Pada tahun 2009, FAO menerbitkan sebuah laporan yang menyatakan bahwa sektor pertanian perlu memproduksi 70% makanan lebih banyak pada tahun 2050 agar dapat memberi makan 9 milyar manusia yang hidup pada masa itu [i]. Tak mau ketinggalan, Bank Dunia juga melakukan perhitungan serupa hingga akhirnya menyatakan kalau dunia membutuhkan 50% makanan lebih banyak pada tahun 2050 untuk memenuhi kebutuhan tersebut [ii].
Lantas muncul pertanyaan, apakah meningkatkan produksi pangan merupakan kunci dalam masalah ketahanan pangan dunia?
Pertanyaan ini kemudian coba dijawab secara komprehensif oleh Edward L. Kick, Francesco Tiezzi dan Diego Castedo Pena dari North Carolina State University.Â
Lewat publikasi teranyarnya dalam Perspectives on Global Development and Technology, Kick dkk berhasil membuktikan bahwa peningkatan produksi makanan tidak akan dapat menyelesaikan persoalan ketahanan pangan dunia. Fakta ini mereka dapatkan setelah melakukan serangkaian kajian dengan pendekatan model kuantitatif terhadap parameter suplai protein pada skala global [iii].
Uniknya, penelitian tersebut juga membuktikan bahwa faktor kunci dalam masalah ketahanan pangan dunia adalah perbaikan sistem distribusi. Menurut Kick dkk (2017), pembenahan sistem distribusi-lah yang dapat membuat kebutuhan pangan bagi negara-negara di dunia tetap terpenuhi meskipun dunia nantinya akan diisi oleh 9 milyar manusia pada 2050.
Di Indonesia sendiri masalah terkait distribusi seakan sudah sangat umum di telinga kita. Mulai dari tengkulak yang merajalela, hingga timbunan barang pokok yang terjadi di berbagai daerah. Imbasnya berita kenaikan harga menjadi akrab di telinga kita. Minimal satu kali dalam setahun menjelang hari raya, berita semacam ini selalu saja menghiasi laman pertama media-media kita.Â
Inovasi teranyar dari BUMN yang satu ini ialah dengan mengembangkan bisnis retail yang diberi nama Rumah Pangan Kita (RPK). Ide awalnya memang cukup sederhana, yakni tentang bagaimana produk-produk komersil Perum BULOG --yang diberi nama produk KITA-- dapat didistribusikan secara langsung kepada masyarakat lewat mitra-mitranya yang tersebar di dekat masyarakat itu sendiri. Tetapi siapa sangka kalau eksekusinya mendapat sambutan yang amat baik dari masyarakat Indonesia.
Akhir tahun 2017 di Jawa Barat saja sudah tersedia lebih dari 5.000 unit RPK [iv]. Nilai ini berbeda sedikit dari jumlah desa/kelurahan di Jawa Barat yang mencapai 5.962 [v]. Meskipun dalam kenyataannya masih cukup jauh dari keidealan 1 desa 1 RPK, tentu fakta ini dapat membuat kita optimis bahwa RPK sudah mulai mendapat tempat dalam gelanggang bisnis retail yang sudah menjamur di masyarakat.
Pertanyaannya, mengapa masyarakat perlu mendukung inovasi dari Perum BULOG ini secara langsung? Keuntungan apa yang bisa didapat jika masyarakat menggunakan produk-produk KITA? Apakah efeknya akan besar bagi ketahanan pangan negara?