Mohon tunggu...
Arief Hakim
Arief Hakim Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti independen

hidup harus menghidupi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jelajah Kalimantan Selatan (Etape II: Batulicin - Tanah Grogot)

24 Agustus 2013   23:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:51 5316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_273794" align="aligncenter" width="454" caption="Rute yang Ditempuh"][/caption]

Setelah menghabiskan dua hari di Batulicin, kini tiba saatnya untuk melanjutkan perjalan sejauh 230 km ke arah utara menuju Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur. Ada dua opsi “hotel gratis” yang siap menampung saya, namun saya putuskan untuk menjadikan rumah Mas Lastanto yang lokasi persisnya saya belum tahu. Hanya bermodal alamat bahwa beliau bermukim di Kecamatan Paser Belengkong, itu sudah cukup untuk meyakinkan diri untuk melanjutkan perjalanan. Perkara di sana nanti saya kebingungan mencari rumah beliau, itu urusan belakangan.

Mas Lastanto adalah senior saya di Jurusan Geografi Universitas Negeri Malang dan juga di UKM pencinta alam kampus yang sama. Beliau bersama keluarga besarnya bertransmigrasi meninggalkan tanah kelahirannya di Sragen, Jawa Tengah sejak awal 1980an. Walau terpaut cukup jauh dari segi tahun masuk kuliah maupun di ekstra kurikuler kampus, namun kami memiliki kesamaan nasib, yaitu masa studi yang mencapai level maksimal. :D

Pagi-pagi setelah sarapan di rumah Hadi, rekan saya di Batulicin yang rumahnya menjadi tempat saya bermalam selama 2 hari, skuter matik mulai saya pacu menyusuri jalan trans Kalimantan yang mulus. Kendaraan dipacu agak cepat pada 50 km pertama, karena jalan tersebut sudah saya lewati sehari sebelumnya ketika berziarah ke makam Guru Cantung. Pemadangan masih didominasi oleh perkebunan kelapa sawit, karet, dan bekas tambang batu bara. Di salah satu permukiman nampak papan pengumuman mengenai jadwal peledakan (blasting) aktifitas pertambangan batubara. Underpass yang bertebaran sepanjang jalur Pelaihari – Batulicin, pada etape ini mulai jarang ditemui. Memang wilayah sisi timur Kalimantan Selatan masih relatif aman (setidaknya di sisi jalan trans Kalimantan) atau mungkin BELUM tersentuh oleh tangan-tangan jahat perusahaan tambang. Mungkin juga karena deposit bahan tambang tidak terlalu banyak terkandung di lapisan buminya. Salah satu underpasss merupakan akses terhadap conveyor belt milik perusahaan semen Indocement yang panjangnya 25 km lebih (saya hitung dengan aplikasi Google Earth) menghubungkan lokasi pabrik pengolahan dengan sumber bahan baku semen.

[caption id="attachment_274132" align="aligncenter" width="462" caption="Rute Etape II: Batulicin - Tanah Grogot"]

1377361335756597999
1377361335756597999
[/caption]

Hanya beberapa puluh menit setelah Batulicin, kita akan memasuki wilayah Kabupaten Kotabaru bagian Pulau Kalimantan. Ibukota Kabupaten Kotabaru sebenarnya terletak bukan di daratan Kalimantan, melainkan di Pulau Laut yang berjarak 3 jam perjalan dari Batulicin, 1 jam penyeberangan dengan ferry dilanjutkan 2 jam perjalanan darat. Kecamatan pertama yang menjadi gerbang masuk wilayah Kabupaten Kotabaru daratan Kalimantan adalah Kecamatan Serongga. Ada 12 kecamatan lain dari Kabupaten Kotabaru yang berlokasi di daratan Kalimantan.

Lepas dari jembatan Desa Cantung, laju skuter matik mulai dikurangi untuk memberi kesempatan tangan saya mendokumentasikan keindahaan bentang alam dan kehidupan liar penghuninya. Menara-menara karst menjulang memagari jalan trans Kalimantan yang saya lewati, beberapa kali saya melakukan dokumentasi dengan tangan kiri memegang ponsel, dan tangan kanan menjadi kendali atas laju skuter matik. Sebuah cara dokumentasi yang membahayakan, untungnya kondisi jalan mulus dengan lalu lintas yang sangat sepi. Sekawanan burung yang saya identifikasi dari jenis hornbill, mungkin kawanan Julang Emas, sedang terbang dengan santainya. Burung yang juga sering disebut sebagai Rangkong atau Enggang ini bagi sebagian sub suku Dayak disakralkan.

[caption id="attachment_274135" align="aligncenter" width="462" caption="Capture dari Video Amatir Hasil Karya Tangan Kiri Saya :)"]

1377361581926006843
1377361581926006843
[/caption] Link video: http://www.youtube.com/watch?v=jlir4Y-QVCM&feature=youtu.be Teringat pengalaman saya bersama teman-teman saat ikut lomba bird watching di Tahura Raden Soerjo, Jawa Timur, saat itu kami berhasil memotret SATU ekor Julang Emas yang sedang terbang. Walau gambar yang tertangkap hanyalah siluetnya, itu sudah cukup membanggakan. Tapi di sini, di antara barisan menara karst, bukan satu atau sepasang Julang Emas yang bisa kita temui, tapi serombongan! yang terbang seolah meloncat dari satu menara karst ke menara karst lainnya. Sayangnya saya tidak punya kamera yang memadai untuk mengabadikan momen langka tersebut, juga momen-momen indah lainnya. Hanya kamera ponsel dengan segala keterbatasan kemampuannya yang digunakan untuk mendokumentasikan momen-momen menarik selama perjalanan, karena memang saya tidak punya kamera. Hiks… Semoga setelah anda membaca tulisan ini, rasa iba muncul dan mendorong anda untuk mendonasikan kamera SLR yang masih baru. :D

Beberapa perkampungan yang saya lewati masih dihuni masyarakat adat Dayak Meratus, sangat jarang ditemui masyarkat adat tersebut bermukim di pinggir jalan provinsi. Biasanya mereka memilih untuk bermukim di pegunungan yang mampu mengakomodir sistem pertanian mereka yang membutuhkan lahan luas. Masyarakat adat Dayak Meratus telah lama menjadi benteng kelestarian lingkungan wilayah pegunungan yang menjadi jantungnya Kalimantan Selatan. Sistem pertanian berpindah yang mereka praktekkan menuntut kebutuhan lahan bertani yang luas, semakin luas lahan yang mereka kelola semakin banyak wilayah yang terjaga kelestariaannya. Kita tidak perlu meragukan keahlian dan kearifan mereka dalam memperlakukan alam, yang pastas diragukan adalah kita yang mengaku lebih terdidik. Namun ditengah gencarnya tekanan pertambang dan perluasan perkebunan kelapa sawit, “tugas” mereka dalam menjaga kelestarian lingkungan mulai sering mendapat tekanan.

Menara karst masih menjadi pemandangan yang menghiasi perjalanan saya, sementara kilometer yang ditempuh terus bertambah. Jalan mulus, lalu lintas sangat sepi, dan langit yang cerah membuat saya semakin leluasa untuk mengagumi serta mendokumentasikan keindahan pojok selatan Pulau Kalimantan ini. Semakin ke utara, jalan yang saya lewati mulai sering memberikan tanjakan dan turunan cukup tajam. Tampak di sisi kiri (barat) barisan Pegunungan Meratus yang membujur utara-selatan menjadi tulang punggung ekologi wilayah Kalimantan Selatan . Puluhan sungai penting yang membangun peradaban Kalimantan Selatan berhulu pada jajaran pegunungan ini. Sudah dapat dipastikan bahwa rusaknya lingkungan Pegunungan Meratus adalah bencana besar bagi kami warga Kalimantan Selatan. Inilah Heart of South Borneo yang anehnya tidak termasuk dalam inisiatif Heart of Borneo. Sebuah langkah pelestarian lingkungan Pulau Kalimantan yang digagas oleh WWF dan disepakati 3 negara, Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Masa bodoh dah…kami (kamu aja kali..) tidak perlu kesapakatan macam itu, saya hanya menginginkan perusahan tambang batubara bertanggung jawab untuk memulihkan bekas lahan konsesi mereka dalam tempo sesingkat-singkatnya, atau hengkang dari tanah kami. Toh kami juga bukan spesies manusia yang makanan pokoknya batubara. (sabar pak…sabar…)

[caption id="attachment_274138" align="aligncenter" width="605" caption="Heart of Borneo dan Heart of South Borneo"]

13773620161609782954
13773620161609782954
[/caption] Sumber foto dari laman http://wwf.panda.org/what_we_do/where_we_work/borneo_forests/ dengan sedikit penambahan dari saya.

Tidak ada gerbang mewah nan berlebihan layaknya kita temui ketika melintasi batas antar provinsi yang dilewati jalan negara. Ketika saya memasuki wilayah Kalimantan Timur yang dibatasi oleh sungai kecil dengan wilayah Kalimantan Selatan, hanya ada sebuah papan bertuliskan “ ANDA MEMASUKI WILAYAH HUKUM POLRES PASER” menyambut saya.Tidak yakin telah memasuki wilayah Kalimantan Timur, smartphone saya keluarkan untuk mencek posisi dengan aplikasi Google Maps yang terinstal. Benar saja, pointer berwarna biru yang merupakan posisi saya telah berhasil melintasi garis batas provinsi yang berwana putih. Jadi kurang dramatis…

Jalanan masih mulus, bahkan lebih mulus dengan marka jalan yang masih jelas membuat saya kecil hati.  “Nampaknya provinsi kaya ini memang benar-benar kaya” batin saya. Rasa kecil hati itu tidak bertahan lama dan berganti dengan kekhawatiran ketika ada rambu yang mengingatkan pengguna jalan bahwa jalan dalam kondisi rusak sepanjang 45 km! Senang sekaligus khawatir beraduk jadi satu seiring goncangan badan melibas jalan nan aduhai ini. Senang karena provinsi saya masih lebih baik, khawatir karena 45 km itu bukan jarak yang pendek. Berulang kali saya mencoba menafsirkan ulang angka “45 km” tersebut, dengan harapan mampu menemukan tafsiran yang melegakan hati. Mungkin saya salah baca, mungkin km 45 bukan 45 km, mungkin ini, mungkin itu, dan mungkin-mungkin lainnya sampai saya pasrah ketika beberapa kilometer setelah peringatan tersebut kualitas jalan masih sama. Selanjutnya..tidak ada yang menarik untuk diceritakan kecuali usaha saya untuk merenggangkan ketegangan otot dan tulang belakang.

Link video kondisi bagian jalan yang rusak, dan cukup banyak, dan panjang: http://www.youtube.com/watch?v=bjpsHOrtyn8

Kecamatan Paser Belengkong ternyata terletak sebelum Tanah Grogot apabila kita berangkat dari Batulicin, itu artinya saya bisa saja langsung mencari lokasi rumah Mas Lastanto tanpa harus ke Tanah Grogot. Namun hal itu tidak saya lakukan, selepas sholat dzuhur di masjid dekat pertigaan menuju Desa Suliliran Baru, desa tempat beliau bermukim, skuter matik kembali saya pacu menuju ibukota Kabupaten Paser, Tanah Grogot. Mengingat hari masih siang, dan besok saya harus pagi-pagi menempuh etape terpanjang Tanah Grogot – Banjarbaru, sekaranglah saat yang tepat untuk mengeksplorasi kota yang terletak di tepi Sungai Kandilo.

Kesan pertama yang saya tangkap dari kota ini adalah,,, sepi dan cantik. Beberapa jalan di dalam kota dibuat tiga lajur, sangat lebar mengingat lalu lintas kendaraan yang hanya segelintir. Taman-taman kota terawat dengan rapi, mungkin inilah kota paling bersih, rapi, dan nyaman di Kalimantan sejauh pengalaman saya. “Paser Buen Kesong” yang artinya Paser Berhati Baik menjadi motto kota tersebut, motto yang pantas untuk disandang. Wilayahnya tidak terlalu luas sehingga dalam waktu kurang dari sejam saya sudah berputar-putar di kota yang bernuansa ungu ini. Warna ungu menjadi warna “kebangsaan” di sana, beberapa fasilitas umum berkelirkan warna tersebut, cukup unik untuk dinikmati.

