Mohon tunggu...
Arie Anisa Ulfitroh
Arie Anisa Ulfitroh Mohon Tunggu... -

Arie Anisa Ulfitroh PGSD 2013 Universitas Ahmad Dahlan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membaca untuk Perubahan

12 November 2014   05:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:01 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik




Membaca untuk Perubahan

Oleh :ArieAnisaUlfitroh

Data dari UNESCO menunjukkan indeks membaca masyarakat Indonesia yang amat rendah, yaitu 0,001. Artinya dari 1000 orang hanya 1 orang yang memiliki minat baca. Berbeda jauh dengan Singapura yang memiliki indeks membaca 0,45 atau 45 dari 100 orang. Memang kita tidak bisa menilai indikasi rendahnya minat baca tersebut hanya dari indeks membaca. Tapi fakta lapangan lebih membuktikan kejadian tersebut. Di jalanan, di pasar, di kendaraan umum bahkan di kelas-kelas pembelajaran lebih ramai dengan pembicaraan issue yang menyebar dari mulut ke mulut atau nyanyian-nyanyian.

Wajar saja jika akhirnya kesadaran untuk membangun bangsa ini rendah. Pramoedya Ananta Toer pernah berkata,” tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat suatu kebajikan untuknya.” Bahkan di era penjajahan pun membaca menjadi sumber energy yang menyadarkan dan menggerakkan pahlawan-pahlawan kita. Contohnya saja Kartini yang tersadarkan oleh karya Multatuli, Max Havelaar.

Di dunia keorganisasian kampus pun saya mengakui bahwa melemahnya pergerakan mahasiswa, rendahnya nilai-nilai kritisasi dan budaya diskusi mereka disebabkan oleh merosotnya tradisi membaca. Jangankan untuk membaca banyak hal, untuk membaca materi kuliah saja minat yang ditunjukkan mahasiswa sudah rendah. Miris memang, tapi itulah realitanya.

Maka langkah awal untuk membangun pergerakan mahasiswa sekarang sebenarnya adalah dengan membangun kesadaran membaca. Seperti yang dilakukan Negara-negara maju untuk memajukan negaranya. Masyarakat Negara industry memiliki kebiasaan membaca dalam seharinya selama 8 jam, maka wajar saja bila beragam inovasi dan penemuan-penemuan mampu mereka temukan.

Mengapa harus membaca? Wawasan perdana yang asli, membaca->kristalisasi pemikiran -> wawasan berpikir -> pola pikir, menguatkan kepribadian, mempertajam daya analisis, mencerdaskan ESQ, intelektual, kepercayaan diri yg berpadu dg kerendahan hati, wisata pikiran.

Apa yang menghambat membaca? Budaya hedonis, serbuan media elektronik, kesadaran dan komitmen pemerintah untuk menyadarkan dan penyedian fasilitas.

“Sejarah kemajuan Negara maju dari membaca. Membaca kunci perubahan dunia.”

Suatu saat akan tetap ditemui sebuah titik sadar. Yaitu kesadaran bahwa ilmu yang ada terlalu luas untuk dipelajari dan buku berkualitas terlalu melimpah untuk dibaca. Sedang waktu yang tersisa tidak cukup untuk membaca bidang yang menjadi spesialisasi, bahkan membaca banyakpun tidak selalu menjamin kematangan. Benar sekali Hasan al-Banna saat mengatakan “kewajiban yang ada jauh lebih banyak dari waktu yang tersedia”.

Yaitu generasi muda yang bacaannya tepat sasaran sesuai permintaan zaman. Yang hasil bacaannya menjawab tantangan umat lain “apa yang sekarang bisa kalian kontribusikan bagi kemanusiaan selain membanggakan ilmuan Islam yang telah silam?”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun