Polemik terkait UU ITE kian ramai dibincangkan oleh khalayak, "korban-korban" pun juga turut bersuara terhadap UU yang konon banyak sekali pasal karet didalamnya.Â
Mengapa hal ini bisa terjadi ? mungkin saja pada masa penggodokan UU ini masih belum terlalu matang sehingga saat ini pada era 4.0 yang hampir seluruh kegiatan hampir dilakukan melalui transmisi elektronik.Â
Sesuai dalam Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia", Â
Harusnya konstitusi ini dapat membantu, memudahkan dan melindungi masyarakat dalam segala aktifitas yang didasari oleh transmisi elektronik, namun tidak sedikit masyarakat yang justru terjerat dalam UU tersebut, yang seharusnya menjadi korban bisa saja justru menjadi tersangka. Masyarakat harus turut andil terhadap Revisi UU ITE sebelum draft diserahkan kepada DPR,Â
Melalui Menko Polhukam, Mahfud MD menyatakan bahwasannya baik dari akademisi, praktisi hukum, LSM, korban UU ITE, pelapor, politisi, jurnalis perorangan maupun asosiasi masih dapat memberikan aspirasi dan masukan-masukan terhadap Revisi UU ITE tersebut.Â
Khususnya ada 4 pasal yang rencananya akan direvisi antara lain adalah Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36. Perbaikan ini juga satu paket dengan penambahan satu pasal dalam UU ITE, yakni pasal 45C.Â
Revisi UU ITE ini didukung penuh oleh Presiden RI Ir. Joko Widodo, pasalnya beliau juga turut berempati terhadap salah satu Guru yang telah menjadi "korban" daripada UU ITE tersebut, sampai-sampai beliau memeberikan amnesti terhadap Guru yang dilecehkan oleh Kepala Sekolahnya kemudian ia mentransmisikan pesan tersebut.Â
Rencananya dalam merevisi UU ITE ini akan berkolaborasi dengan lintas kementrian, adapun kementrian yang terlibat adalah Menko Polhukam, Menkumham, Menkominfo, Kepolisian, Kejaksaan Agung serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).Â
Revisi ini akan dilakukan secara terbatas dan sementara 4 pasal yang disebutkan diatas tadi menjadi target utama karena, banyak sekali multitafsir dan diskriminasi yang terkandung dalam ayat-ayat yang terkandung di dalam batang tubuh UU ITE tersebut.Â
Saat ini draft yang sudah berada di Kementrian Hukum dan HAM itu akan segera dibawa ke PROLEGNAS (Program Legislasi Nasional) 2021 yang kemudian akan dikaji lagi oleh DPR untuk mematangkan UU ITE yang diharapkan bisa lebih berperikeadilan terhadap rakyat. Reformulasi pasal ini berdasarkan putusan MK terkait pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 UU ITE.Â
Dalam putusan tersebut MK memberikan beberapa usulan terkait penambahan.  ataupun memperjelas daripada isi UU ITE. Kemerdekaan pers pun dipertanyakan dalam UU ITE ini, apakah pemberitaan yang berkaitan dengan pribadi seseorang dapat dipidana ?. Dalam Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik", Pasal tersebut bisa saja disalahgunakan oleh pribadi yang merasa terganggu atau terusik dengan adanya pemberitaan ataupun informasi terkait terhadapnya, karena tidak ada pembedaan ataupun pengklasifikasian terhadap aktivitas jurnalisme yang memiliki aturan dan kaidah-kaidah tersendiri dalam mendistribusikan informasi kepada khalayak umum. Dalam hal ini masyarakat yang telah merasa dirugikan dengan keberadaan UU tersebut malah menuntut agar UU tersebut dicabut atau dihapuskan, namun menurut Mahfud MD, apabila kita mencabut ataupun menghapuskan UU tersebut sama saja dengan  "Bunuh Diri" karena UU inilah yang diharapkan mampu untuk membantu, menunjang dan melindungi masyarakat dalam segala aktifitas masyarakat yang berkaitan dengan transmisi elektronik. UU ini memang kontroversial sedari awal, namun belum baru ditahun ini  UU tersebut di tinjau kembali dengan melakukan beberapa revisi baik itu pengurangan, perubahan redaksional kata dan juga penambahan guna memperjelas dan menegaskan. Mahfud juga mengatakan bahwasannya akan ada pemilahan dari pada delik aduan sehingga nantinya kasus-kasus akan dipilah sebagaimana mestinya. Masyarakat berharap bahwasannya Revisi UU ITE ini tidak akan membuat UU tersebut menjadi mentah lagi ataupun malah bertambah kacau, masyarakat mengharapkan tidak ada lagi pasal-pasal yang multitafsir sehingga menyebabkan tebang pilih keadilan nantinya.  