[caption id="attachment_274143" align="aligncenter" width="640" caption="Jalanan Kota Tanah Grogot. Lengang..."]

13773626691849132071
13773626691849132071
[/caption]

Menjelang sore saya singgah di sebuah warung makan untuk memenuhi tuntutan perut yang tertunda beberapa jam. Penjualnya masih menggunakan Bahasa Banjar, bukan Bahasa Paser yang merupakan bahasa setempat. Tidak perlu heran , Suku Banjar atau Urang Banjar telah tersebar merata di Pulau Kalimantan, utamanya di wilayah yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Selatan, yakni Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Rp. 24.000 untuk sewadah nasi, semangkuk sayur, dan seekor ikan nila bakar, harga yang biasa untuk ukuran Kalimantan, toh ini baru kali kedua dalam 3 hari saya mengeluarkan uang untuk membeli makan. :D

Selesai memenuhi tuntutan perut, saya kirimkan pesan untuk Mas Lastanto yang menyatakan bahwa saya segera menuju kediaman beliau di Paser Belengkong. Saya sempatkan dulu untuk melewati Jembatan Sungai Kandilo yang baru dibangun, jembatan tersebut menghubungkan kawasan kota dengan Desa Sungai Tuak. Jalan akses di sisi sebarang nampak belum selesai, sehingga jembatan ini belum berfungsi namun sudah dibuka. Jadilah saya berhenti di tengah jembatan untuk mengabadikan pemandangan ke arah Kota Tanah Grogot dengan Sungai Kandilo-nya.

[caption id="attachment_274144" align="aligncenter" width="640" caption="Jembatan Sungai Kandilo"]

13773627151593600603
13773627151593600603
[/caption]

Di seberang masjid tempat saya melakukan sholat dzuhur, skuter matik saya belokkan ke kiri menuju Desa Suliliran Baru sesuai plang penunjuk arah yang terpancang sebelumnya. Teriknya sengatan matahari sore masih bisa dirasakan ketika menyusuri jalanan rusak menuju kediaman Mas Lastanto. Kelapa sawit nampaknya menjadi gantungan hidup warga transmigran di sini. Belakangan saya ketahui, harganya yang Rp. 1.200,- per kilogramnya menjadikan warga giat menanam tanaman asli Amerika Selatan tersebut. Narasumber pertama nampak kebingungan dengan alamat tujuan yang saya tanyakan, berbeda dengan yang kedua. Bapak yang sedang duduk di warung bangkit lantas menunjukkan deretan umbul-umbul di ujung jalan, di sanalah kediaman orang yang sudah beberapa tahun tidak bertemu dengan saya.

Tidak perlu mengetuk pintu rumah, sosok yang saya cari keluar dengan senyum lebar. Jabat tangan erat menyambut kedatangan saya di rumah mungil ditengah kepungan perkebunan kelapa sawit. Senang rasanya bisa mengencangkan lagi ikatan kekeluargaan sebagai sesama anggota pencinta alam kampus yang kebetulan berkuliah di jurusan yang sama. Kedamaian dan kehangatan khas pedesaan berbaur dengan eratnya rasa persaudaraan sebagai orang yang pernah menyandang status sebagai anggota pencinta alam. Obrolan santai mengiringi matahari terbenam untuk menyinari sisi bumi yang lain. Di rumah beliau saya akan mengistirahatkan tubuh semaksimal mungkin karena besok etape terpanjang telah menanti, 376 km dari Kabupaten Paser menuju Kota Banjarbaru. //Hkm [caption id="attachment_274145" align="aligncenter" width="375" caption="Keluarga Mas Lastanto"]

13773628101061446006
13773628101061446006
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun