Sore itu, saya sedang menyeruput kopi bersama Bapak sambil menonton pertandingan pekan terakhir Liga 1 lewat layar televisi. Selang tak berapa lama, suara motor terdengar makin keras mendekati rumah kami yang bersambung dengan sapaan paling khas. "Pakeeeet!"
Saya bergegas keluar menemui asal suara itu. Namun bukannya malah memberikan paket, petugas ekspedisi tersebut justru hendak mencari bapak saya yang belum lama ini dilantik menjadi ketua RT.
Rupanya ia ingin mengantar suatu paket berlabel "Penting", namun tak dapat menjumpai seorang pun pada alamat rumah yang dituju. Maka bergeraklah ia menuju rumah pak RT berdasar saran dari para tetangga disana.
Saya pun masuk kembali ke dalam rumah. Adapun lewat pembicaraan yang terdengar sampai ke dalam, nampaknya paket itu dibawa kembali oleh si petugas setelah bapak saya mengonfirmasi si pemilik rumah lewat telepon.
Industri logistik memang mengalami pertumbuhan yang amat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pemicunya, tentu saja bisnis e-commerce yang semakin menjamur di Indonesia. Kehadiran mereka ibarat oase ditengah kelesuan industri logistik pada awal dekade 2010an.
Sebelum e-commerce hadir, suatu barang perlu melewati tahapan rantai pasok yang cukup panjang agar bisa sampai di tangan konsumen. Tahapan panjang tersebut kemudian dipotong berkat disrupsi teknologi. Menyisakan satu rantai utama yang dioptimalkan secara masif oleh industri logistik.
Alhasil semakin pesatnya e-commerce berarti semakin tinggi juga volume dan frekuensi aliran barang pada rantai utama tersebut. Menghasilkan industri logistik yang jauh lebih bergairah daripada sebelumnya.
Karenanya, tidak heran jika Supply Chain Indonesia (SCI) optimis menakar pertumbuhan industri logistik masih dapat melebihi angka 11% pada tahun 2020. Padahal industri makanan dan minuman yang menjadi andalan utama Kemenperin mulai terengah-engah dalam mencapai target 8% yang dibebankan di tahun 2019.
Masalahnya, jumlah pemain di industri logistik ini semakin banyak. Startup logistik dari luar negeri pun sedang bersiap memasuki pasar dalam negeri berkat keunggulan teknologi. Lantas siapakah pemain yang masih sanggup bertahan lama di sektor yang satu ini?
"Pakeeeet!"
Suara khas itu lagi-lagi membuyarkan perhatian saya. Bergegaslah saya menemui petugas paket dengan kantong besar yang diletakkan di bagian tengah motornya itu.
Rupanya kali ini paket tersebut memang ditujukan ke alamat rumah kami. Sabun khusus jerawat yang dipesan oleh ibu saya secara online dari Semarang telah sampai dengan selamat. Persis 3 hari setelah ibu saya menyelesaikan pembayaran.
Saya amati kertas yang tersemat di paket itu. Pada bagian pojok kanan atasnya, tercetak logo J&T Express sebagai penyedia jasa logistik yang ibu saya pilih. Saya jadi bergumam dalam hati, "Mengapa mama memilih ekspedisi yang satu ini?"
When Logistic Business Meet Technology
Secara umur, J&T Express memang masih terbilang cukup muda. Kantor pusatnya saja baru didirikan pada tahun 2015 lalu di Pluit, Jakarta Utara.
Namun kelihaiannya mengelola logistik dengan sistem IT, membuat J&T Express mampu menyejajarkan diri dengan BUMN dan swasta yang sudah malang melintang di industri logistik tanah air sejak puluhan tahun silam.
Salah satu yang menurut saya paling menarik adalah layanan detail and real time tracking system. Â Tentu saja sistem pelacakan kini sudah dimiliki oleh hampir semua perusahaan logistik. Tetapi nampaknya J&T Express tergolong salah satu yang pertama yang sanggup menghadirkannya secara detail dan real time.
Mengapa sistem pelacakan yang detail dan real time itu penting?
Ada ribuan paket yang singgah di gateway setiap hari. Tentu saja selalu ada peluang paket Anda terselip atau bahkan terkirim ke tujuan yang salah. Terutama karena faktor kelalaian manusia (human error) yang memang tidak bisa selalu fokus setiap saat.
Akan tetapi dengan sistem IT yang terintegrasi di J&T, faktor human error tersebut dapat ditekan menjadi serendah mungkin. Pasalnya penyortiran ribuan hingga jutaan paket itu sudah dilaksanakan secara otomatis di lapangan dengan bantuan mesin.
Hasil penyortiran dan proses pengiriman paket dari satu gateway ke gateway lainnya itu pun dapat diakses secara online lewat situs resmi J&T. Lengkap dengan keterangan waktu dan posisi terakhir paket itu terlacak oleh sistem.
Di sinilah pentingnya sistem pelacakan yang mendetil dan real time. Baik pihak pengirim maupun penerima, sama-sama diberikan ruang untuk merasa aman dan nyaman dalam memanfaatkan layanan.
Lebih jauh, strategi J&T Express dalam meminimalisir faktor human error terbukti mampu melahirkan efek domino yang mendulang beragam keuntungan. Mulai dari peningkatan kecepatan pengiriman, mengefisienkan kerja petugas di lapangan, hingga mampu menyediakan ruang yang lebih banyak bagi perusahaan untuk berinovasi mengembangkan layanan.
Per Desember 2019, J&T Express sudah memiliki lebih dari 2.000 titik penjemputan paket (Drop Point) dengan waktu operasional sebanyak 365 hari dalam setahun. J&T Express juga memiliki layanan hotline yang aktif 24 jam sehari.
Demi memperlancar komunikasi dengan pengguna, J&T Express juga memiliki beberapa akun media sosial yang rutin membuat postingan. Mulai dari facebook, twitter, hingga instagram. Tak lupa juga sebuah kanal YouTube sebagai komponen penting di era digital marketing.
Lengkapnya layanan yang dimiliki oleh J&T ini seharusnya mampu membawa kita pada satu pesan penting: bahwa dengan integrasi teknologi, suatu perusahaan logistik dapat bekerja dengan lebih efektif dan lebih efisien, hingga dapat memiliki ruang untuk mengembangkan layanan.
Kedepan, kompetisi industri logistik di era industri 4.0 ini akan semakin ketat lagi. Siapa yang gagap dengan disrupsi teknologi, harus siap-siap tereliminasi. Jadi mari kita seruput habis kopi ini, sambil menanti J&T Express melahirkan gebrakan yang penuh inovasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H