Mohon tunggu...
Arief Budiman
Arief Budiman Mohon Tunggu... Konsultan - Chief Political Officer - Political Strategy Group (PSG)

Ketua komunitas profesi kebijakan publik dan hubungan pemerintahan. Indonesia Public Policy&Government Affairs Group (IPPGA)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menanti Transisi Bermartabat

26 Februari 2024   10:42 Diperbarui: 26 Februari 2024   11:08 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sengat terik matahari dan hawa panas yang keluar dari desak kerumunan ribuan warga sudah tak lagi terasa. Thamrin 'avenue' dari Bundaran HI hingga depan Istana Merdeka senin siang 20 Oktober 2014 menjadi saksi sejarah prosesi rakyat untuk menghantar Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang akan memasuki Istana Merdeka. Kereta kencana yang ditumpangi mereka menambah rasa sakral ditengah meriah keriuhan 'kemenangan rakyat' kala itu.

Jokowi the incoming president sesekali terlihat gugup lalu disambut oleh upacara transisi kepresidenan yang singkat, namun khidmat. Ekspresi SBY sang outgoing president tampak lega melepas syukur 2 periode kekuasaannya. Sayangnya, upacara transisi kepresidenan yang begitu terhormat itu tidak pernah dialami oleh para presiden sebelumnya.

Sekitar 2 bulan sebelum 20 Oktober yaitu 4 Agustus 2014, Jokowi sebagai President-Elect membentuk tim transisi untuk memastikan pengelolaan ruang APBN yang cukup dan prioritisasi kebijakan nasional yang luwes agar era Jokowi bisa dimulai efektif tanpa terlalu dikunci oleh APBN 2015 yang sudah disahkan sebelum ia menjabat, mematangkan konsep kelembagaan pemerintahan dibawah presiden, termasuk mempersiapkan rancangan personalia kabinet agar sesuai dengan garis politik Presiden Terpilih.

Di Amerika, proses transisi diatur melalui Presidential Transition Act tahun 1963. Terakhir disempurnakan untuk ketujuh kalinya di Electoral Count Reform and Presidential Transition Improvement Act tahun 2022 yang melahirkan konsep 'apparent successful candidate'. Suatu konsepsi yang lebih maju lagi dari posisi president-elect, agar tidak terlalu lama terjebak pada hiruk-pikuk konflik elektoral pasca pemilihan umum.

Konsepsi apparent successful candidate didukung oleh kuatnya budaya concede dari 'apparent unsuccessful candidate' yang sepertinya alot untuk dilaksanakan di Indonesia. Dua hal itu sangat dipengaruhi oleh kredibilitas lembaga penyelenggara pemilu. Kekisruhan rekapitulasi perhitungan suara yang hampir selalu berulang adalah penyebab sulitnya Indonesia membangun budaya concede atau menerima kekalahan.

Pada konteks Pilpres 2024, Prabowo-Gibran adalah apparent successful candidate dan itu tentu tidak mengurangi hak konstitusional para apparent unsuccessful candidates (Paslon 01 & 03) untuk menuntut keadilan di Mahkamah Konstitusi, termasuk para partai pengusungnya masing-masing untuk menggelontorkan hak angket di DPR RI sebelum 1 Oktober 2024.

Maka dalam posisi sebagai apparent successful candidate itu, Prabowo tidak bisa menyerahkan kerja transisi sepenuhnya kepada Jokowi. Peralihan kekuasaan tidak hanya sekadar bicara tentang bagaimana seperangkat janji kampanye bisa ditransformasikan menjadi kebijakan teknis yang feasible secara regulasi dan birokrasi, atau kabinet baru. Kerja transisi adalah tentang bagaimana mengelola kehendak presiden baru yang ia butuhkan untuk membangun konfigurasi landscape politik nasional di masa kepresidenannya.

Sangat muskil jika keberlanjutan yang diusung Prabowo di masa kampanye dimaknai sepenuhnya sama dengan Jokowi. Dalam fitrahnya sebagai manusia, keduanya jelas berbeda latar belakang dan pengalaman. Sehingga substansi dan strategi kepresidenan pun akan jelas berbeda.

Inilah esensi dari pengelolaan transisi kepresidenan. Jokowi harus tahu batas dirinya, termasuk dengan memberikan kepercayaan penuh kepada putranya dibawah President-Apparent Prabowo. Meskipun terdapat faktor dukungan Jokowi, berapa pun skala pengaruh dan bagaimana pun wujud dukungannya, apresiasi dari Prabowo terhadap Jokowi tetap harus wajar karena rakyat pemilih mencoblos Prabowo bukan Jokowi. Sehebat apapun Jokowi, ia adalah presiden biasa yang akan segera pensiun.

Maka tim transisi harus menjamin terselenggaranya kolaborasi demokratis bersama seluruh pemangku kepentingan kebijakan publik. Tim ini perlu membuka peta jalan kelembagaan pemerintahan Prabowo dengan kekuatan policy delivery yang efektif dan demokratis serta etos kerja yang akuntabel. Tim transisi juga sepantasnya mampu memberikan ruang sehat bagi oposisi terukur agar perancangan kebijakan mengalami babak adu pemikiran yang sehat supaya terjadi proses penyempurnaan kebijakan secara konsisten demi kepentingan rakyat, apapun pilihannya.

Tata kelola transisi juga menjadi momentum krusial bagi Partai Gerindra untuk menunjukkan kemampuannya dalam mengelola kekuasaan sebagai partai utama presiden. Meskipun Pileg 2024 belum mampu menghantarkan Gerindra sebagai pemenang, Gerindra bisa belajar dari kekurangan Partai Demokrat, parpol terbesar kelima di masa SBY 2004-2009.

Gerindra bisa mengambil peranan fundamental bagi tata kelola kepresidenan demi meniti konstelasi yang lebih bersahabat bagi dirinya untuk pemilu 2029. Indonesia Emas 2045 masih harus melewati 5 Pemilu lagi. Prabowo dan Gerindra pun pasti tahu betul bahwa mengelola pemerintahan republik tidak bisa dengan 'pergemoyan'. Biarlah gemoy berlalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun