penikmat seafood pun tahu persis, kalau salah satu bagian ternikmat dari mengonsumsi lobster ialah ketika memisahkan daging dari cangkangnya. Nah, cangkang ini ternyata juga masih mengandung sederet kandungan zat yang kaya manfaat.
Mulai dari kitin dan kitosan, yang umum digunakan sebagai biopolimer, astaxanthin yang menjadi pewarna alami untuk industri makanan, kosmetik, dan obat-obatan, hingga karotenoprotein yang secara spesifik digunakan sebagai pakan ikan kualitas premium.
Deretan nama senyawa di atas sungguh masih tergolong komoditi yang prospektif karena memiliki nilai pasar yang besar di pasaran global. Jauh lebih besar daripada pasaran baby lobster yang sibuk dibicarakan oleh kebanyakan orang di negara +62.
Kitosan misalnya, memiliki nilai pasar sebesar USD 5,71 milyar pada tahun 2015 dan diperkirakan akan meningkat hingga USD 21,41 milyar pada tahun 2025. Contoh lainnya, astaxanthin, yang memiliki nilai pasar sebesar USD 600 juta pada tahun 2018 dan diperkirakan akan meningkat hingga USD 880 juta pada tahun 2026.
Karenanya, daripada sibuk menghabiskan pikiran untuk berdebat soal ekspor baby lobster, marilah kita mempertanyakan hal-hal yang lebih penting bagi masa depan lobster di negeri ini. Bagaimana dengan kesiapan industri kitosan? Bagaimana dengan industri astaxanthin? Apakah mungkin kita memiliki jalur industri lobster dari hulu ke hilir yang lengkap suatu saat nanti?
Dalam kasus kitosan, sesungguhnya bukan hal yang terlalu sulit mengekstrak senyawa tersebut dari cangkang lobster. Tahapannya secara umum hanya 3, yakni deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi.
Industri kitosan dunia hari ini umumnya masih menggunakan bantuan bahan kimia untuk melakukan proses konversi tersebut. Namun penelitian terkini menunjukkan bahwa mikroba sudah dapat dimanfaatkan untuk melakukan konversi tersebut secara biologis.
Keuntungan menggunakan mikroba sebagai agen konversi cangkang lobster untuk menjadi kitosan adalah prosesnya yang jauh lebih bersih dan sustainable. Agen hayati tersebut juga bisa digunakan dan dilatih beberapa kali sehingga pada akhirnya mampu menghasilkan proses produksi yang lebih murah dan ramah lingkungan.
Di Indonesia sendiri, jumlah industri kitosan masih dapat dihitung jari. Prosesnya pun sebagian besar secara kimiawi, mengikuti pola industri kitosan yang umum di luar.
Nah, jika Anda tertarik untuk membangun industri kitosan dengan proses yang memanfaatkan agen hayati (biokonversi), mari berdiskusi. Siapa tahu, kita bisa menjadi pionir yang mengangkat nama industri kitosan Indonesia ke kancah dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI