Dunia saat ini sedang mengalami Global Pandemic Corona Virus Disiase-19 (Covid-19) sebagaimana dinyatakan oleh World Health Organization (WHO) pada 11 Maret 2020. Pandemi Covid-19 telah melanda setidaknya 214 negara termasuk Indonesia dan memaksa lebih dari setengah umat manusia mengunci diri di dalam rumah. Pandemi Covid 19 di Indonesia diawali dengan temuan penderita penyakit Covid-19 pada 2 Maret 2020 yang selanjutnya berdampak pada meningkatnya jumlah korban dan meluasnya cakupan wilayah terkena bencana, serta menimbulkan implikasi pada aspek sosial ekonomi yang luas di Indonesia. Hingga akhirnya pada 13 April 2020, Pemerintah Indonesia menetapkan status bencana non alam terhadap wabah penyakit virus corona Covid-19 pada dengan diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penyebaran Corona Virus Disiase (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.
Pandemi Covid-19 sangat berdampak pada dunia pendidikan di Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan pendidikan jenjang dasar dan menengah berubah secara dramatis hanya dalam waktu hitungan hari. Pandemi ini telah mengakibatkan 404 ribu sekolah tutup di Indonesia. Secara nasional, lebih dari 51 juta peserta didik dari PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, SLB keluar dari ruang kelas. Sekolah formal mendadak dipaksa secara serentak menggunakan aplikasi media pembelajaran jarak jauh bagi siswanya, tanpa persiapan yang matang, demi mengantikan pembelajaran tatap muka di kelas. Para guru secara tiba-tiba pula melakukan sesuatu yang berbeda dalam pemberian pelajaran kepada siswanya. Ada yang canggung dengan tekhnologi, akibatnya para guru hanya memberikan tugas setiap harinya. Sehingga siswa tidak memiliki flesksiblitas waktu di rumah karena banyaknya tugas diberikan oleh para guru. Namun ada juga guru yang mampu memanfaatkan momen pandemi ini untuk meningkatkan potensi manfaat aksesibilitas platform digital dengan membuat konten pembelajaran e-learning yang khas, sehingga siswa merasa senang dan nyaman dalam belajar. Akan tetapi guru yang mampu tersebut masih sedikit, tidak sebanding dengan jumlah siswa yang banyak. Selain itu ada juga instansi-instansi yang sibuk membuat tayangan TV dengan menyuguhkan pembelajaran ala kadarnya yang penting ada kegiatan belajar online.
Kegiatan pembelajaran kondisi pandemi yang dilakukan oleh Sekolah terkesan hanya dibuat dalam jangka pendek dan bersifat sementara, sambil menunggu perkembangan, WAIT AND SEE, sambil dilihat-lihat, toh nanti akan kembali normal seperti sedia kala. Polemik tentang masa pandemi berakhir sangat mempengaruhi pihak sekolah. Ada beberapa pakar memprediksi pandemi Covid-19 di Indonesia akan mulai berakhir pada awal Juni 2020 dan bahkan akhir tahun 2020. Namun ada juga padangan yang berbeda seperti Studi yang dilakukan oleh Budi Sulistyo, et.al. (2020) yang memperkirakan, bahwa dengan penangan social distancing longgar seperti yang sekarang terjadi diprediksi pandemi Covid-19 baru berlalu sekitar setahun lagi yaitu Maret 2021. Lebih ekstrim lagi studi dari Harvard University memprediksi bahwa tindakan menjauhkan jarak secara berselang-seling mungkin diperlukan hingga tahun 2022 kecuali jika kapasitas perawatan kritis ditingkatkan secara substansial atau perawatan atau vaksin tersedia.
Situasi yang membuat Sekolah sebagai lembaga pendidikan berperilaku WAIT & SEE seperti ini, secara tidak langsung mirp dengan perilaku “Katak di Rebus”, yaitu kondisi dimana ada seekor katak tidak melompat bahkan merasa nyaman di taruh dalam kuali yang berisikan air dingin kemudian dipanaskan secara perlahan-lahan. Padahal sebenarnya katak tersebut tidak mengetahui bahaya kematian ketika direbus. Itulah ibarat pendidikan kita saat ini.
Pendidikan di Indonesia saat ini sedang dalam krisis. Bahkan sebelum pandemi Covid-19 melanda, dalam kondisi normal, sebenarnya kondisi pendidikan di indonesia masih belum baik jika dilihat dari peringkat Indonesia dalam survei PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018. Indonesia berada pada posisi urutan bawah dari 77 negara, yang dicerminkan dari posisi kemampuan siswa Indonesia yang berada di posisi 74 dengan skor 371, posisi kemampuan matematika di posisi 73 dengan skor 379 dan posisi kemampuan sains di posisi 71 dengan skor 396. Ditambah lagi perubahan paradigma ketika pandemi Covid-19 ini, perubahan paradigma pembelajaran yang sangat cepat dan tidak direncanakan ke pembelajaran online - tanpa pelatihan, bandwidth tidak mencukupi, dan sangat sedikit persiapan – tentu saja akan menghasilkan pengalaman belajar siswa yang buruk. Kondisi ini tidak kondusif untuk berkelanjutan pengembangan pendidikan dan pencapaian standar kompetensi minimal yang harus diraih oleh seorang siswa.
Disrupsi Covid-19 secara tidak langsung telah merubah paradigma pendidikan. Pandemi ini telah benar-benar mengganggu sistem pendidikan dan mengakibatkan pendidikan kehilangan relevansinya. Sekolah yang semula berfokus pada keterampilan akademik tradisional secara mendadak tiba-tiba harus pindah ke pembelajaran online yang lebih condong memberikan peluang kemampuan pemikiran kritis dan kemampuan beradaptasi.
Oleh karenanya para pemimpin pada lembaga pendidikan harus secara sadar segera mengambil langkah yang cermat untuk melakukan transformasi total sistem pendidikan di Sekolah. Dan tidak perlu menunggu instruksi dari pusat, apalagi menunggu pandemi Covid-19 cepat berakhir di tahun ini. Jika pandemi dapat berakhir tahun ini pula maka patut disyukuri karena kondisi demikian yang diharapkan. Akan tetapi apabila pandemi Covid-19 masih berlangsung sampai dengan tahun 2022, maka Sekolah harus sudah memiliki rencana cadangan yang cermat dan dipersiapkan dengan matang, mengingat mendidik generasi Bangsa ini tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Tentu transformasi total sistem pendidikan tidak mudah, perlu adanya “Survival Innovation”. Setidaknya ada 3 jenis gagasan utama Survival Innovation yang dapat dilakukan yaitu:
Pertama, gagasan Digital Innovation ini berupa integrasi teknologi informasi dalam pendidikan pada lini terdepan pendidikan yaitu tingkat sekolah. Inovasi ini harus semakin dipercepat untuk diwujudkan secara terstuktur dan sistematis serta harus adanya jaminan inovasi digital berupa pendidikan online menjadi komponen integral model pendidikan hibrid di sekolah. Siswa diberikan akses teknologi ke sumber belajar dan bahkan dibimbing belajar keterampilan teknis melalui media komputer, laptop, tablet dan ponsel yang terhubung dengan internet. Bagi siswa yang memang memiliki akses ke teknologi yang tepat, ada bukti bahwa belajar online bisa lebih efektif dalam beberapa cara. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rata-rata, siswa mempertahankan 25-60% lebih banyak materi di dalam otaknya ketika belajar online dibandingkan dengan hanya 8-10% di ruang kelas. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar disebabkan oleh kemampuan siswa dapat belajar lebih cepat secara online. E-learning membutuhkan 40-60% lebih sedikit waktu untuk belajar daripada di lingkungan kelas tradisional, karena siswa dapat belajar dengan cara mereka sendiri, kembali dan membaca kembali, melewatkan, atau mempercepat melalui konsep yang mereka pilih sendiri. Namun demikian, efektivitas pembelajaran online bervariasi di antara kelompok umur. Konsensus umum menyatakana bahawa anak-anak yang lebih muda memerlukan lingkungan yang terstruktur, karena anak-anak tersebut lebih mudah terganggu. Untuk mendapatkan manfaat penuh dari pembelajaran online, perlu ada upaya bersama untuk menyediakan struktur ini. Dengan mereplikasi kelas fisik melalui kemampuan video, menggunakan berbagai alat kolaborasi dan metode keterlibatan menggugah inklusi, personalisasi dan intelijen dari siswa. Untuk itu pemimpin Sekolah harus mempersiapkan tenaga pengajarnya menjadi fasilitator pengembangan kompetensi siswa dan sekaligus sebagai pencipta konten pendidikan digital yang handal dalam waktu yang tidak terlalu lama. Inovasi Digital tidak selalu dimaknai dengan pembelajaran online, namun dapat juga berupa aplikasi offline dengan berbagai strategi penyampaian materi dalam bentuk digital based content khususnya untuk pembelajaran di daerah yang tidak terjangkau dengan internet dengan baik.
Kedua, gagasan Collaboration Innovation ini berupa upaya untuk menghadirkan pengalaman baru melalui kolaborasi dan kokreasi antar sekolah yang sejenis baik secara mandiri per-sekolah maupun per-propinsi/kabupaten/kota. Seperti penyiapan bahan ajar/modul bersama, penyelenggaran kelas bersama, masyarakat/DUDI berpartisipasi sebagai pengajar, saling berbagi buku pelajaran dan seterusnya. Inti dari inovasi ini adalah menyatukan sumber daya dan kekuatan melalui kolaborasi dan kokreasi. Inovasi ini adalah langkah cerdas untuk menciptakan extraordinary value ke masyarakat khususnya para siswa yang tidak mungkin diwujudkan jika masing-masing sekolah berjalan sendiri-sendiri. Selain itu gagasan ini akan lebih dominan dilakukan oleh Pemerintah untuk menangani pendidikan di daerah khusus/3T. Inovasi ini dapat dipersiapkan dan dapat dilakukan sejak momen Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajar baru yang akan segera dimulai pada juni 2020.