Saya ingin menulis apa yang saya baca dan dapatkan dari sebuah buku yang menginspirasi saya. Berawal ketika saya mencari-cari video youtube, dan di sebuah video podcast yang saya dapatkan tentang end game dari wawancara Pak Gita Wiryawan dengan Leontinus Alpha Edison, Co-founder PT Tokopedia, munculah kata-kata dari Pak Gita Wiryawan “udah baca bukunya Satya Nadella nggak?” “ Saya sudah beli tapi belum baca” dijawab oleh Leon. “Oke, itu dia…Ya saya udah pernah berapa kali ngomong mengenai ini. Lucunya itu, dia apa sih, memprioritaskan empati. “ Iya betul, betul. Itu saya baca artikelnya.”balas Leon. “Iya kan? , Dia nggak memprioritaskan software development,cloud ini itu ini itu, Empati. Dan dia tiap minggu meeting senior-seniornya, hanya ngomong mengenai keluarga, terus mengenai anggota keluarga, dan segalanya, gimana kita bisa kasih empati. Dalam berapa tahun tuh harga sahamnya bisa naik kalau nggak salah 3x atau 4x. Luar biasa.” “ Penting pak itu. Posisi leader dengan leadership yang baik itu sangat-sangat penting” timpal Leon.
Seketika saat itu juga saya meluncurlah ke suatu market place untuk mencari buku itu. Ternyata buku itu berjudul Hit Refresh yang ditulis Satya Nadella, CEO Microsoft, penerus Kepemimpinan Microsoft setelah Bill Gates dan Steve Balmer. Singkat cerita, buku itu pun akhirnya ada di tangan saya. Menurut saya buku ini menarik bukan hanya karena berkisah tentang empati dan transformasi budaya di Microsoft tetapi buku ini juga ditulis Satya Nadella saat masih menjabat sebagai CEO.
Ada tiga hal menarik yang saya ingin bagikan ke teman-teman tentang buku ini. Yang pertama ketika kurangnya rasa empati yang hampir menggagalkan kesempatan Satya Nadella bergabung di Microsoft pada usia 20-an dahulu. Waktu itu dia ingat setelah seharian wawancara dengan berbagai pimpinan tekhnik yang menguji ketabahan dan kemampuan intelektual, Satya menemui Richard Tait. Richard Tait adalah manajer yang sedang naik daun yang nantinya menemukan game Cranium. Richard tak menyodorkan persoalan teknis yang harus dipecahkan di papan tulis atau scenario pemrograman kompleks untuk dibahas. Dia tak menanyakan pengalaman kerja sebelumnya atau latar belakang pendidikan Satya. Dia mengajukan pertanyaan sederhana.
“ Seandainya kau menemukan bayi tergeletak di jalan dan sedang menangis, apa yang kau lakukan?” tanyanya. “Memanggil 911,” jawab Satya tanpa pikir panjang.
Richard mengantar Satya ke pintu ruang kantornya sambil merangkul dan berkata, “ kau perlu lebih berempati, Bung. Jika ada bayi tergeletak di jalan dan menangis , gendong dia.” Entah bagaimana Satya tetap diterima, tetapi kata-kata Richard tetap terngiang sampai saat ini di kepala Satya. Tak terlintas dalam pikiran Satya bahwa tak lama kemudian Satya akan belajar berempati dengan cara yang sangat pribadi.
Yang kedua, pada saat kunjungan Satya ke ICU dimana anaknya Zain dirawat, memang di buku ini diceritakan sejak lahir anaknya butuh banyak perawatan khusus, bahkan disebutkan Seattle Children’s Hospital menjadi rumah kedua bagi keluarga Satya. Satya melihat di ruangan ICU Zain banyak alat-alat medis yang bekerja menggunakan Windows dan betapa alat-alat itu semakin terhubung dengan adanya cloud technology. Pemandangan ini menjadi menjadi pengingat Satya bahwa sesungguhnya karya di Microsoft lebih dari sekedar bisnis. Lebih dari itu karya di Microsoft telah menghadirkan kehidupan bagi sesosok anak muda yang rapuh, anak-anak yang perlu perawatan intensif seperti layaknya anaknya, Zain.
Dan di buku ini ditulis bahwa mustahil menjadi pemimpin yang berempati dengan duduk seharian di depan layar komputer. Pemimpin berempati harus berada di lapangan, menemui orang-orang di rumahnya dan menyaksikan bagaimana teknologi yang diciptakan memengaruhi aktivitas mereka sehari-hari. Begitu banyak orang di seluruh dunia yang mengandalkan perangkat dan teknologi cloud tanpa disadari.
Yang ketiga adalah pelajaran kepemimpinan yang didapat Satya dari permainan Kriket. Pada suatu pertandingan Satya pernah memberikan lemparan bola yang sangat mudah bagi pemukul lawan. Lawan pun memukulnya dengan keras. Di situasi seperti itu, kapten tim Satya, justru menunjukkan sikapnya sebagai pemimpin sejati kepada Satya. Ketika giliran Satya selesai ( sudah melempar bola enam kali), sang kapten mengganti Satya dengan dirinya meskipun sang kapten lebih bagus sebagai pemukul daripada sebagai pelempar bola. Dengan cepat, sang kapten mengambil posisi di wicket saat pemukul sudah keluar area. Biasanya, pemain yang berdiri di wicket akan menjadi pelempar bola pada giliran selanjutnya. Namun, alih-alih melempar bola, dia malah langsung memberikan bola kepada Satya, dan Satya pun mendapat giliran melempar sebanyak tujuh kali.
Mengapa dia begitu? Satya menduga, sang kapten ingin kepercayaan diri Satya kembali. Ketika itu, musim pertandingan baru mulai dan sang kapten ingin agar Satya bermain baik sepanjang musim. Sang kapten adalah pemimpin yang berempati dan paham jika rasa percaya diri Satya hilang, akan sulit mendapatkannya kembali. Inilah pelajaran penting dan bijak tentang kapan saatnya turun tangan dan kapan membangun rasa percaya diri seseorang atau satu tim. Satya merasa mungkin inilah tugas nomor satu yang harus dilaksanakan seorang pemimpin: memperkuat rasa percaya diri anak buah.
Lalu apa yang bisa kita pelajari dari ketiga hal tadi?