Meski harus melalui perjuangan yang berat, akhirnya niat saya mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai Pegawai Honorer di salah satu instansi pemerintahan di Kabupaten Bima, akhirnya kesampaian juga. Saya katakan ini sebagai sebuah perjuangan yang berat, karena saya harus menghadapi orang-orang yang saya cintai, yakni istri, orangtua, dan mertua, yang beramai-ramai menentang keinginan saya. Adu mulut dengan istri yang diwarnai berbagai argumen-pun tidak dapat saya hindari. Dan puncaknya kita saling diam-diaman selama dua hari lho. Hehehe…
Setelah memikirkan alasan saya dan melihat sikap saya yang tetap keukeuh dengan keputusan itu-lah barangkali yang akhirnya membuat mereka luluh juga.
Singkat cerita, pengunduran diri saya-pun menuai beragam reaksi terutama dari teman-teman dekat saya. Meskipun ada yang mensuport (khususnya yang memahami alasan saya), namun yang mengatakan saya ‘gila’ lebih banyak lagi. Dan harus saya akui memang, mengundurkan diri dari sebuah pekerjaan adalah sebuah kegilaan.
Gimana enggak, disaat sebagian besar anak-anak negeri bergelut dengan nasib mencari pekerjaan, saya malah (maaf, mungkin terkesan sombong) ‘membuang’pekerjaan. Dan sebutan lain yang paling pantas buat orang seperti saya, selain gila adalah pemalas. Iya, kan? Sudah memiliki pekerjaan kok, malah ditinggalkan. Lha, yang meninggalkan pekerjaan artinya kan, orang yang nggak mau bekerja, dan yang nggak mau bekerja, ya tentu saja pemalas, bukan?
Untuk sekedar dimaklumi, status sebagai ‘pegawai’ memang memiliki gengsi tersendiri di mata masyarakat di daerah saya. Saya merasakan betul hal itu. Meskipun dengan status sebagai Pegawai Honorer saya merasakan perlakuan dan penghargaan yang berbeda dari masyarakat di lingkungan tempat tinggal saya, jika dibandingkan dengan teman-teman seusia saya yang notabene tidak berstatus sebagai pegawai. Maka tidak mengherankan jika menjadi pegawai adalah pilihan nomor satu bagi sebagian besar generasi muda serta orang tua atas diri anak-anaknya di daerah saya, Bima. Meskipun mereka harus mengeluarkan duit dengan angka yang cukup fantastis (dengar-dengar, nominal yang dikeluarkan berkisar antara delapan sampai sembilan digit, lho).
Hal seperti itu mungkin juga terjadi di daerah lain di negeri ini. Dan itu dianggap sah-sah saja. Karena sudah menjadi rahasia umum, bahwa apapun yang anda inginkan di negeri ini, hatta anda ingin menjadi abdi masyarakat atau abdi negara yang bertujuan untuk memberi pelayanan atas hajat hidup masyarakat sekalipun, anda tetap harus bayar. Apalagi pekerjaan melayani mayarakat yang diembel-embeli istilah PNS (Pegawai Negeri Sipil) tersebut cukup memberi jaminan baik secara sosial maupun ekonomi bagi seseorang. Dan jaminan tersebut-pun sifatnya jangka panjang.
Siapa sih yang nggak tergiur. Jujur, saya termasuk orang yang menginginkan hal itu (walau akhirnya pilihan dan orientasi hidup saya berubah). Bahkan beberapa kali saya mendaftar seleksi CPNS di daerah saya. Tapi dengan modal hanya selembar ijazah saja, tanpa embel-embel uang pelicin atau uang terima kasih atau uang apalah istilahnya. Dan hasilnya, NOL! Lalu saya terdampar di sebuah instansi pemerintahan dengan status pegawai Honorer Daerah (HONDA), dengan gaji yang hanya cukup untuk ongkos transportasi saya sehari-hari ke kantor.
Mau tahu, berapa gaji yang saya terima per-bulannya? TIGA RATUS RIBU RUPIAH! Angka yang menuntut istri saya harus sabar, karena dia hanya melihat slip gaji saya saja setiap bulannya. Sementara uangnya harus saya setor ke tukang ojek langganan saya yang rajin menagih setiap awal bulan. Hehehe…
Kembali ke masalah keinginan orang menjadi pegawai. Ada sebuah fenomena baru yang membuat saya mengerutkan kening, heran bercampur tidak percaya dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini di daerah saya. Tiba-tiba saja banyak orang (terutama kalangan muda) yang berbondong-bondong masuk menjadi Pegawai Sukalerawan di berbagai instansi pemerintah yang ada. Keheranan dan rasa tidak percaya saya bukan pada soal menjadi pegawai-nya. Melainkan pada sebuah fakta bahwa ternyata untuk bisa menjadi Pegawai Sukarelawan tersebut seseorang harus menyetorkan sejumlah uang yang nilainya tidak sedikit (berkisar lima sampai belasan juta rupiah) kepada beberapa oknum calo yang mengkalim diri sebagai orang kepercayaan pihak penguasa.
Ada satu harapan yang mendasari keputusan mereka untuk menjadi sukarelawan tersebut, yakni harapan agar diangkat sebagai pegawai Honorer Daerah. Dimana dalam pandangan mereka, ketika seseorang sudah berstatus sebagai pegawai honorer, itu artinya langkah untuk menjadi PNS jadi lebih mudah, dibandingkan dengan mengikuti seleksi CPNS melalui jalur umum. Keyakinan itu makin diperkuat dengan janji muluk para calo yang mengatakan bahwa dalam waktu tidak lama lagi mereka akan segera diangkat menjadi pegawai honorer.
Alhasil, kantor-kantor pemerintahan yang awalnya memang sudah dipenuhi pegawai, jadi makin riuh oleh pegawai-pegawai ‘dadakan’ ini.
Berangkat dari istilah sukarelawan sebagaimana yang kita pahami, mereka adalah orang yang bekerja atas dasar keinginan sendiri. Meskipun mereka tidak mendapat imbalan sepeser-pun. Akan tetapi, untuk menjadi sukarelawan tentu tidak harus membayar. Prinsipnya, anda mau. Maka bekerjalah. Itu saja.
Atas dasar prinsip itulah, maka para sukarelawan yang mengabdi di berbagai instansi pemerintah seperti yang saya kemukakan diatas tentu saja tidak diberi gaji sepeser-pun. Selain karena didasari oleh prinsip tadi, faktor utamanya lebih dikarenakan oleh ketiadaan alokasi anggaran dalam APBD yang diperuntukkan khusus bagi para tenaga sukarelawan tersebut. Itu bahasa birokrasinya.
Akan tetapi, jika kita kembalikan persoalan ini pada tujuan atau alasan kenapa seseorang mencari atau menginginkan sebuah pekerjaan, hal ini tentu bertentangan dengan tujuan dasarnya. Karena tujuan dasar kita dalam mencari sebuah pekerjaan, orientasinya jelas. Ekonomi atau materi. Di dalamnya ada kepentingan hidup keluarga yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan hidup keluarga itu sendiri. Maka logika kita pasti memberontak, melihat kenyataan tersebut. Jangankan bekerja tanpa digaji, yang digaji saja masih harus pontang-panting mencari pendapatan dari tempat atau pekerjaan lain.
Tegasnya, alasan perbaikan ekonomi selalu menjadi alasan utama setiap orang dalam mencari pekerjaan. Tapi melihat fenomena _seperti apa yang saya kemukakan_ diatas, alasan tersebut seolah jadi terabaikan. Kenyataan seperti itu-lah yang menjadi faktor lain penyebab keheranan saya atas fenomena tersebut.
Kembali ke masalah keberadaan pegawai sukarela tadi. Terkait dengan kebutuhan pemerintah akan pegawai (kalau memang dibutuhkan), untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu yang bersifat teknis, keberadaan pegawai sukarela ini mungkin dianggap perlu. Sebut saja seperti tenaga penyuluh pertanian, tenaga kesehatan atau tenaga guru misalnya. Karena memang tenaga di bidang-bidang tersebut sangat dibutuhkan keberadaanya ditengah masyarakat. Tapi sudah barang tentu perekrutan atas diri mereka harus bebas dari apa yang namanya uang pelicin, uang terima kasih, atau apapun istilahnya. Sebaliknya untuk tenaga non-teknis, keberadaanpegawai-pegawai sukarela ini sangatlah tidak efektif. Selain karena sebagian besar instansi yang ada sudah kebanjiran pegawai, alasan lainnya adalah karena tidak adanya pekerjaan yang jelas bagi mereka di kantor tersebut. Jangankan untuk pegawai sukarela, pegawai honorer atau bahkan PNS-pun banyak yang tidak memiliki tugas yang jelas dan pasti.
Seperti yang saya dan teman-teman saya alami misalnya. Bisa dikatakan hampir tak ada pekerjaan yang kami dilakukan. Pekerjaan setiap hari hanya datang, duduk (biasanya diisi dengan permainan kartu atau catur), lalu pulang. Maka sering saya bertanya dalam hati, sebenarnya saya pegawai atau (seperti istilah seorang teman) hanya pengangguran berseragam?
Maka terkait dengan keputusan saya mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai pegawai honorer, hal itulah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan saya. Alasan ini pula-lah yang membuat saya dicemooh, dan dicap sok idealis oleh sebagian teman yang tidak memahami hal tersebut. Sesungguhnya ini bukan masalah idialisme atau bukan. Melainkan lebih kepada faktor ketidak-nyamanan saya pada situasi pekerjaan yang monoton dan tidak produktif.
Bahkan dalam situasi seperti itu, saya justru lebih berpikiran pragmatis sebenarnya. Dimana saya sering mengandai-andai, kalau saja waktu yang terbuang hanya untuk duduk-duduk saja tadi digunakan untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan yang lebih produktif, dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri saya, itu jauh lebih baik.
Dalam situasi tersebut saya merasa seperti berada di dua kutub yang berbeda. Disatu sisi, saya dituntut untuk masuk kantor setiap hari (enam jam per-hari) dengan pekerjaan yang hanya membuang-buang waktu saja. Sedangkan di sisi lain, sebagai seorang suami dan ayah yang notabene memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, saya harus berusaha mencari pendapatan lain untuk anak istri saya, sebagai pengganti pendapatan dari pekerjaan sebagai pegawai honorer yang tidak bisa mereka nikmati. Karena seperti yang saya katakan, hanya cukup untuk ongkos transportasi ke kantor saja.
Barangkali untuk sebagian teman yang berprofesi sama sebagai pegawai honorer, yang belum memiliki tanggung jawab nafkah pada keluarga, gaji tiga ratus ribu per-bulan, cukup nggak cukup, ya dicukup-cukupin aja. Tapi bagi mereka (juga saya) yang memiliki tanggung jawab untuk menafkahi keluarga, pendapatan tiga ratus ribu per-bulan jelas jauh dari istilah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan maksud saya meremehkan nilai uang, lho.
Lalu apa yang diinginkan teman-teman yang berlomba-lomba menjadi pegawai sukarelawan tadi? Ingin memberikan sumbangsih bagi masyarakat dengan jalan menjadi abdi masyarakat? Bukankah para abdi masyarakat yang ada diberbagai intansi pemerintah yang ada pekerjaannya hanya duduk dan main kartu atau catur saja? Lalu sumbangsih seperti apa yang ingin diberikan?
Atau mungkin ingin mengejar target mendapatkan SK Honorer (diangkat menjadi pegawai Honorer), untuk selanjutnya diangkat menjadi PNS, dengan maksud untuk memperoleh pendapatan bulanan yang tetap?
Sekali lagi, dalam hal ini, mungkin saya termasuk orang yang berpikiran pragmatis. Dimana saya beranggapan bahwa menjadi pegawai honorer bukanlah pilihan yang tepat jika anda ingin meningkatkan ekonomi keluarga. Karena sepanjang pengalaman saya menajadi pegawai honorer, saya justru menjadi ‘gagap’ dalam segala hal. Gagap dalam artian saya menjadi orang yang setengah-setengah dalam menjalankan sesuatu. Terutama menjalankan berbagai rencana dan target hidup saya. Sementara waktu terus menggerus usia saya _yang saya sadari hanya dalam beberapa tahun kedepan saya berada dalam fase usia produktif. Itupun kalau saya diberi umur yang panjang oleh Tuhan. Itu artinya, kesempatan saya untuk menafkahi keluarga secara optimal hanya tinggal beberapa tahun lagi.
Kalau memang target akhirnya adalah diangkat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), maka hal itu kapan? Menunggu bertahun-tahun lagi dalam ketidak-pastian (terutama ketidak-pastian dari janji pemerintah dalam menyelesaikan proses pengangkatan para Pegawai Honorer menjadi Pegawai Negeri)? Entahlah.
Maka salahkah bila saya memutuskan untuk mengundurkan diri dan menekuni pekerjaan lain yang _menurut saya_ lebih menjanjikan secara ekonomi, daripada saya menjadi ‘pengangguran berseragam’, seperti istilah teman saya tadi?
Hmmm…!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H