Adapun M. Arsyad yang merupakan korban sekaligus anggota daripada paguyuban korban UU ITE sempat mempertanyakan kepada Mahfud MD, ia mempertanyakan bagaimana nasib masyarakat yang telah dipenjara dan menjadi korban dari UU ITE, Mahfud MD menjawab bahwasannya apabila sudah dipenjara maka berarti proses hukum telah selesai. Banyak hal yang masih membuat pertanyaan di benak kita, salah satunya terkait Ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan bahwa "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ataupencemaran nama baik". Pasal tersebut masih tidak jelas siapa yang boleh melaporkan kasus tersebut, karena banyak sekali korban yang terjerat akibat UU ini yang mana pihak pelapor merupakan suatu instansi, perusahaan maupun lembaga tertentu, sedangkan menurut perspektif lain, yang boleh menggunakan pasal tersebut sebagai suatu landasan hukum akibat peristiwa yang dialaminya adalah perorangan atau individu, sehingga  perusahaan tidak bisa melaporkan dengan tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Pasal tersebut seringkali disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki kewenangan, maka dari itu Mahfud MD menegaskan bahwasannya hal tersebut akan diperjelas sehingga tidak ada lagi multitafsir. Selain itu Pasal 28 tentang penyebaran berita bohong dan menyesatkan, serta menimbulkan kebencian beserta SARA, juga ikut direvisi. Tidak bisa disebutkan satu-persatu pula terkait kasus yang ada di Indonesia terkait pelanggaran pada Pasal 28 tersebut, terutama kasus ini sering sekali menimpa kalangan-kalangan yang dengan latar belakang  literasi media maupun literasi hukum yang rendah. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka melakukan sosialiasi UU ITE kepada masyarakat adalah salah satu fungsi DPR sebagaimana mereka memiliki tanggung jawab penuh terhadap masyarakat dalam pengetahuan terkait UU yang berlaku di Indonesia, namun hal ini tidak dilakukan secara rutin dan massif, sehingga menyebabkan banyak sekali masyarakat yang buta hukum. Di pelosok-pelosok daerah yang notabene nya mereka terhitung baru dalam penggunaan teknologi, seharusnya lebih diperhatikan sehingga dalam penggunaannya tidak ada lagi yang terjerat UU ITE ini nantinya. Sebagai masyarakat kita harus mengkritisi aturan-aturan dan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, karena bisa saja hak kebebasan kita direnggut dalam dalih peraturan untuk keadilan maupun kesejahteraan. Apalagi UU ITE ini merupakan UU yang sangat vital untuk kita dalam menjalankan kehidupan sebagai seorang Warga Negara Indonesia  (WNI). Harapannya adalah ketika masyarakat menyuarakan aspirasinya yang bermaksud untuk mengkritik di media sosial ataupun media-media yang melewati proses transmisi elektronik tidak lagi dijerat oleh UU ITE. Jangan sampai ada lagi korban menjadi tersangka, tersangka menjadi pelapor sehingga menimbulkan ketimpangan dalam masyarakat. Bisa saja masyarakat kita ingin melaporkan suatu kasus kepada kepolisian, namun karena berkaca dari kasus serupa yang malah menjadi boomerang kepada masyarakat akhirnya masyarakat merasa takut untuk mengungkap kasus tersebut dan memiliih untuk diam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H