Mohon tunggu...
Arief Hakim
Arief Hakim Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti independen

hidup harus menghidupi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sendiri di Rinjani

21 Desember 2011   22:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:55 1335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_211845" align="aligncenter" width="500" caption=""Awan donat" mengelilingi puncak G. Rinjani"][/caption] "Are you crazy..??!!”

Itulah reaksi yang saya dapatkan ketika memberitahukan kepada Cathrine, seorang pendaki asal Amerika Serikat yang saya temui di Plawangan Sembalun tentang pendakian saya yang hanya seorang diri. Memang pendakian saya kali ini terbilang agak nekat dan sedikit bodoh. Bagi orang yang sadar akan bahaya obyektif dari gunung yang didakinya, tentulah dia tidak akan nekat seorang diri beradu kekuatan dengan kerasnya lingkungan gunung. Pendaki berpengalaman sekalipun tentu akan menyadari bahwa mendaki seorang diri bukanlah pilahan yang muncul dari akal sehat, melainkan hanya sekedar mencari sesuatu yang luar biasa, atau karena terpaksa seperti halnya pendakian saya kali ini. Gagal mendapatkan teman mendaki di Mataram, saya yang datang jauh-jauh dari Malang akhirnya memutuskan untuk terus melanjutkan perjalanan menuju Desa Sembalun.

Mungkin kita bisa mengeliminasi kemungkinan bahaya yang datang dari diri sendiri. Tapi bahaya dari alam, kita hanya bisa mengenali tanda-tandanya untuk dihindari. Ketika hal itu gagal kita lakukan hingga terjadi kecelakaan, siapa yang dapat diharapakan untuk menolong kita? Pemikiran seperti ini terus menemani saya selama menapaki jalur pendakian antara Desa Sembalun hingga tiba di Plawangan Sembalun. Hari itu, dengan beban sebuah tas carrier kapasitas 60 liter yang terisi penuh dan sebuah daypack berisi peralatan dokumentasi dan kesehatan saya menapaki jalur nan panas menuju Plawangan Sembalun. Sendiri tanpa ada teman yang dapat membagi penderitaan ketika harus melewati Tujuh Bukit Penyesalan. Terpanggang matahari di tengah savana mulai Pos I Pemantauan benar-benar menguras energi, sehingga perjalanan yang diperkirakan akan memakan waktu 6-7 jam saya tempuh selama 9 jam.

[caption id="attachment_211846" align="alignright" width="300" caption="Foto terbaikku. Self portrait..!!!"]

13505138721519019974
13505138721519019974
[/caption] Lembayung senja masih nampak jelas di ufuk barat ketika saya berhasil mencapai Plawangan Sembalun, tempat dimana saya akan beristirahat untuk menyiapkan pemuncakan pertama saya ke titik tertinggi Pulau Lombok. Nampak samar-samar Gunung Barujari yang muncul di tengah-tengah Danau Segara Anak menambah syahdu suasana senja. Malam itu, Cathrine bersama kekasihnya telah nyaman di dalam tenda ketika dia mendengar saya bercakap-cakap dengan porter dan guide-nya. Saya membutuhkan informasi keberadaan sumber air dari mereka. Turun ke sisi yang berlawanan dengan kaldera Segara Anak saya mengisi botol-botol dengan air yang mengucur deras dari sisi tebing.

[caption id="attachment_211847" align="alignleft" width="300" caption="Tendaku yang paling kiri. Plawangan Sembalun"]

13505144431252207505
13505144431252207505
[/caption] Tenda mungil saya telah berdiri menantang angin bersisian dengan cerukan yang diharapkan bisa menahan terpaan angin malam. Makan malam hanya separuh yang bisa saya habiskan, kelelahan menyebabkan nafsu makan berkurang. Tidak peduli bahwa saya telah menghapus makan siang dari rencana pendakian tadi. Rencana pemuncakan saya matangkan sambil membungkus diri di dalam kantung tidur. Kemana saya akan menitipkan tenda selama mendaki ke puncak? Pertanyaan yang penting untuk dijawab mengingat meninggalkan tenda tanpa penjagaan di Plawangan Sembalun sama dengan menyediakan pesta secara cuma-cuma kepada kelompok monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang ada lokasi ini. Akhirnya saya memutuskan berangkat bersama rombongan Cathrine sekaligus meminta porter­ mereka untukmenjaga tenda saya.

Pukul 5:00 pagi saya mulai melangkahkan kaki untukmenggapai puncak Gunung Rinjani yang memiliki elevasi 3726 m dpl. Mengekor rombongan mereka hingga sampai di bibir kaldera Segara Anak, saya terus menambah ketinggian. Dari arah timur nampak matahari telah muncul menghangatkan bumi. Terlambat memang, idealnya ketika matahari terbit saya telah berada di puncak. Namun apa mau dikata, saya harus mengikuti jadwal mereka yang ternyata hanya menargetkan pendakian hingga bibir kaldera untuk bisa menyaksikan Danau Segara Anak beserta Gunung Barujari.

[caption id="attachment_211848" align="alignleft" width="300" caption="Igir tipis menuju puncak"]

1350514708609218298
1350514708609218298
[/caption] Jalur menuju puncak yang tersisa saya tapaki sendirian, sambil beberapa kali melempar senyum pada rombongan yang turun setelah sukses menggapai puncak. Pasir dan kerikil dikombinasikan dengan terjalnya jalur pendakian benar-benar membuat frustrasi. Berkali-kali memotivasi diri namun berkali-kali pula keinginan untuk menyerah menghantui. Langkah kaki begitu berat manapaki pasir dan kerikil yang menenggelamkan kaki sebatas matakaki. Perlahan namun pasti saya bisa menemukan ritme pendakian dan berhasil mengesampingkan keinginan untuk mundur. Berjalan di igir sempit dengan sisi kaldera di sebelah kanan benar-benar menuntut saya untuk tetap berkonsentrasi penuh jika tidak ingin menjadi korban yang ke sekian dari gunung ini.

[caption id="attachment_211849" align="alignright" width="300" caption="Berpose sendiri di puncak"]

1350514845899323834
1350514845899323834
[/caption] Setelah berjuang selama kurang lebih 4 jam, akhirnya puncak Gunung Rinjani berhasil saya gapai. Dengan sisa-sisa tenaga, kamera SLR analog saya fungsikan untuk mengabadikan momen berharga ini. Langit cerah menyingkap keberadaan Gunung Tambora di arah timur dan Gunung Agung di barat. Nampak kaldera Gunung Rinjani yang menjadi Danau Segara Anak di bawah sana. Warna airnya yang hijau kebiru-biruan kontras dengan tubuh Gunung Barujari yang suram minim vegetasi.

[caption id="attachment_211855" align="alignleft" width="300" caption="Pemandangan ke arah Segara Anakan dari Puncak Gunung Rinjani"]

13505153581997857438
13505153581997857438
[/caption] Penderitaan selama dua hari ini ternyata dibayar lunas oleh pemandangan indah yang tersaji. Ditambah nikmatnya berendam di mata air panas Segara Anak ketika perjalanan turun menuju Desa Senaru. Selama 2 hari saya habiskan di Danau Segara Anak untuk melepas lelah selama pendakian menuju puncak. Berkenalan dengan penduduk lokal yang sedang memancing dan bersama-sama menyantap hasil tangkapan mereka sungguh suatu nikmat yang ternilai. Inilah mungkin jawaban bagi orang-orang yang masih bingung tentang tujuan mendaki gunung. Kami tidak bisa memberikan jawaban, tapi kami tahu di mana anda bisa menemukan jawabannya, mendakilah..!!! //Hkm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun